Warga China Kibarkan Kuomintang saat Indonesia Merdeka Picu Peristiwa Berdarah Bagansiapiapi I

Bendera-China-Kuomintang.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Kekosongan Kekuasaan atau yang akrab disebut vacum of power di Indonesia usai kekalahan Jepang di Perang Dunia II, ternyata berbuntut kerusahan dan konflik bersenjata di Riau.

Para perantau dan warga Tionghoa (China) untuk mengibarkan bendara Kuomintang. Mereka merasa, merekalah yang berhak melanjutkan pemerintahan Jepang di Indonesia, bukan pribumi.

Hal ini dikarenakan informasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 itu ternyata lambat sampai ke pelosok nusantara. Termasuk di Riau. Keterlambatan dan kekosongan kekuasaan inilah kemudian di beberapa daerah di Riau menjadi konflik bersenjata.

Bendera Kuomintang dengan matahari putih, memiliki 12 sinar di dalam kotak biru di sebelah kiri atas. Bendera ini digunakan di Tiongkok Daratan hingga 1949, dan sejak 1949 hanya digunakan di negara China Taipei atau Taiwan. Penggunaan di Tiongkok hanya sebatas penggunaan secara sejarah.

Lalu, di daerah mana saja di Riau, berkibarnya bendera China Kuomintang? Kemudian, akibat pengibaran tersebut memicu konflik, bahkan korban jiwa.

Berikut kami sajikan untuk Anda, insiden bendera tersebut, datanya kami sarikan dari buku Sejarah Lokal Riau ditulis Guru Besar Sejarah Universitas Riau, Suwardi MS, dan dua rekannya, Kamaruddin dan Asril serta Ahmad Yusuf dkk dalam bukunya Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 Buku I.

1. Pekanbaru

Kekosongan kekuasaan usai Jepang dinyatakan sebagai pihak yang kalah pada Perang Dunia II, ternyata dimanfaatkan warga China di Pekanbaru.

Mereka merasa, China termasuk negara anggota Sekutu pemenang Perang Dunia II di Asia Pasifik dengan mengalahkan Jepang.

Berangkat dari alasan itu, orang-orang China ini kemudian dengan beraninya memasang dan mengibarkan bendera Kuomintang di kedai-kedai, rumah-rumah, warung-warung, tongkang-tongkang, ataupun kapal-kapal mereka, bukan merah putih, seperti pribumi lainnya.

"Kapal-kapal atau perahu-perahu milik China tak mau lagi diperiksa oleh duane atau polisi serta tidak singgah di Siak dan kampung-kampung," seperti dituliskan Prof Suwardi MS, dkk di dalam buku berjudul Sejarah Lokal Riau.

Akibatnya, terputuslah hubungan dari satu kampung ke kampung lainnya. Dari peristiwa tersebut, hal menarik munculnya insiden di Pasar Bawah, Pekanbaru, gara-gara orang China menaikkan bendera mereka, bendera Kuomintang.

Kondisi ini semakin diperparah dengan tersebarnya berita dari tawanan Belanda yang bebas, mereka akan mengambil alih kembali kekuasaan dan akan mengatur Pemerintahan Belanda di Riau.

2. Selat Panjang

Kondisi serupa, pengibaran bendera China, Kuomintang, juga terjadi di Selat Panjang, kini ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti. Usai Jepang menyerah kalah, warga China di Selat Panjang bersuka ria mendengar berita kekalahan negeri matahari terbitu tersebut ke tangan Sekutu pimpinan Amerika Serikat.


Selama bulan September 1945, terasa kekosongan kekuasaan usai Jepang dinyatakan kalah, terasa kekosongan pemerintahan di Selat Panjang.

Orang-orang China merasa di atas angin kemudian mengeluarkan perkataan-perkataan, "Pemerintah Jepang, polisi Jepang sudah jatuh tak pakai lagi. Kita sudah menang,".

Oleh karena itu, warga China ini dengan congkaknya menyusun barisan dan menjaga keamanan hingga ke luar kota dan Pelabuhan Selat Panjang.

"Mereka telah berkeyakinan, China termasuk negara-negara Sekutu menang perang. Keyakinan mereka lebih mendalam lagi dan menduga Sumatera nanti menjadi jajahan China," seperti tertulis di buku Sejarah Lokal Riau.

Pada 17 Oktober 1945, warga Selat Panjang yang memiliki kesadaran akan ke-Indonesiaan, mengibarkan dan menaikkan bendera merah putih. Sebelum berkibar, barisan-barisan rakyat berkeliling kota, kemudian baru kembali ke kantor Wedana Selat Panjang.

Sayang, usai barisan bubar, sekitar pukul 11.00 di hari sama, merapat dua kapal Inggris di pelabuhan. Seorang opsir turun dari kapal diiringi prajurit bersenjata dan seorang China.

Mereka kemudian berkeliling kota dan mendapati halaman rumah warga sudah berkibar bendera merah putih. Opsir Inggris ini lalu menuju rumah Kapitan China, Kang Tjoang Pa, dan rombongan disambut dengan jamuan makan dan minum dari tuan rumah.

