RIAU ONLINE, PEKANBARU - Saat menyebut Rumah Gadang yang menjadi rumah tradisional di Sumatera Barat, kerap kali kita langsung tertuju pada Rumah Bagonjong dengan atap khas seperti tanduk kerbau.
Rumah dengan bentuk arsitektur khas dengan atap bergonjong yang menyerupai tanduk kerbau ini melambangkan kemakmuran dan kekuatan. Kerbau juga merupakan hewan yang sangat dihormati dalam budaya Minangkabau, terutama dalam kegiatan pertanian seperti membajak sawah.
Namun, Bagonjong bukan satu-satunya Rumah Gadang yang ada di Sumatera Barat. Dikutip dari KUMPARAN, Rumah Gadang yang memiliki arti rumah besar, secara fisik memang memiliki bangunan yang besar dan dipenuhi banyak ruangan di dalamnya.
Rumah Bagonjong biasanya digunakan di daerah darek atau darat dalam Bahasa Minang. Sedangkan di wilayah pesisir, seperti halnya Pariaman, kita akan menemui Rumah Gadang dengan arsitektur yang berbeda.
Rumah Gadang Tungkuih Nasi merupakan salah satu jenis rumah gadang yang biasa ditemui di kawasan rantau pesisir, Sumatera Barat. Rumah Gadang jenis ini juga kerap ditemukan di wilayah Pariaman, Pesisir Selatan.
Rumah ini tidak memakai Bagonjong pada atapnya. Sesuai dengan namanya, bentuk atap Rumah Gadang Tungkuih Nasi menyerupai tudung saji dan bungkus nasi.
Struktur rumah ini dibangun di atas tiang-tiang kayu yang tinggi, memberikan ruang terbuka di bawah rumah. Hal ini memungkinkan sirkulasi udara yang baik, menjaga rumah tetap sejuk meskipun dalam iklim tropis yang lembap.
Atap rumah ini memiliki bentuk trapesium terbalik, dengan sisi miring yang lebih curam dibandingkan dengan Rumah Gadang pada umumnya. Bentuk atap yang melengkung ini tidak hanya memiliki nilai estetika, tetapi juga berfungsi praktis untuk mengalirkan air hujan dengan cepat, sehingga mencegah kerusakan pada atap yang umumnya terbuat dari ijuk atau rumbia.
Menurut buku "Pariaman Rantau Minangkabau" karya Bagindo Arsalbam, pengaruh Aceh disinyalir menjadi alasan kuat berbedanya rumah gadang di Pariaman. Ketika Aceh menguasai Pariaman pada tahun 1607 lewat sejumlah regulasi pembangunan, Rumah Gadang di Pariaman punya aturannya sendiri di zaman itu yaitu di bawah kepemimpinan Iskandar Muda.
Jadi, pembangunan rumah Gadang di Pariaman diatur agar bisa mempresentasikan kebudayaan Aceh. Dengan begitu, rumah gadang Pariaman terlihat seperti gabungan Rumah Gadang Minangkabau dan Rumah Adat Aceh.
Arsitek Osrifoel Oesman yang sering meneliti tentang bangunan tradisional Nusantara menjelaskan bahwa ada perbedaan mendasar pada Rumah Gadang Bagonjong dan Tungkuih Nasi. Yang paling terlihat adalah bentuk atap dari bangunan ini.
"Bentuk bagonjong yang menjulang tinggi tentu tak cocok dengan daerah pesisir yang anginnya bertiup kencang. Masyarakat pesisir memilih atap yang lebih sederhana. Ini adalah bentuk kearifan lokal," kata Osrifoel, dikutip dari National Geographic.
Selain bentuk atap, perbedaan lainnya adalah bahan baku untuk pembuatan rumah. Pada Rumah Bagonjong, bambu yang mudah ditemukan di daerah pegunungan menjadi bahan Utama. Sedangkan Rumah Tungkuih Nasi menggunakan kayu kelapa yang jumlahnya melimpah di wilayah pesisir.
Sedangkan pada tata letak bangunan ini, dikatakan Osrifoel, terdapat perbedaan pada keberadaan serambi atau beranda.
Pada bentuk Bagonjong, tidak ada beranda di depan rumah. Sedangkan pada bentuk Tungkuih Nasi yang lebih dipengaruhi oleh arsitektur Aceh, terdapat serambi di bagian depan rumah.
Rumah adat Sumatera Barat menjadi warisan budaya Indonesia yang paling populer. Rumah Gadang yang memiliki arti rumah besar, secara fisik memang memiliki bangunan yang besar dan dipenuhi banyak ruangan di dalamnya.
Minangkabau sendiri merupakan kerajaan serikat yang terdiri dari beberapa kerajaan kecil yang bersatu. Pusat pemerintahannya berada di Pagaruyuang, dan wilayahnya meliputi Sumatera Barat dan sekitarnya.
Sedangkan Pariaman adalah bagian dari Minangkabau, dan rumah adatnya memiliki keunikan tersendiri yang merupakan hasil akulturasi budaya.