Rekonstruksi Pemilu 2029, Koreksi Konstitusional

Oleh-Ilham-Muhammad-Yasir-Redaktur-Eksekutif-Riau-Online.jpg
(Istimewa)

Oleh: Ilham Muhammad Yasir Redaktur Eksekutif RiauOnline

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pembatalan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62/PUU-XXII/2024 merupakan sebuah momen penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Untuk memahaminya secara substansial, kita tidak bisa berhenti pada logika hukum pemilu semata. 

Kita perlu menelusuri lebih jauh hingga ke akar pembentukannya —yakni ke ruang sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dua dekade silam, ketika amandemen UUD 1945 digodok, diperdebatkan, dan akhirnya melahirkan sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat.

Jejak Sejarah

Di sanalah jejak sejarah konstitusional itu dimulai, ketika Pasal 6 diubah dan Pasal 6A diperkenalkan, sebagai tonggak reformasi konstitusi paling signifikan pasca runtuhnya Orde Baru. Pasal 6 dan Kelahiran Pasal 6A UUD 1945

sebelum amandemen, UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. 

Ini menjadikan pemilu presiden bersifat tidak langsung, elitis, dan sangat bergantung pada konfigurasi politik dalam parlemen. Praktik ini selama Orde Baru memperlihatkan wajah pemilu yang simbolik: presiden selalu terpilih secara aklamasi, tanpa kompetisi nyata.

Kubu Reformis

Reformasi 1998 mengubah semuanya. Dalam amandemen ketiga UUD 1945 (2001), para anggota MPR dari berbagai fraksi berdebat panjang—tidak hanya soal mekanisme, tetapi juga mengenai makna kedaulatan rakyat. 


Perdebatan dalam Panitia Ad Hoc I (PAH I) Badan Pekerja MPR sangat tajam antara dua kubu: yang ingin tetap mempertahankan pemilihan oleh MPR demi stabilitas, dan yang mendorong pemilihan langsung demi legitimasi rakyat. Kemenangan akhirnya berada di tangan kubu reformis. 

Lahirlah Pasal 6A, yang secara eksplisit menyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

Pasal ini menjadi batu penjuru reformasi konstitusi. Ia menandai peralihan dari sistem parlementer semu ke presidensialisme sejati, memperkuat legitimasi eksekutif, dan menyerahkan mandat kekuasaan langsung kepada rakyat. 

Tidak hanya itu, Pasal 6A juga menegaskan prinsip keterwakilan regional dan pemerataan suara melalui ketentuan penyebaran suara minimal 20 persen di lebih dari separuh provinsi, demi menjaga karakter kebhinekaan Indonesia.

Paradoks Threshold

Namun, cita-cita luhur Pasal 6A tidak berjalan mulus dalam praktik. Sejak UU No. 42 Tahun 2008 dan kemudian UU No. 7 Tahun 2017, muncul ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). 

Ini mensyaratkan hanya partai atau gabungan partai yang memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional yang dapat mencalonkan presiden.

Di sinilah muncul paradoks konstitusional. Di satu sisi, Pasal 6A membuka ruang partisipasi luas. Di sisi lain, threshold mempersempitnya. Presiden memang dipilih langsung oleh rakyat, tapi rakyat hanya diberi dua atau tiga opsi—yang telah disaring oleh elite partai dalam ruang-ruang koalisi tertutup.

Semangat Reformasi

Putusan MK 62/2024 harus dibaca sebagai usaha menyambung ulang benang konstitusional yang sempat terputus. MK menegaskan bahwa threshold bertentangan dengan semangat keterbukaan dan keadilan pemilu yang terkandung dalam Pasal 6A UUD 1945. Ia menghidupkan kembali semangat reformasi: bahwa rakyatlah satu-satunya sumber legitimasi, bukan persekutuan partai.

Dalam pertimbangannya, MK bahkan mengutip sejarah perubahan Pasal 6 dan lahirnya Pasal 6A. Hal ini memperlihatkan bahwa MK tidak hanya bertindak sebagai penafsir hukum, tetapi juga sebagai penjaga jiwa konstitusi. Ia membaca teks bukan sekadar kalimat, tapi sebagai kehendak politik reformasi.

Penutup

Dua dekade lalu, para penyusun amandemen membuka jalan bagi demokrasi elektoral yang sejati melalui Pasal 6A. Kini, Mahkamah Konstitusi membuka kembali pintu itu dengan Putusan No. 62/2024. 

Ini adalah momentum konstitusional untuk mengembalikan ruh pemilihan presiden langsung sebagaimana diimpikan reformasi: terbuka, adil, dan setara.

Rakyat bukan sekadar penonton dalam sistem presidensial. Rakyat adalah pemilik kedaulatan. Dan kedaulatan itu, seperti ditulis dalam Pasal 1 UUD 1945, berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Maka, saatnya kita kembali ke konstitusi. Bukan hanya ke pasalnya, tapi ke semangatnya. Semoga.***

*Dewan Pembina Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR), Ketua dan anggota KPU Provinsi Riau 2014–2019 dan 2019–2024.