Usai itu, datang perwakilan orang-orang China ke kantor wedana untuk menemui Mas Slamet. Ketika itu, Mas Slamet masih duduk bersama anggota Badan Aksi Kemerdekaan. Utusan itu sampaikan, Opsir Inggris ingin ketemu.

Lalu disepakati, Mas Slamet menerima undangan tersebut dan melangkah menuju rumah kapitan China itu, Di sana, Opsir Inggris ini mengajak Mas Slamet menaiki kapal mereka di pelabuhan.

Di atas kapal, Mas Slamet ditanyakan mengenai pemerintahan dan siapa sedang berkuasa. Mas Slamet menjawab, pemerintahan di Selat Panjang sudah ada, yaitu Pemerintahan Republik Indonesia dengan pusat Keresidenan di Pekanbaru dan A Malik sebagai Residen Riau.

Selama Mas Slamet di atas kapal Inggris, warga pribumi dan China Selat Panjang berkumpul di sekitar pelabuhan dan jalan besar, mulai di depan tao pa kong hingga ke rumah Kang Tjoang Pa. Penduduk China waktu itu mengatakan, Mas Slamet pasti dibawa tentara Inggris.

Dugaan itu ternyata meleset, Mas Slamet keluar dari kapal dan menemui teman-teman seperjuangannya. Kesimpulannya, jika hari itu, 17 Oktober 1945, tak dikibarkan dan dinaikan bendera Merah Putih, maka dipastikan Inggris membonceng Belanda akan membuat pemerintahan baru di Selat Panjang. Tentu pemerintahan tersebut didukung penuh oleh pendudukan China yang merasa negaranya telah menang perang melawan Jepang.


3. Bagansiapi-api

Akhir Agustus 1945, di Bagansiapi-api, kini ibukota Rokan Hilir (Rohil) telah beredar berita tentang Proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Berita ini dibawa oleh orang-orang berdatangan dari Medan, Pekanbaru dan Payakumbuh.

Pembawa berita itu antara lain M Idrus, Nahar Siddik, Boengsu, A Karim Said, dan lain-lain. Ini diiringi pengibaran bendera merah putih di Kantor Pos (PTT) Bagansiapi-api oleh M Daud dan M Nur, dua pegawai PTT.

Dengan berkibarnya bendera Merah Putih ini, orang-orang China yang ada di Bagansiapi-api juga ikut-ikutan mengibarkan bendera Kuomintang di setiap kedai, dan rumah mereka.

"Orang China mengatakan, nanti akan mengoper pemerintah Jepang adalah tentara China, karena China negara anggota Sekutu, pemenang perang kalahkan Jepang," seperti tertulis dalam buku Sejarah Lokal Riau ditulis Suwardi MS dan dua rekan lainnya.

Berkibarnya bendera Kuomintang China ini ternyata membakar emosi dan kemarahan pemuda di Bagansiapi-api. Mereka menentang perbuatan tersebut. Kemarahan para pemuda ini dapat disabarkan oleh tokoh tua, seperti BA Muchtar dan Dulah Usman.

Tak hanya di Bagansiapi-api saja terjadi insiden pengibaran bendera. Di Kubu, orang-orang China ternyata sudah terlebih dahulu mengibarkan bendera mereka Kuomintang, dibandingkan merah putih.

Rakyat serentak menurunkan bendera tersebut dan mengibarkan sang saka Merah Putih di kantor Camat Kubu, 1 Januari 1946. Semula ada kesepakatan dengan pihak China Kuomintang, boleh mengibarkan bendera Bintang Dua Belas (Cap Ji Kak) milik mereka, namun berdampingan dengan bendera Merah Putih.

Sayangnya, kesepakatan itu diingkari mereka dengan tetap mengibarkan bendera Kuomintang tanpa Merah Putih. Ini jelas menyinggung dan membuat emos para pemuda tang tergabung di di BKR darat dan Laut.

Ahmad Yusuf dkk dalam bukunya Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 Buku I, menceritakan insiden penurunan disertai perobekan bendera Kuomintang oleh pemuda.

Peristiwa ini membuat Bagansiapi-api mencekam, masing-masing pihak berada di tempatnya. Orang China terkonsentrasi di Bagan Kota (Jalan Perdagangan dan Perniagaan sekarang hingga pelabuhan).

Dengan demikian mereka menguasai pusat kota dan pintu pelabuhan arah ke laut (Pulau Lalng dan Selat Malaka). Sedangkan pihak Indonesia terkonsentrasi di pinggir kota arah ke darat kemudian dikenal saat ini dengan Jalan Pahlawan dan sekitarnya, Bagan Jawa dan Bagan Punak.

Pengibaran bendera Kuomintang inilah kemudian dikenal dengan Peristiwa Bagansiapi-api I dipicu tewasnya Kapitan China akibat pengibaran bendera Kuomintang di rumah-rumah orang China tanpa didampingi bendera Merah Putih. Peristiwa berdarah Bagansiapi-api I ini dikemudian disusul Bagansiapi-api II beberapa bulan kemudian.