RIAU ONLINE - Aceh, Negeri Serambi Mekkah, bukan hanya dikenal karena sejarah dan nilai-nilai Islam yang kental, tapi juga kekayaan yang tak ternilai. Di balik tradisi, seni, hingga kuliner khas yang masih terjaga, sekelompok perantau dari Ranah Minang menjadi tamu yang kini menjadi bagian dari keluarga besar Aceh.
Para perantau dari Negeri Minangkabau dikenal sebagai Suku Aneuk Jamee. Suku Aneuk Jamee tersebar di sepanjang pesisir barat Aceh.
Dilansir dari laman resmi Pemerintah Provinsi Aceh, Aneuk Jamee diperkirakan bagian dari dialek bahasa Minangkabau, yang memang berasal dari Ranah Minang. Masyarakat asli Aceh menyebut perantau Minang sebagai Aneuk Jamee yang berarti tamu atau pendatang.
Diperkirakan, sejak abad ke-16, wilayah pesisir barat Sumatera menjadi jalur perantauan Minang. Kala itu, tidak sedikit Saudagar dari Minangkabau berdagang dengan Kesultanan Aceh. Beberapa perantau Minang juga belajar ilmu agama Islam.
Banyak pula masyarakat Minang yang melarikan diri dari serangan Belanda di masa Perang Paderi. Ketika itu terjadi gelombang imigrasi besar-besaran.
Umumnya, Suku Aneuk Jamee berkonsentrasi di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, dan sebagian kecil di sekitar Meulaboh, Aceh Barat. Sebagian besar di antaranya bermukim di sepanjang pesisir selatan Aceh, yakni Kecamatan Kluet Selatan hingga ke Aceh Barat Daya.
Meski begitu, bahasa yang mereka gunakan bukan Bahasa Minang, melainkan Bahasa Jamee, berasal dari Bahasa Minang yang berkembang menjadi dialek tersendiri. Bahkan, di daerah seperti Tapaktuan, Kluet Selatan, Blangpide, dan Susoh, masyarakat di sana berbicara dengan Bahasa Jamee dan Bahasa Aceh.
Menariknya, jika berkunjung ke pasar di wilayah Kluet Selatan di hari pekan atau disebut uroe pakan, kamu bisa mendengar tiga bahasa yang digunakan bersamaan, yakni Bahasa Aceh, Jamee, dan Kluet.
Berawal dari nelayan, kemudian bertani, masyarakat Suku Aneuk Jamee kini telah berkembang menjadi pengusaha di Aceh.
Meski disebut sebagai tamu di Negeri Serambi Mekkah, Suku Aneuk Jamee telah menjadi bagian dari rumah besar Aceh. Mereka tumbuh dalam perbedaan sejarah dan budaya yang saling menyapa.