Berangnya DN Aidit saat Mahasiswa Komunis tak Bisa Bubarkan HMI

Logo-Himpunan-Mahasiswa-Islam.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE - Mulai zaman Kolonial Belanda, hingga Indonedia Merdeka, musuh utama komunis masih tetap kekuatan Islam, baik partai politik dengan basis Islam, ulama, hingga organisasi-organisasi kemasyarakatan. Tak terkecuali dialami Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tahun 1960-1965-an. 

Jelang hari-hari meletusnya Gerakan 30 September (Gestapu) 1965, sasaran terpenting pengganyangan PKI adalah HMI, organisasi kemahasiswaan terbesar ketika itu.

Prof Dr Salim Haji Said, dalam bukunya, Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto, menyatakan, Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi kemahasiswaan didirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) diperintahkan bos besarnya, Dipo Nusantara (DN) Aidit untuk membubarkan HMI.

"Kalau tidak bisa membubarkan HMI, pakai sarung saja," kata Aidit, seperti ditulis Salim Said, untuk menghasut CGMI, organisasi mahasiswa komunis, dalam pidatonya di Istora Senayan, beberapa hari sebelum meletus Gestapu.

Kalau HMI berhasil mereka bubarkan, sama seperti nasibnya Partai Masyumi, Murba dan organisasi lainnya, maka organisasi-organisasi independen lainnya bukan soal serius lagi bagi PKI untuk dihancurkan.

Menyadari taktik tersebut, tutur Salim Said, TNI AD dan kekuatan Anti-Komunis lainnya bersama-sama melindungi HMI.

"Soekarno tak ingin membubarkan HMI, karena ingin keseimbangan kekuataan antara PKI dengan kekuatan-kekuataan Anti-Komunis lainnya, terutama TNI AD.


Salim Said juga menceritakan, tokoh mahasiswa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Lim Bian Kie (kini bernama Jusuf Wanandi), menuturkan, "Ketika HMI terus-menerus diserang PKI, PMKRI berdiri di garis depan membela organisasi mahasiswa Islam terbesar itu,"

Cerdiknya, pimpinan HMI, sasaran terpenting untuk dibubarkan oleh PKI, mereka membina hubungan sangat baik dengan KSAD Letjen Ahmad Yani serta sejumlah pimpinan tentara lainnya.

Fahmi Idris, mantan Menteri di zaman Orde Baru dan SBY, bercerita kepada Salim Said, mengenai kedekatan-kedekatan tersebut. Ayah dari Fahira Idris, anggota DPD RI, menceritakan bagaimana aktivis-aktivis HMI zaman menggelar pertemuan dengan jenderal-jenderal Angkatan Darat.

"(Kita) membuat janji untuk kita jumpa dengan Pak (Ahmad) Yani adalah Rully, anggota kami (HMI)," kata Salim Said menirukan ucapan Fahmi Idris.

Rully Yani merupakan anak kandung Jenderal Ahmad Yani, mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Ia merupakan anggota HMI sangat aktif.

Meski Rully putri Jenderal Ahmad Yani, putri Yani lainnya juga aktif di organisasi mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), dekat dengan Bung Karno.

Selain dengan Yani, Fahmi dan kawan-kawan lainnya juga punya kontak teratur dengan Jenderal Achmad Sukendro, tokoh intel Angkatan Darat, Jenderal Alamsyah Prawiranegara (mantan Menteri Agama di zaman Soeharto), ketika itu bertugas di Markas Besar Angkatan Darat dan Jenderal Muchlas Rowi, perwira tinggi sangat dekat dengan Men-Pangab Jenderal Abdul Haris Nasution.

"Saya dan beberapa teman bahkan pernah diikutkan pada pendidikan combat intelligence di Jawa Barat," cerita Fahmi kepada Salim Said.

Usai Gestapu 65, dr Sulastomo, Ketua PB HMI ketika itu, sibuk menyelamatkan anak-anak HMI yang disusupi sebagai intel ke dalam PKI. "Wah repot, mereka dikira PKI betulan," kata Sulastomo, alumini Fakultas Kedokteran UI itu.

Menyusupi atau menyelundupkan mahasiswa HMI ke dalam PKI, karena dimungkinkan adanya kerja sama dengan jaringan intelijen Angkatan Darat.

Tulisan ini sudah pernah naik berjudul Mahasiswa PKI tak Bisa Bubarkan HMI, Aidit: Pakai Sarung Saja