Jokowi Diminta Beri 3 Menteri Ini Kartu Merah, Dinilai Punya Kinerja Buruk

jokowi18.jpg
(Presiden (Foto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden))


RIAU ONLINE - Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Haris Pertama meminta Presiden Joko Widodo mencopot tiga menterinya. Ketiga menteri itu saat ini dinilai memiliki kinerja yang buruk.

Haris menyebut, tiga menteri itu adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto; Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang; dan Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi. Menurutnya, ketiganya tidak memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia lewat kinerjanya.

"Presiden layak berikan kartu merah kepada Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian dengan kinerja buruk", ujar Haris, mengutip Suara.com, Senin, 30 Mei 2022.

Disebutkan Harris, ada beberapa catatan evaluasi pemerintahan bidang perekonomian itu. Mulai dari bahaya ketimpangan rasio orang kaya hingga kelangkaan minyak goreng karena pengelolaan sawit.

“Pertama, terdapat ketimpangan yang terus meningkat selama kurun waktu 2019 hingga saat ini yang sudah sangat membahayakan karena jumlah orang kaya yang terus meningkat. Sementara orang yang menjadi pengangguran baru meningkat,” jelas Haris.

Harris mengatakan, ketimpangan ini makin melebar bukan karena pandemi Covid-19, melainkan disebabkan buruknya kebijakan-kebijakan yang dibuat Menteri bidang ekonomi, seperti kebijakan perlindungan sosial yang terlambat diberikan selama pandemi juga sangat mempengaruhi.

"Tercatat, jumlah orang kaya baru naik 65 ribu, tingkat ini rasio khususnya di perkotaan mencapai 0,4", ujar Haris.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tidak solid karena di kuartal II 2021 lalu, membuat pemerintah terburu-buru melakukan pelonggaran ekonomi. Imbasnya meski ekonomi tumbuh angka penularan pandemi Covid-19 kembali meroket.

Menurutnya, ini juga terjadi karena koordinasi antar kementerian yang kurang baik. Kerja bidang perekonomian dikerjakan bidang lain tapi Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) malah dialihtangankan oleh Kemenko Perekonomian.


"Bukan di bidang yang terkait dengan kesehatan, sehingga terdapat koordinasi yang tidak jelas," katanya lagi.

 

 

Selanjutnya, Kemenko bidang perekonomian dianggap sangat lemah mengelola dana penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

"Jika kita merujuk pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) terhadap KPCPEN terdapat borok yang luar biasa dengan temuan BPK RI selisih dana KC yang mencapai Rp 146,69 triliun, ini semua uang rakyat loh harus dipertanggungjawabkan", beber Haris.

Kemudian, kebijakan kartu Pra Kerja yang tidak tepat sasawan dan rawan penyimpangan juga jadi masalah. Implementasi kebijakan kartu pra-kerja bermasalah mulai dari sistem pendaftaran yang tidak tepat sasaran.

"Berikutnya fitur face recognition untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp 30,8 miliar tidak efisien. Harusnya cukup dengan data NIK KTP, kan NIK sudah terintegrasi dengan data kependudukan lainnya", tuturnya.

Aspek lainnya yang menjadi sorotan, yakni terkait pelaksanaan metode program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara. Sebab, hanya metode pelatihan hanya satu arah dan tidak memiliki mekanisme kontrol atas penyelesaian pelatihan yang baik.

Kelima, adalah persoalan kelangkaan minyak goreng dan kebijakan larangan ekspor CPO yang berimbas pada keresahan masyarakat, petani sawit maupun sektor swasta akibat lemahnya kebijakan yang dikeluarkan oleh jajaran kementerian bidang perekonomian menambah carut marut perekonomian dan politik nasional.

"Larangan ekspor CPO malah menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit", kata Haris.

Saat larangan ekspor di terapkan yang menyebabkan keuntungan perusahaan kelapa sawit jauh berkurang, dampaknya akan sangat dirasakan petani.

Seharusnya, pembelian TBS ditekan untuk mengatasi masalah profit perusahaan.

"Menteri jajaran bidang perekonomian khususnya Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan sejak awal tidak memiliki pemahaman komprehensif dari rantasi pasok (supply chain) sawit," kata Haris.

"Hal ini terlihat dari dampak kebijakan larangan eskpor CPO kepada petani sawit yang tidak diantisipasi. Situasi ini akan membuat kolaps industri sawit dan yang paling menjerit pasti petani," tambahnya memungkasi.