Usai 2 Tahun Diperdebatkan, Inilah Wajah Baru UU Terorisme

Ilustrasi-Densus-88-Antiteror2.jpg
(TRIBUNNEWS.COM)

RIAU ONLINE - Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akhirnya disahkan menjadi undang-undang setelah dua tahun menjadi perdebatan di DPR. Sebanyak 281 anggota DPR yang hadir dalam Rapat Paripurna menyetujui revisi menjadi undang-undang.

"Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat disetujui menjadi Undang-Undang," kata Wakil Ketua DPR Agus Hermanto dalam Rapat Paripurna DPR, melansir Liputan6.com, Sabtu, 26 Mei 2018.

Menurut Ketua Pansus UU Terorisme, M Syafi'i, terdapat penambahan banyak substansi pengaturan dalam revisi untuk menguatkan pengaturan yang telah ada dalam UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Syafi'i menerangkan, penambahan substansi itu antara lain adanya perubahan signifikan terhadap sistematika UU Nomor 15 tahun 2003, menambah bab pencegahan, bab soal korban, bab kelembagaan, bab pengawasan dan peran TNI.

"RUU saat ini mengatur hal secara komprehensif, tidak hanya bicara pemberantasan namun juga aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan dan pengawasan," kata Syafi'i.

RUU tersebut, terangnya, juga menambah ketentuan dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersangka pidana terorisme yang harus menjunjung prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) terduga diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, tidak diperlakukan secara kejam dan tidak merendahkan martabatnya sebagai manusia.

Dijelaskan Syafi'i, revisi UU Terorisme juga menambahkan ketentuan terkait perlindungan korban aksi terorisme secara komperensif mulai dari definisi korban, ruang lingkupkorban, pemberian hak-hak korban yang semula di UU sebelumnya hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja.

"RUU ini telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santuan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan kompensasi," tuturnya.

Diatur pula pada Undang-Undang Terorisme yang baru ini tentang ancaman hukuman bagi warga negara Indonesia (WNI) yang mengikuti pelatihan militer, termasuk terlibat perang di luar negeri. Ancaman pidana tersebut diatur dalam Pasal 12 B ayat 1.

Bunyi Pasal 16 B ayat 1: Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.


Syafi'i menerangkan, soal aturan ini aparat penegak hukum tidak bisa langsung memidanakan warga negara yang pulang dari wilayah konflik jika tidak terbukti merencanakan atau melakukan terorisme. Dia mencontohkan, warga negara yang pulang dari wilayah konflik seperti Suriah ke Indonesia.

Sebab itu, kata Syafi'i, UU Terorisme membutuhkan definisi untuk membantu membuktikan seseorang yang baru pulang dari wilayah konflik terlibat dalam aksi terorisme.

"Kalau kemudian setiap orang yang pulang lalu dianggap sebagai teroris, saya kira kita kan tidak punya dasar hukum itu," kata Syafi'i.

Nantinya, mereka terlebih dahulu akan dinilai apakah ikut pelatihan militer untuk melakukan aksi teror atau tidak.

"Jadi orang lagi dari Suriah ini bisa di-assessment (dinilai) dulu. Yang melakukan assessment ini adalah BNPT," dia menerangkan.

Bagi mereka yang belum terdoktrin paham radikal, kata Syafi'i, BNPT akan mengikutsertakannya dalam program kontraradikalisasi. Sedangkan, bagi yang sudah terdoktrin akan diikutkan dalam program deradikalisasi.

Tak hanya itu, mengacu pada Pasal 12 B ayat 4 juga disebutkan warga negara yang telah dijatuhi hukuman pidana terorisme dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama lima tahun.

Selain itu, UU Terorisme pun mengatur ancaman hukuman bagi kejahatan terorisme yang melibatkan anak-anak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16A.

Pasal tersebut merupakan tambahan pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 16 dan Pasal 17. Pasal tersebut berbunyi: Setiap orang yang melakukan Tindakan Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Sementara itu, anggota Pansus RUU Terorisme Dave Laksono menuturkan, masuknya pasal tersebut bukan dipicu oleh adanya rentatan insiden teror di tiga gereja di Surabaya, yang melibatkan anak-anak sebagai pelakunya. Namun, kata Dave, pasal itu sudah dibahas sejak awal pembentukan Pansus.

Menurut Dave, Pansus berkaca dari berkaca dari kasus-kasus terorisme di negara lain yang banyak melibatkan anak-anak. Hal ini yang mendasari Pansus untuk memasukkan pasal pidana bagi pelaku yang melibatkan anak-anak.

"Enggak, pada itu muncul sejak lama, sejak awal pembahasan di Pansus," kata Dave.

"Awalnya kita berpikir mungkin ini (aksi teror libatkan anak-anak) bisa terjadi di Indonesia dan nyatanya terjadi juga kan. Itu semangat Pansus dari munculnya Pasal 16A itu," sambungnya.

Setelah RUU Terorisme diundangkan seiring disahkannya UU Terorisme, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly berharap aparat penegak hukum bisa lebih bertanggung jawab dalam menanggulangi aksi terorisme.

"Kita harap ini dapat digunakan secara bertanggung jawab oleh Polri, Densus, BNPT, dan nanti TNI secara bersama-sama, juga jaksa yang nanti akan menuntut, hakim kalau dia akan memutus," kata Yasonna.

Yasonna mengatakan, dengan UU Terorisme aparat keamanan sudah bisa bertindak preventif ketika mengetahui rencana terorisme.

"Diharapkan dengan adanya UU ini dapat mencegah atau mengurangi setidak-tidaknya tindak pidana terorisme karena sudah diberi kewenangan untuk menindak dalam upaya pencegahannya," dia menerangkan.