Dilema di Kota Bertuah: Antara PKL Pencari Nafkah dan Hak Pejalan Kaki yang Direnggut

PKL-Jalan-Sudirman-Ujung-Pekanbaru-Timbulkan-Kemacetan.jpg
(Herianto Wibowo/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU — Aktivitas Pedagang Kaki Lima (PKL) di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru, kembali menuai sorotan. Trotoar yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki, berubah fungsi menjadi lapak dagang. Sebagian badan jalan juga ikut ditempati, menyebabkan kemacetan parah terutama saat sore hari.

Di tengah sempitnya ruang kota, para PKL mencoba bertahan hidup. Namun, keberadaan mereka yang mengorbankan hak pengguna jalan dan pejalan kaki menimbulkan dilema.

Hingga Rabu, 9 Juli 2025, sejumlah PKL tetap berjualan di lokasi tersebut meski sudah pernah ditertibkan Satpol PP Pekanbaru. Di sisi lain, para pembeli pun seenaknya memarkir kendaraan di bahu jalan, memperparah kemacetan di tengah Kota Bertuah.

“Kalau sore macetnya luar biasa. Apalagi banyak PKL yang jualan sampai ke badan jalan. Kita yang mau lewat jadi susah, apalagi mobil,” ungkap Dedi, warga yang warga yang rutin melintasi kawasan itu.

Hal senada diungkap Ani, pengguna jalan lainnya. Ia menyebut situasi ini tak hanya semrawut, tapi juga berbahaya.


“Sering hampir bersenggolan sama motor lain, karena jalannya jadi sempit. Apalagi kalau pembeli parkir sembarangan, tambah kacau,” kata Ani.

Meski begitu, warga memahami para pedagang butuh penghidupan. Namun, tanpa penataan yang jelas dari pemerintah, keberadaan PKL di lokasi ini justru memunculkan masalah baru.

Ketidaktegasan penertiban pasca razia dan tidak adanya relokasi permanen membuat konflik jalanan seperti ini terus berulang.

“Bukan kita tidak mendukung usaha mereka, tapi kalau sampai ganggu jalan umum, itu kan jadi masalah. Harusnya ada penataan dari pemerintah,” tambahnya.

Dilema ini seolah jadi potret kota yang tak pernah benar-benar memberi ruang adil bagi semua. PKL ingin tetap hidup, pengendara ingin lancar, dan pejalan kaki hanya ingin aman berjalan.