RIAU ONLINE, PEKANBARU - Ribuan massa menggelar unjuk rasa karena menolak rencana relokasi dari kawasan Taman Nasional Tesso Nilo di depan Kantor Gubernur Riau, Kota Pekanbaru, Rabu, 18 Juni 2025.
Ahmad Zazali, aktivis senior yang merupakan pendiri Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) membeberkan upaya penertiban tanaman kelapa sawit yang tengah dilakukan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) ini dari sudut pandang Sosio Legal.
Zazali mengungkapkan bahwa penetapan kawasan Tesso Nilo menjadi Taman Nasional pada 2004 berasal dari kawasan hutan produksi terbatas di kelompok Hutan Tesso Nilo.
“Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) berasal dari kawasan hutan produksi terbatas di kelompok Hutan Tesso Nilo yang diubah fungsinya menjadi TNTN pada tahun 2004 dengan luas sekitar 38.576 ha,” kata Zazali, dalam keterangan yang diterima Riau Online, Kamis, 19 Juni 2025.
“Kemudian, luasannya diperluas menjadi 83.068 hektare pada tahun 2009, kemudian diperkuat dengan SK Menhut No. SK.788/Menhut-II/2012,” imbuhnya.
Zazali juga mengungkapkan bahwa penetapan kawasan ini didorong oleh WWF Indonesia Program Riau, setelah melalui beragam riset/kajian dan dialog kebijakan, karena kawasan ini merupakan habitat penting bagi Gajah.
“Keberadaan masyarakat dalam kawasan ini sudah mulai ada sejak awal kawasan ini diusulkan oleh WWF atau sebelum ditetapkan jadi TNTN,” ungkap Zazali.
Masyarakat di sekitar kawasan TNTN sejak dulu telah mengklaim kawasan ini sebagai bagian dari wilayah kelola tradisional atau tanah ulayat mereka. Bahkan pemangku kepentingan TNTN pernah membentuk Yayasan TNTN untuk membantu sosialisasi dan advokasi pelestarian kawasan TNTN.
“Masyarakat dari luar Riau mulai masuk dan terus bertambah seiring dengan makin maraknya jual beli lahan oleh oknum tertentu,” tutur aktivis lingkungan ini.
Zazali memaparkan bahwa upaya sosialisasi dan advokasi untuk menghentikan pembukaan lahan untuk kebun sawit sudah banyak dilakukan oleh berbagai pihak.
“Namun tidak mampu membendung pertambahan masyarakat dari luar Riau yang masuk dan membuka sawit dalam kawasan ini,” kata Zazali.
Zazali juga membeberkan bahwa ada isu santer beredar terkait kekuatan politik tertentu yang memberi dukungan kepada masyarakat. Bahkan, dukungan ini kian marak setiap helat politik seperti Pileg, Pilkada, maupun Pilpres.
“Kawasan ini jadi perebutan karena sebagai lumbung suara potensial,” ujarnya.
Seiring waktu, Zazali mengatakan, luas kebun-kebun sawit terus bertambah tanpa bisa dikendalikan, baik oleh pihak Balai Taman Nasional Tesso Nilo (BTNTN) maupun WWF.
“Karena jumlahnya masif dan terorganisir,” tuturnya.
Zazali menambahkan, perkebunan sawit dalam TNTN bahkan telah menjadi rantai pasok yang penting bagi industri sawit di Riau, baik dari sisi penyedia dana, penyedia alat berat, bibit, pupuk, dan pembeli TBS.
“Diyakini TBS dari kebun dalam TNTN telah ditampung dan dibeli oleh pabrik kelapa sawit di sekitarnya, oleh karena itu satgas PKH hendaknya juga menyelidiki dan mendorong proses hukum kepada perusahaan maupun pihak yang terlibat dalam rantai pasok TBS dari dalam kawasan TNTN ini,” pungkasnya.