Masyarakat Adat Petapahan Ingin Hutannya Dikembalikan

Konpers-terkait-persoalan-hutan-adat-Masyarakat-Petapahan.jpg
(Laras Olivia/Riau Online)

RIAUONLINE, PEKANBARU-Desa Petapahan merupakan desa adat tua yang yang konon telah berdiri jauh sebelum zaman Sriwijaya, atau berdekatan dengan pembangunan Candi Muara Takus.

 

Di sana ada hutan adat Imbo Putui merupakan hutan adat Riau pertama yang baru diakui oleh negara pada 17 September 2019, melalui SK Nomor 7503/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/9/2019. Hutan adat ini merupakan wilayah adat dari masyarakat adat Kenegerian Petapahan, yaitu masyarakat adat yang bermukim di desa Petapahan.

 

Direktur Perkumpulan Bahtera Alam, Harry Oktavian menyebut, Imbo Putui adalah salah satu simbol masyarakat adat di Kenegerian Petapahan. "Sangat kental aturan yang diterapkan di Imbo Putui. Untuk memungut ranting saja tidak sembarangan. Bahkan, kalau salah bisa didenda,” ujarnya kepada awak media, Senin 1 November 2021.

 

Hutan adat Imbo Putui hingga kini merupakan hutan larangan. Hutan yang tidak boleh ada yang memanfaatkan tanpa seizin para tetua adat. Dahulu, hutan larangan ini sangat luas. Saat ini hanya tersisa 251 hektar saja yang masih berupa tegakan tanaman hutan, dan diakui negara.

 

“Situasi sekarang sudah sangat berubah, hutan yang dahulu ada hubungan sosial dan budaya kini hanya ada di beberapa titik saja.” Tambah Harry Oktavian.

 

Lanjutnya, hutan adat Imbo Putui terdampak oleh ekspansi sawit di sekitarnya. Saat ini bahkan keberadaannya dikelilingi oleh kebun sawit. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah posisinya yang justru berada di hilir, sehingga ekosistem sungainya juga terdampak berat oleh operasional perkebunan sawit.

 


"Padahal hutan dan sungai merupakan jantung peradaban masyarakat Petapahan. Keberadaan sawit ini awalnya memang berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat adat. Namun, masyarakat tak pernah menyangka bahwa dampaknya akan begitu besar, hingga merusak ekosistem hutan dan sungai yang tersisa," paparnya.

 

 

Tak hanya itu, keberadaan lahan sawit juga telah mengurangi sebagian dari wilayah hutan. Padahal sebelumnya sudah ada kesepakatan dari masyarakat dan perusahaan agar wilayah hutan tertentu tidak dibuka.

 

“Perusahaan sawit PT Ramajaya Pramukti juga sudah mengonversi sekitar 167 hektar hutan menjadi perkebunan sawit menurut keterangan masyarakat. Selain itu, ada persoalan lain yang muncul yaitu operasional PT Ramajaya Pramukti berdampak bagi kehidupan masyarakat. Ternyata, perusahaan tidak patuh pada aturan yang berdampak pada lingkungan. Misalnya, tidak adanya greenbelt atau wilayah lindung di sepanjang badan sungai," terangnya.

 

Hal tersebut berdampak langsung terhadap lingkungan dari kegiatan perusahaan yang menggunakan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan racun. Bahan kimia ini akan langsung larut dan masuk ke dalam sungai. Kegiatan ini sudah berlangsung lama sehingga berdampak pada kualitas air dan biota sungai.

 

Operasional PT Ramajaya Pramukti telah merugikan dan merusak ekosistem hutan Imbo Putui dan sungai-sungai di dalamnya. Pohon-pohon di hilir sungai tumbang, sedimentasi, dan banjir menjadi wajah baru bagi hutan adat Imbo Putui, setelah lebih dari 20 tahun bersisian dengan perusahaan sawit

 

"Hal lain adalah adanya pelurusan sungai, yaitu badan sungai dibuat seperti kanal. Badan sungai aslinya adalah berkelok-kelok tetapi situasi di lapangan diluruskan. Bahkan ada bekas badan sungai yang menjadi kering. Ini menimbulkan sedimentasi, sehingga terjadi pendangkalan di hilir sungai.  Akibatnya, banyak pepohonan yang tumbang di hilir sungai karena banjir dan derasnya aliran air tidak terbendung karena sungai diluruskan.” Tegas Harry.

 

Setelah sekian lama hidup berdampingan, masyarakat mulai menyadari bahwa kehadiran perkebunan sawit tidak menguntungkan. Inda Fatinaware, direktur Sawit Watch menyampaikan, ada pengalaman yang tidak menguntungkan bagi masyarakat adat. Masyarakat termakan oleh janji-janji manis memberikan kesejahteraan dan kebaikan untuk kehidupan masyarakat adat, tetapi janji itu ternyata tidak terpenuhi.

 

"Masyarakat justru mendapatkan dampak buruk dari kehadiran perkebunan sawit. Sehingga Sawit Watch bersama Bahtera Alam mendampingi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak hidupnya.” 

 

Saat ini, masyarakat adat Kenegerian Petapahan sedang berusaha untuk memperjuangkan hak-hak hidup, termasuk kelestarian ekosistem sungai dan hutan larangan adat Imbo Putui.

 

Bersama dengan Bahtera Alam dan Sawit Watch, masyarakat adat akan mengajukan keluhan kepada pihak yang telah mengesahkan operasional PT Ramajaya Pramukti sebagai perusahaan sawit yang berkelanjutan.