Ombudsman Bongkar Polemik Perparkiran di Kota Pekanbaru

Jukir-di-Sudirman.jpg
(Rahmadi Dwi Putra/RIAUONLINE.CO.ID)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pengeluaran biaya parkir di Pekanbaru masih menimbulkan polemik dan membuat masyarakat di Kota Bertuah merogoh kocek lebih dalam serta ragu untuk berhenti. Pengendara sepeda motor harus merogoh Rp 2.000 untuk sekali parkir di pinggir jalan. 

Permasalahan lainnya, sering kali petugas atau juru parkir (jukir) tidak memberikan tiket parkir di pinggir jalan. Padahal menurut aturannya, juru parkir harus memberikan tiket untuk pengendara yang parkir di pinggir jalan.

Ketua Ombudsman RI Perwakilan Wilayah Riau, Bambang Pramata, mengatakan dalam tahapan kajian akhir belum dapat memberikan hasil terkait masalah parkir tersebut. Namun, pada kajian awal September dan Oktober 2022 ada temuan legal standing masalah perda, kenaikan dengan perwako.

"Walaupun mungkin mereka merubahnya dengan sistem bayar seperti UPT Parkir dan rumah sakit, puskesmas, dan badan lainnya. Sehingga untuk tarif mereka tidak dengan perda tapi dilakukan dengan perwako, meski sebenarnya sah-sah saja tapi perda belum tutup," jelasnya, Minggu 12 Maret 2023.

Pihaknya juga pernah mengajukan pertemuan dengan stakeholder dari berbagai pihak. Katanya, pada pekan lalu sudah terealisasi baik masukan dari mahasiswa dan dewan yang menangani parkir.

"Jika perda telah dicabut tidak masalah menggunakan penentuan tarif. Tapi misalnya belum tutup itulah yang jadi masalah. Kami telah menyarankan dishub untuk menaikkan posisi perwako menjadi perda. Jika pun tidak agar berkomunikasi kepada legislatif untuk menutup itu," jelasnya.

Dimisalkannya, jika di uji yudisial review akan menjadi masalah dan timbul kerugian kalau perwako itu salah. Tentunya, akan menimbulkan masalah bagi pemko itu sendiri khususnya UPT Parkir.

Selain itu, Ombudsman juga menyoroti kompetensi jukir. Pasalnya, saat jukir seharusnya sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

"Pada tahun 2022 lalu, data jukir yang didapat Ombudsman dari Dishub Kota Pekanbaru dari 1.800 jukir hanya 200 yang dilatih atau yang berkompetensi. Kami ingin mereka (jukir) di training atau SPM," tegasnya.

 

Dilanjutkan Bambang, pihak pengelola mengatakan jukir yang muncul kebanyakan musiman. Pihaknya mendesak agar pemahaman SPM tetap diberikan kepada setiap jukir.


"Perihal jukir musiman atau apapun itu tetap dikasih SPM. Jadi ada peningkatan. Atau d zona yang jukirnya tidak berubah karena income nya melebihi UMR itu yang harus segera dilatih. Sehingga, proses pelayanan itu enak," jelasnya.

Bambang pun memberi perbandingan antara parkir dan samsat. Saat ini samsat sudah melayani dengan lebih humanis. Sehingga, kata dia sudah seharusnya parkir yang sifatnya jasa juga bisa melakukan hal yang sama lantaran bagian dari pelayanan. 

Menurutnya, jukir harus lebih sopan dan santun dalam berperilaku agar masyarakat tidak keberatan dengan masalah kenaikan harga parkir.

"Nah, antara pembangunan dan pelayanan, karena retribusi untuk pembangunan tapi tidak serta merta pelayanan publik ditepikan tapi harus sejajar. Tidak ada pemaksaan dan juru parkir harus tau itu. Karena jukir cari uang untuk pembangunan jadi ketika datang diberi senyum, salam, dan karcis. Bukan disalahkan masyarakat yang meminta karcis, jangan kaya gitu, jangan," ujarnya.

Lebih jauh, sisi positifnya terbukanya lowongan pekerjaan. Namun, sisi yang lain yakni kompetensi si jukir dari pihak pengelola. 

Dalam kajian itu, pihaknya, telah meminta agar dishub melakukan pengawasan terkait penyelenggaraan parkir oleh pengelola perihal pelatihan jukir.

 "Jika tidak diberikan pelatihan itu problem. Kemudian, harus dilihat kriteria dari si jukir seperti usia misalnya. Bukan masalah gender tapi kalau usia 50 tahun apakah masih bisa dan pantas," urai Bambang. 

Ombudsman telah menemukan di lapangan. Selain itu, respon dishub pada pekan lalu menyatakan telah melakukan evaluasi perparkiran. 

"Katanya, ada sekitar 200 yang diberi SPM Kompetensi. Artinya, saat ini sudah ada 400 orang jukir yang berkompetensi. Namun, kami maunya saat melakukan tugas sudah diberikan sertifikasi juga," ungkapnya.

Ombudsman memberi catatan saat enam bulan lalu memang respon yang didapat kurang. Namun, saat ini masukan yang diberikan telah diperbaiki secara perlahan. 

"Tapi, saat ini memang Ombudsman belum mengeluarkan hasilnya," imbuh Bambang.

Pelayanan paripurna katanya semakin dekat dengan masyarakat. Meski tidak harus bertatap muka namun bisa dilakukan secara daring. Seperti pembayaran kenapa harus cash jika sudah bisa beralih ke transaksi digital elektronik.

Dalam pada itu, perlu adanya digitalisasi seperti pelayanan di mal serta rumah sakit. Sehingga, dengan adanya digitalisasi akan diketahui berapa banyak yang masuk. Daripada kontrak pembagian antara pengelola dan pemko.

Ombudsman menyadari pihaknya belum masuk ke ranah yang bersifat kontrak pengelola dan pemko serta lelang.

"Tidak semua titik, namun bisa diusahakan 30 persen sampai 50 persen. Pentingnya transaksi elektronik. Namun yang paling penting agar menyelesaikan legal standing supaya tidak terjadi polemik di masyarakat," harapnya.

Terakhir, katanya, pengecekan titik pengelola penjaminan mutu secara reguler. Sehingga, dapat terlihat apakah juru parkir bekerja SOP atau tidak.