Inilah Warga Malaysia Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Apa Jasanya?

Ibrahim-Yaacob.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE - Banyak yang tak tahu, ternyata jelang Indonesia Merdeka dan di awal-awal kemerdekaan, Bapak Pendiri Bangsa (The Founding Fathers) sudah bersepakat dengan tokoh-tokoh pergerakan di Malaya (kini Malaysia, Brunei dan Singapura), untuk bergabung mendirikan dan bersama-sama membuat negara Indonesia Raya. 

Negara Indonesia Raya ini terdiri dari wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara (Malaysia Timur, Kuching, dan Brunei Darussalam), dan Timor Portugal (Timor Leste sekarang, dulu Timor Timur). 

Kesepakatan tersebut disetujui Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) usai diambil pemungutan suara. Dari 62 orang anggota BPUPKI, 39 di antaranya setuju mendirikan Indonesia Raya meliputi wilayah di atas. Kini wilayah Indonesia Raya itu berdiri negara Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Timor Leste. 

"Sayangnya, saat disahkan usulan tersebut dalam bentuk Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pada 18 Agustus 1945, ternyata tak disebutkan secara eksplisit mana saja wilayah Indonesia itu," kata Asvi Warman Adam dalam bukunya Menguak Misteri Sejarah. 

Sepuluh hari jelang disahkannya UUD 1945, Sukarno, Hatta dan Radjiman, diundang Jepang ke Vietnam menemui undangan Laksmana Terauci. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, ketiganya singgah di Taiping Perak, Malaya, dan bersua dengan Ibrahim Yaacob, warga Malaya keturunan Bugis. 

Dalam perjumpaan tersebut, Ibrahim Yaacob, tokoh pergerakan Malaya, menyatakan kepada Sukarno dan Hatta, orang-orang Melayu di Malaya ingin mencapai kemerdekaan dalam kerangka Indonesia Raya. Ibrahim mengusulkan agar kemerdekaan Malaya akhir Agustus 1945. 

Sukarno, tutur Asvi dalam bukunya itu, yang duduk di samping Hatta, terharu dengan semangat Ibrahim Yaacob. Ia kemudian menjabat tangan kanan Ibrahim, lalu berkata, "Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka dari keturunan Indonesia,".

Ibrahim menjawab, "Kami orang Melayu akan setia menciptakan Ibu Negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia," kata Ibrahim berapi-api. 

Letkol Inf Ibrahim Yaacob

Semua itu tidak pernah terwujud hingga kini. Cita-cita Indonesia Raya kandas. Sehari usai pengesahan UUD 1945, Ibrahim Yaacob terbang ke Jakarta bersama istrinya, Mariatun Haji Siraj, iparnya Onan Haji Siraj dan Hasan Hanan.

Namun, Indonesia memproklamirkan kemerdekannya tanggal 17 Agustus 1945, tanpa mengikutkan Semenanjung Malaya. Banyak anggota KMM di Malaya yang kecewa. Di bulan Agustus juga, Ibrahim Yacoob dan sejumlah petinggi KMM terbang ke Jakarta untuk menemui Soekarno dan para pemimpin Republik lainnya, menagih janji Soekarno dan Muhammad Hatta mereka temui di Taiping, Perak, 13 Agustus 1945.


Namun karena situasi belum aman, Soekarno dan Hatta memutuskan untuk menunda pembicaraan penyatuan Malaya tersebut. Yacoob pun diminta Soekarno untuk tidak kembali ke Malaya untuk sementara waktu, mengingat situasi di Malaya sedang chaos dan tentara Inggris sudah lebih dulu mendarat di sana untuk memulihkan keamanan di tanah jajahannya itu.

Yacoob seorang Letnan Kolonel dan Komandan Gyugun Malaya, milisi bentukan Jepang tentunya akan jadi target operasi keamanan yang digelar pasukan kolonial yang sedang euforia kemenangan perang itu. Sementara pemimpin KMM lainnya nekat kembali ke tanah airnya.

Pada 19 Oktober 1945, Ibrahim dan keluarga tiba di Yogyakarta, berganti nama jadi Iskandar Kamel Agastja, dan segera bergabung dengan MBT TKR (Markas Besar Tentara-Tentara Keamanan Rakyat), diperintahkan membentuk Badan Intelijen SOI Seksi E (Luar Negeri) dengan pangkat Letnan Kolonel.

Tugas utamanya, membangun jaringan intelijen ke Malaya, membantu pergerakan nasionalis di Malaya, mengusahakan pengiriman senjata dari Malaya, Rangoon, dan Manila, melakukan combat inteligent di semua daerah pendudukan Belanda di Indonesia. 

Selain itu, membentuk dan memimpin GKR (Gerakan Revolusi Rakjat) di Solo menentang PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada Agresi Militer II 19 Desember 1948, Ibrahim bergerilya di daerah Karanganyar dan Merapi, hingga kembali ke Yogyakarta pada Agustus 1949.

 

Karena situasi Semenanjung Malaya tak aman, Sukarno menyarankan Ibrahim dan rekan-rekannya ikut bergabung dalam perjuangan di Pulau Jawa guna mencapai cita-cita Indonesia Raya. 

Bulan November 1955, dua tahun jelang Malaya Merdeka, terdiri dari Malaysia, Brunei dan Singapura, Tunku Abdul Rachman mengunjungi Jakarta atas undangan Sukarno. Dalam pertemuan informal, Ibrahim Yaacob dipertemukan dengan Tunku Abdul Rachman.

Sayangnya, pendirian kedua tokoh ini saling berlawanan. Tunku menginginkan Malaya bergabung dengan Commenwealth Inggris, sementara Ibrahim Yaacob menghendaki Malaya Merdeka dan bergabung dengan Indonesia dalam bingkai Indonesia Raya. 

Tahunj 1973, dibawah kepemimpinan Tunku Abdur Razak, Ibrahim Yaacob, diperkenankan untuk berkunjung ke tanah leluhur, Malaysia. 

Anggota MPRS Wakil Riau 

Dalam kampanye Trikora (Tri Komando Rakyat), Ibrahim menjadi Bendahara Kongres Rakjat Indonesia pada 1958-1960. Tahun 1959, Ibrahim bergabung dgn Partindo (Partai Indonesia), namun partai itu kemudian dibekukan karena menolak asas NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang dipaksakan oleh Presiden Soekarno pada 1963.

Ibrahim Yaacob ditunjuk oleh Sukarno sebagai anggota MPR Sementara mewakili Provinsi Riau. Ketika Sukarno jatuh oleh Gerakan 30 September (Gestapu) 1965, Ibrahim melepaskan diri dari kegiatan politik dan berkiprah di sektor swasta. 

Pada kampanye Dwikora (Dwi Komando Rakyat), Ibrahim kembali memimpin KEMAM, ikut mengatur pengiriman pasukan ke Malaya dan Borneo Utara hingga tahun 1964 diangkat sebagai Staf KOTI diperbantukan kepada Kepala Staf KOTI (Komando Operasi Tinggi) Letnan Jenderal Ahmad Yani.

Hingga akhir hayatnya Ibrahim Yaacob bermukim di Jakarta, Indonesia dengan nama Iskandar Kamel Agastya dan wafat pada 8 Maret 1978. Saat ia meninggal, Ibrahim menjabat sebagai Direktur Bank Pertiwi. 

Jenazah Ibrahim Yaacob dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Ia mendapatkan pangkat Letnan Kolonel purnawirawan TNI-AD, NRP 26217.

Ia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Kepergiannya untuk selama-lamanya diikuti dengan pupusnya semangat mendirikan negara Indonesia Raya. 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline