Melayu dan Filosofinya: Representasi dari Tumbuhan Padi yang Sesungguhnya

Padi3.jpg
(Shutterstock)

Laporan Indah Lestari

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Pernahkah teman-teman mendengar sebuah pribahasa yang bunyinya "Jadilah seperti padi. Semakin berisi, semakin merunduk"? Seperti halnya Melayu dengan filosofinya, yang mengajarkan masyarakatnya untuk selalu rendah hati, walau sehebat dan setinggi apapun status sosial yang dimiliki.

Seorang Sastrawan dan Budayawan Melayu asal Riau, menyebutkan dalam bukunya berjudul 'Biar Mati Anak, Asal Jangan Mati Adat', Melayu terdiri dari kata dasar "layu" dan imbuhan awalan "me". Hal tersebut mengartikan kata Melayu untuk suku Melayu sendiri, bukan sekadar julukan, melainkan kata kerja atau bersifat aktif.

 

Sifat aktif di sini tertuang ke dalam bentuk anjuran bagi setiap orang Melayu, agar senantiasa menjaga tutur dan prilakuknya. Seperti kata pepatah Melayu yang dikutip dari idntimes.com, "Karena mulut, badan binasa". Pepatah tersebut mengandung nasihat untuk selalu berhati-hati dalam berucap, agar tak ada yang merasa tersinggung (dirugikan) dan malah jadi dendam kesumat.

 

Orang-orang Melayu memang dikenal sebagai bangsa yang lebih mengedepankan budi luhur, adat dan budayanya. Meski Riau dengan Pekanbaru sebagai kota metropolitan berpendatang terbanyak, tetapi Pekanbaru sebagai kota bertuah dan bermarwah tak kehilangan jati dirinya sama sekali.

 

Begitupun di daerah-daerah lainnya, Riau masih memegang teguh nilai-nilai penuh keislaman yang dierat-kaitkan kemelayuannya sejak dulu. Nilai-nilai luhur yang mengakar tersebut masih tertanam hingga saat ini, melalui sekolah-sekolah dan kampus-kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan.

 

Bahkan sudut-sudut tertentu di tengah keramaian kota-kota di Riau sekarang ini, masih sangat menjaga dan melestarikan sekali adat dan budaya Riau melalui maraknya festival seni lokal, motif-motif batik dan karyanya maupun makanan khas Riau, serta hal-hal lainnya yang tanpa sadar telah membaur dengan kehidupan masyarakat Riau.

 

Salah satunya, Rumah Singgah Tuan Kadi yang terletak di sebuah kawasan perkampungan kecil, di pangkal kota Pekanbaru. Perkampungan itu bernama Kampung Bandar, Senapelan atau yang dikenal sebagai titik nol (0)-nya Kota Pekanbaru.

 

Kampung Bandar merupakan kota tuanya Pekanbaru. Saksi bisu cikal bakal Pekanbaru yang pertama dibuka oleh Kesultanan Siak Sri Indrapura di tepi Sungai Siak, dikutip dari travel.detik.com.

 

Di Rumah Tuan Kadi dan sekitarnya dipenuhi dengan kearifan nuansa Melayu. Mulai dari rumah-rumahnya, kuliner sampai toko-toko pakaian pun berbau Melayu. Dalam Rumah Singgah Tuan Kadi, kita juga bisa membaca dan belajar mengenai sejarah dari Jembatan Siak IV (empat) dan III (tiga) yang sangat ikonik dan banyak dijadikan spot foto oleh kaula muda Pekanbaru, hingga pesinggah dari luar daerah.

 

Seperti halnya kalimat "Takkan Melayu Hilang di Bumi". Visi yang diwariskan oleh Legenda Tanah Melayu, Laksamana Hang Tuah ini, memang tak pernah hilang ditelan sejarah. Ia memiliki rasa optimisme yang sangat tinggi terhadap harapan jayanya Melayu di masa mendatang.

