Viral, Ibu Minta Ganja Medis Dilegalkan Demi Obati Sang Anak

Ibu-Minta-Ganja-Medis-Dilegalkan.jpg
(Twitter Andien/@Andiensyah via Kompas)


Laporan: Dwi Fatimah

RIAUONLINE, PEKANBARU - Sebuah foto seorang ibu membawa papan bertuliskan kalimat “Tolong, anakku butuh ganja medis” viral di sosial media.

Foto tersebut diunggah oleh penyanyi Andien lewat akun twitternya @andienaisyah pada Minggu 26 Juni 2022. Andien mengungkapkan, ia bertemu ibu tersebut di area Car Free Day (CFD) di Jakarta.

“Tadi di CFD ketemu seorang ibu yang lagi bareng anaknya bawa poster, yang menurutku berani banget. Pas aku deketin beliau nangis,” dikutip dari cuitan @andienaisyah.

Ibu tersebut bernama Santi. Ditemani suami dan anaknya, Santi mengungkap bawah anaknya mengidap Cerebral Palsy.

"Anaknya, Pika, mengidap Cerebral Palsy. Kondisi kelainan otak yang sulit diobati, dan treatment yang paling efektifnya pakai terapi minyak biji ganja atau CBD oil," tutur Andien.

Dilansir dari Kompas.com, Senin, 27 Juni 2022, Santi merupakan seorang ibu asal Sleman, Yogyakarta. Ia melakukan aksi tersebut untuk meminta keadilan kepada hakim Mahkamah Konstitusi (MK).


Dengan membawa poster bertulisan permintaan tolong tersebut, Santi berjalan dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan berhenti di depan Gedung MK, Jakarta Pusat.

Pada 2020 lalu, Santi bersama dua orang ibu lainnya mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tepatnya Pasal 8 ayat 1 dan penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf A ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam tuntutannya, Santi meminta MK dapat mengubah bunyi pasal tersebut sehingga ganja dapat digunakan untuk terapi kebutuhan medis bagi anaknya. Namun, setelah melewati 8 kali persidangan, belum ada putusan yang jelas terkait permohonan Santi tersebut.

Sebelumnya, sidang permohonan uji materiil terhadap undang-undang tersebut pernah digelar pada Kamis, 20 Januari 2022, dengan agenda mendengarkan keterangan ahli Presiden, yakni Guru Besar Farmakologi Universitas Indonesia, Rianto Setiabudy.

Dalam sidang tersebut, Rianto bersikap kontra dengan para pemohon yang menginginkan agar ganja dapat dilegalkan untuk layanan kesehatan. Menurutnya, sikap konservatif lebih baik karena manfaat yang ditawarkan belum seimbang dengan risiko yang mungkin timbul karena penggunaan ganja sebagai obat.

"Menurut hemat saya, ini pertimbangan risiko dan manfaat. Saat ini, kita melihat bahwa indikasi-indikasi yang diklaim dapat diobati dengan kanabis (ganja), untuk itu tersedia banyak pilihan obat lain yang telah dibuktikan aman dan efektif sehingga mendapatkan izin edar," ucap Rianto.

"Dalam kondisi seperti ini, kita tidak melihat urgensi dalam hal ini (legalisasi ganja untuk medis). Lebih baik kita lebih konservatif, karena obat ini berpotensi untuk menimbulkan masalah, terutama terkait dampaknya pada masyarakat," Jelasnya.

Rianto mengaku belum sependapat dengan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan manfaat ganja untuk keperluan medis. Kata dia, masih ada beberapa kelemahan dalam studi-studi tersebut, sehingga belum ada data yang cukup kuat untuk dijadikan dasar penggunaan ganja sebagai obat.

"Adanya bukti (bahwa suatu zat/obat efektif mengatasi indikasi penyakit) bukan merupakan satu-satunya dasar pertimbangan suatu obat bisa diterima. Potensi manfaat selalu harus diimbangi dengan pertimbangan potensi dampak negatifnya seperti apa," ujar Rianto.

"Kalau seimbang, mungkin masih bisa kita terima. Tapi kalau misalnya potensi dampak negatif keamanannya lebih besar, kita terpaksa mengatakan tidak, walaupun bisa dikatakan dia punya efektivitas," ia menambahkan.