RIAU ONLINE - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan penolakan tegas atas telegram Panglima TNI yang memerintahkan pengerahan personel militer ke lingkungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.
Perintah ini tertuang dalam Surat Telegram Panglima Nomor: TR/422/2025 tertanggal 5 Mei 2025.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai langkah ini tidak hanya bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi juga mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil dalam sistem hukum nasional.
“Pengerahan seperti ini semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil khususnya di wilayah penegakan hukum,” tegas Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, dalam pernyataannya, Minggu, 11 Mei 2025.
Usman menegaskan TNI seharusnya fokus pada aspek pertahanan, dan tidak sepatutnya masuk ke ranah penegakan hukum yang dilaksanakan Kejaksaan sebagai instansi sipil. Apalagi, hingga saat ini belum ada regulasi tentang perbantuan TNI dalam rangka operasi militer selain perang(OMSP).
“Kami menilai bahwa kerangka kerja sama bilateral antara TNI dan Kejaksaan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjadi dasar pengerahan pasukan perbantuan kepada Kejaksaan. MoU tersebut secara nyata telah bertentangan dengan UU TNI itu sendiri,” kata dia.
Meski tujuan perintah Panglima TNI tersebut untuk mendukung pengamanan Kejati dan Kejari di Indonesia, Usman menilai Kejaksaan tidak membutuhkan dukungan berupa pengerahan personel TNI, karena tidak ada ancaman yang bisa menjustifikasi mengharuskan pengerahan satuan tentara.
Menurutnya, pengamanan institusi sipil penegak hukum bisa dilakukan, misalkan satuan pengamanan dalam (satpam) kejaksaan.
“Dengan demikian surat telegram itu sangat tidak proporsional terkait fungsi perbantuannya dan tindakan yang melawan hukum serta undang-undang,” terangnya.
Koalisi Masyarakat Sipil memandang bahwa surat perintah ini berpotensi mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia, karena kewenangan penegakan hukum tidak sepatutnya dicampuradukkan dengan tugas fungsi pertahanan yang dimiliki oleh TNI.
Pada aspek ini, kata Usman, intervensi TNI di ranah penegakan hukum sebagaimana disebutkan di dalam Surat Perintah tersebut akan sangat mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia.
“Kondisi ini menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan yang ada dengan mencampurkan fungsi penegakan hukum dan fungsi pertahanan,” katanya.
Usman menuturkan surat perintah pengerahan ini kuan menguatkan dugaan masyarakat akan kembalinya dwifungsi TNI, setelah UU TNI direvisi beberapa bulan lalu dan bahkan salah satu Pasal yang menambahkan Kejaksaan Agung sebagai salah satu institusi yang dapat diintervensi oleh TNI.
“Catatan risalah sidang dan revisi yang menegaskan bahwa penambahan Kejaksaan Agung di dalam revisi UU TNI hanya khusus untuk Jampidmil ternyata tidak dipatuhi oleh Surat Perintah ini, karena jelas-jelas pengerahan pasukan bersifat umum untuk semua Kejati dan Kejari,” ujarnya.
Dengan semangat penegakan hukum yang adil dan bermartabat, upaya membangun reformasi TNI yang lebih profesional dan jaksa sebagai salah satu pilar penegakan hukum, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Panglima TNI mencabut Surat Perintah tersebut dan mengembalikan peran TNI di ranah pertahanan.
Koalisi sipil ini juga mendesak jajaran Pimpinan DPR RI, termasuk pimpinan Komisi I DPR RI, Komisi III DPR RI, dan juga Komisi XIII DPR RI yang berjanji untuk menjamin tidak adanya dwifungsi TNI.
“Kami juga mendesak DPR RI untuk mendesak Presiden sebagai Kepala Pemerintah dan juga Menteri Pertahanan untuk memastikan pembatalan Surat Perintah tersebut, sebagai upaya menjaga tegaknya supremasi sipil dalam penegakan hukum di Indonesia yang menganut negara demokrasi konstitusional,” tutupnya.