 

Berikut filosofi kata Melayu, seperti halnya tumbuhan padi :

 

1. Rasa Setara Sesama Manusia

Melayu berarti melayukan diri, begitu kata buku berjudul Biar Mati Anak, Asal Jangan Mati Adat. Melayukan diri di sini maksudnya adalah rasa rendah hati di manapun bumi dipijak.

 


Tak ada yang patut berbangga dan tak ada yang harus dibanggakan. Kita semua sama di mata Tuhan. Sama-sama belajar dan berproses sebagai manusia. Bahkan, dengan makhluk Tuhan lainnya, kita pun dituntut bersikap dan berbuat baik.

 

2. Tiada Pernah Meninggi

Ibarat bunga, orang Melayu melayukan diri semula dari kondisi segar. Segar di sini adalah posisi puncak yang diharapkan atau diinginkan, seperti setiap orang menginginkan bunga di halamannya tumbuh mekar dan terlihat segar setiap paginya.

 

Setelah mencapai keinginannya, anak-anak Melayu diberi ajaran untuk jangan pernah meninggi atau merasa sombong dan berbangga-bangga. Sebab, rasa sombong dan bangga yang berlebih adalah ria yang bakal menyebabkan kejatuhan atau dengan kata lain, gugur.

 

3. Baik Orang, Lebih Baik Kita

Tunjuk ajar Melayu mengajarkan setiap orang untuk berbuat kebajikan bukan hanya pada manusia saja, tetapi juga kepada setiap makhluk hidup di Bumi.

 

Ketika ada orang yang berbuat baik, maka kita dituntut untuk membalas budi baik tersebut. Mengingat sekecil apapun kebaikan orang. Tak melupakan sekecil apapun kejahatan kita. Berlebih-lebih dalam berbuat baik tiada akan merugi.

 

4. Manusia Hidup Berdampingan

Jangan pernah menghiraukan atau mengabaikan apa-apa yang di sekitar kita. Kita harus peka dan peduli. Alam dan isinya jangan sampai rusak ataupun dirusak. Semua punya hak sama untuk hidup.

 

Melayu sangat menentang sikap intoleran, tidak hanya antar sesama manusia, tetapi juga antar makhluk Tuhan lainnya. Jika alam dan isinya rusak, kita yang hidup berdampingan sebagai manusia juga ikut rusak setelahnya.

 

Dalam hidup perlu adanya keseimbangan atas apa yang kita dapat dan berikan. Kita makan dan minum dari alam dan isinya, maka kita juga harus merawatnya agar kembali memberikan kehidupan untuk kita semua.

 

5. Rendah Hati Tak Berarti Rendah Diri

Ibarat pucuk kayu (batang) yang melengkung, seperti halnya bentuk atap Selembayung yang melengkung ke bawah (Melayu). Posisinya tetaplah sama.

 

Pucuk tetaplah pucuk. Atap tetaplah atap. Tetap berada pada bagian teratas. Selayaknya emas dan berlian, walau di kubur dalam genangan lumpur sekalipun, tak akan merubah nilai dan harganya.

 

Kerendahan hati dan kesederhanaan kita, tidak akan menjatuhkan harga diri kita. Justru orang-orang besar dan berilmu, harusnya bersahaja dan menganggap di atas langit masih ada langit.

 

 

 

Begitulah ajaran Melayu penuh falsafah dan pepatah. Seperti halnya padi, yang semakin merendah dengan isi yang banyak dan bermanfaat. Tetap menjadi penting keberadaannya sebagai beras (nasi) tanpa menyingkirkan gandum atau sejenis biji-bijian karbohidrat lainnya. Kita mesti banyak belajar dari padi dan Melayu.

 

Meski begitu, Melayu tidak pernah memaksakan ajarannya kepada setiap orang. Sebab yang terpenting adalah kesadaran yang dibangun akan hal itu. Bukan berdasarkan keterpaksaan.