Bupati Toeloes, Chairil Anwar, dan Pembantaian Ribuan Warga Rengat

Chairil-Anwar-Penyair-Anak-Bupati-Toeloes.jpg
(INTERNET)

RIAUONLINE Tahukah Anda pembaca, jika peristiwa pembantaian Tentara Belanda pada 5 Januari 1949 di Rengat, ternyata merenggut nyawa Bupati Indragiri pertama, Toeloes, dan dikemudian hari dijadikan hari jadi Kota Rengat melalui Perda Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) 

 

Tak hanya itu, tahukah Anda pembaca, jika peristiwa pembantaian oleh tentara sebagian besar anggota KNIL itu, membuat Sungai Indragiri di depan rumah dinas Bupati Inhu  saat ini, berubah menjadi merah akibat mayat-mayat korban pembantaian dibuang begitu saja ke sungai. 

 

Tahukah juga Anda pembaca, jika Bupati Toeloes (Tulus), merupakan ayah kandung dari Penyair Chairil Anwar yang terkemuka itu. Bupati Toeloes ikut dibantai bersama tak kurang dari 2.600 warga lainnya yang ditembak mati oleh tentara Belanda. 

 

Bupati Toeloes ditembak tentara Belanda bersama Sekda Yohanes Simatupang. Toeloes ditembak dari depan, sedangkan Sekda Yohannes ditembak dari belakang. Mereka ditembak di halaman depan rumah dinas bupati.

 

Keduanya ditembak saat pulang dari kantor menuju rumah dinasnya. Bupati Toeloes menerima pesan mengatakan di rumah dinas ada tamu. Setiba di rumah, Letnan TNI Darmawi Ahmad mengajaknya untuk lari karena ada tentara Belanda yang melakukan penyerangan.

 

“Masih teringat oleh saya, sampai saat ini usia saya sudah 75 tahun, kalau papa dengan tegas mengatakan kepada Letnan Darmawi Ahmad kalau ia tidak akan lari sebab sudah diatur dalam perjanjian konferensi Jenewa kalau sipil tidak boleh ditembak dalam perang. Silahkan Anda lari sebab Anda tentara bisa ditembak sedangkan saya adalah sipil,” ujar Nani Tureja Toeloes, anak kandung Bupati Toeloes juga adik tiri Chairil Anwar, mencontohkan kalimat disampaikan ayahnya.

 

Pembunuhan Bupati Indragiri bersama sekda tersebut dilakukan serentak tepat di depan rumah dinas Bupati Indragiri yang saat ini masih difungsikan sebagai rumah dinas Bupati Inhu.

 

Pembantaian Bupati dan Sekda tersebut disaksikan langsung oleh anak kandung Sekda yaitu Drs Willy Manaek Simatupang. Sebab sebelum ditembak, anak Sekda Simatupang dipanggil dan disuruh menyaksikan.

 

“Kalau papamu (Bupati Tulus) ditembak dari arah belakang oleh 3 tentara belanda, kemudian tersungkur. Sedangkan ayah saya di tembak dari arah depan dibagian kepala. Jenazahnya kemudian dilempar ke Sungai Indragiri,” kata Nani Tureja menirukan perkataan anak Sekda Simatupang saat itu Nani berusia 11 tahun, ketika itu, dikutip dari politikriau.com. 

 


Bupati Toeloes memilih tetap bertahan di Kota Rengat. Namun ia kemudian ditangkap dan ditembak oleh tentara Belanda di depan istri dan anak-anaknya. Jasadnya dibuang di Sungai Indragiri bersama jasad ajudannya Tandean yang turut ditembak tentara Belanda

 

Chairil Anwar dan Bupati Toeloes

Lalu, bagaimana hubungan antara Penyair Karawang-Bekasi, Chairil Anwar ini dengan ayah kandungnya, Toeloes? Chairil lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949 dalam umur sekitar 27 tahun .

Ia dijuluki sebagai Si Binatang Jalang, dari karyanya berjudul Aku. Chairil merupakan penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh HB Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.


Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha,

 

Dikutip dari laman Wikipedia, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah Bupati Indragiri, Riau dan meninggal pada 5 Januari 1949 dengan ditembak oleh tentara Belanda bersama 2.600 warga lainnnya. 

 

Chairil Anwar masih punya pertalian keluarga dengan Pahlawan Nasional, Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orangtuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun, sedikit cerminan dari kepribadian orangtuanya.

 

Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

 

Saat usianya 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan, sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman. Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orangtuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (Jakarta), dimana ia berkenalan dengan dunia sastra.

 

Walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.

 

Chairil muda mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942, saat itu, ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi ia tulis merujuk pada kematian, dan itu mungkin tanda-tanda ia berumur pendek.

 

Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

 

Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati, akan tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.

 

Kemudian, Chairil memutuskan menikah dengan Hapsah Wiraredja, 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai akhir 1948.

 

Kekuatan puusi Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo), Jakarta, 28 April 1949.

 

Penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

 

Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi, hingga menyebabkan dirinya makin lemah.

 

Sehingga timbullah penyakit usus membawa kematian dirinya, ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya, dikutip dari laman Wikipedia, ia mengigau karena tinggi panas badannya.

 

Saat ia insaf akan dirinya Chairil berucap, "Tuhanku, Tuhanku..." Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh banyak pemuda dan orang-orang Republikan termuka.