Eksploitasi Gambut Sebabkan Riau Merana 18 Tahun

Harry-Oktavian_Scale-Up.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/FAKHRURRODZI)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sudah tiga hari ini Kota Pekanbaru diguyur hujan. Tapi kenapa asap tak hilang atau menipis? Seperti apa lahan dan hutan terbakar tersebut sehingga lebih banyak asap pekat menyelimuti Provinsi Riau? 

 

Direktur Eksekutif Scale Up, Harry Oktavian mengatakan, itulah karakteristik lahan gambut jika terbakar. Kuncinya, selamatkan gambut, maka malapetaka akibat kelalaian manusia ini tak berulang tahun ke-19 tahun 2016 mendatang. (Baca Juga: Satelit Pantau Hotspot di RAPP, Ini Jawaban Perusahaan

 

"Gambut harus basah itu karakteristiknya. Jika gambut kering, apalagi dengan cara membuat kanal-kanal sehingga airnya langsung ke sungai atau laut, itu membuat material-material gambut cepat terbakar dan sulit dipadamkan," kata Harry saat bincang-bincang sore ditemani secangkir kopi panas dengan RIAUONLINE.CO.ID, Jumat (25/9/2015), di kantornya, Jalan Kenari No 15, Sukajadi, Pekanbaru. 

 

Harry menjelaskan, ada perubahan signifikan terjadi di Riau di media 1990-an. Ketika itu, tuturnya, pemerintah mulai mengeluarkan izin kehutanan dari tanah mineral ke lahan gambut. Perubahan pemberian izin itu yang kini dirasakan warga Pekanbaru, dan Riau secara umum, kebakaran hutan dan lahan serta asap. (Klik Juga: Water Management Perusahaan Gagal Atasi Kebakaran

 

Ia kemudian mendekati peta Provinsi Riau yang terpampang di dinding kantornya. Harry lalu membelah peta Riau menjadi dua bagian, timur dan barat. Riau bagian barat merupakan daerah yang perizinannya diberikan sebelum 1990-an dan di tanah mineral. Sedangkan, Riau bagian timur, merupakan kawasan diberikan izin di lahan gambut. 


 

"Jadi jangan heran, jika hutan yang melindungi gambut di bagian timur Riau ini terbuka, maka kebakaran dan asap terjadi. Ini dampak nyatanya. Gambut yang terbuka itu kemudian dibuat kanal-kanal untuk mengeringkan lahannya. Ketika kering, ya terbakar dan sulit dipadamkan," jelas lulusan Faperika Unri ini. (Lihat Juga: Setiap Hari 300 Ha Lahan Sengaja Dibakar di Riau

 

Ia menjelaskan, lahan gambut yang dibuka itu kini telah beralih menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang memasok kayu-kayu untuk industri kertas serta bubur kertas ke PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) serta PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKKP). 

 

Selain industri kertas dan bubur kertas, tuturnya, lahan gambut juga semakin tereksploitasi oleh ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan kelapa sawit.  (Baca: Tagih Janji Jokowi Blusukan Asap ke Riau

 

"Alam terkembang jadi guru, Kenapa dikeringkan, perusahaan ingin investasi lebih murah di lahan gambut. Itu sebenarnya lawan alam. Ini jelas bisnis eksploitasi dan mengubahnya dengan tanaman monokultur, kelapa sawit atau akasia," pungkasnya. 

 

Sebelumnya, Direktur eksekutif Hutan Riau, Raflis mengatakan, kurun waktu 7-18 September 2015, telah terjadi 430 titik api (Hotspot) tersebar di beberapa areal perusahaan, Non Hak Guna Usaha (HGU), Non Kebun, dan kawasan lainnya. (Lihat: Al Azhar: Asap Riau Seperti Genosida

 

Ada hal menarik, kata Raflis, untuk perusahaan Hutan Tanaman Indsutri (HTI), terdapat 18 perusahaan arealnya terdapat titik api. Dari perusahaan HTI berkantor di Pelalawan, sebanyak 20 titik api. Jumlah ini sama dengan hotspot diduga masuk kawasan di PT Sari Hijau Mutiara.

 



Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline