Sering Bikin Kebakaran Jenggot, Ulama Minangkabau Ini Nekat Kelabui Jepang

Jepang.jpg
(Arsip Nasional Belanda/nationaalarchief.nl/Matapadi)

 


RIAU ONLINE - Dahulu, ulama-ulama di Sumatera Barat (Sumbar) seringkali dibuat kebakaran jenggot oleh Jepang di masa pendudukannya. Jepang membuat kerap membuat kebijakan yang membuat sikap mereka terlebah. Misalnya, saat pemerintah militer Jepang memaksa mereka membuat fatwa agar Perang Asia Timur Raya diputuskan sebagai perang sabil.

Para ulama Sumbar dibuat berkeringat saat sulit menemukan dalil sampai harus membolak-balik kitab hingga ratusan kali. Tapi, sejumlah ulama berpikir cerdik. Mereka boleh berfatwa, tapi niatnya berbeda. Perang Asia Timur Raya akhirnya difatwakan sebagai perang sabil dengan maksud menghancurkan Jepang di Minangkabau.

Bahkan, ulama seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947) dan Syekh Abbas Abdullah (1883-1957) tak hanya mendukung ide Residen Jepang di Sumatera Barat pada 1942, Yano Kenzo yang ingin membentuk badan pertahanan yang dinamakan Giyugun, tapi hingga memasukkan putra-putranya dalam pelatihan Giyugun itu.

Maka ringanlah tugas Mahmud Yunus (1899-1983) bersama Chatib Sulaiman (1906-1949) dan Ahmad Dt. Simarajo. Mereka yang mewakili golongan ulama, cerdik cendekia, dan adat ini dikenal dengan Tungku Tiga Sejarangan dengan adanya dukungan ulama termasyur itu.

Di bawah kepemimpinan mereka di Giyugun Ko En Kai, perekrutan dan pembinaan seluruh golongan masyarakat dalam Giyugun tidak lagi jadi perkara pening.

Yang termuda, Chatib Sulaiman dan trengginas membuat koordinasi pendaftaran serta seleksi. Hampir semua tokoh turut membantu tugas pria kelahiran Sumpur itu. Di antaranya, ada Leon Salim, Suska, Rahmah El-Yunusiyyah, Rasuna Said, Ratna Sari, dan sebagainya.

Di Sumbar, diperkirakan sebanyak 1500-2000 pemuda mengikuti pelatihan Giyugun. Para pemuda berusaia 25 sampai 30 tahun itu ditanamkan pengertian bahwa Giyugun bertujuan untuk perjuangan Indonesia. Bukan untuk membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.


Dahlan Djambek, Ismail Lengah, Dahlan Ibrahim, dan Syarif Usman merupakan angkatan pertama dalam pelatihan yang dipusatkan di Kota Padang itu. Kelak, mereka menempati posisi pimpinan saat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk, tepatnya di Dividi III Sumatera yang mencakup teritorium Sumatera-Riau dan kepulauannya.

Kejadian memilukan sempat pula mewarnai pelatihan di Kota Padang. Ledakan senjata menyebabkan Alwi Mustafa harus meregang nyawa. Peristiwa ini memicu trauma dan kalut sementara untuk teman-teman selatihannya. Tapi yang mengherankan, adik Alwi Mustafa, Kemal Mustafa, justru termotivasi ikut Giyugun angkatan kedua. Kemal Mustafa lantas termasuk sebagai pimpinan teras tentara nasional di Minangkabau.

Sebagai pelecut semangat pemuda dalam pelatihan Giyugun, Muhammad Junus Kotjek sampai menggubah lagu yang syairnya ditulis Chatib Sulaiman. Lagu diberi judul Giyugun Laskar Rakyat.

 

 

Buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Minangkabau 1945-1950 (1978), seperti dilansir dari Matapadi.co, Selasa, 7 Juni 2022 menjelaskan, para pemuda Giyugun yang sudah dilatih di Padang disusun dalam beberapa kompi, seperti kompi senapan mesin, meriam, mortir, dan lain-lain. Mereka ditempatkan di pantai barat Sumatera sejak dari Muko-Muko sampai Tiku.

Mulai 4 Oktober 1944 juga diadakan pelatihan Giyugun di Bukittinggi dan terbentuk delapan kompi. Asrama-asrama didirikan untuk menggembleng para pemuda. Kompi senapan mesin, kompi pengangkutan, dan kompi meriam antitank tersusun di asrama Gulai Bancah, pinggir Kota Bukittinggi.

Sementara di Sarik dan Koto Baru, masing-masing terdapat satu kompi. Di Belakang Balok, di Kota Bukittinggi, tersusun pasukan penangkis udara. Di Padang Gelanggang dekat Matur, di Petapaian 35 kilometer dari Bukittinggi arah ke Medan, dan di Pangkalan Kota Baru dekat Bangkinang tersusun pula kesatuan kecil untuk tugas pengawalan udara.

Masa kependudukan Jepang di Sumatera dibagi dalam sembilan keresidenan, yakni Sumatera Timur, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Palembang, Lampung, Bangka, dan Belitung.

Selaku residen, Yano Kenzo memang bertanggung jawab mengurus Giyugun di Sumatera Barat. Tapi, akhirnya Jepang justru terdesak Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Para ulama dengan senang hati mengusap keringat di jenggotnya Giyugun bisa didayagunakan bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.