Peluang Terakhir Tesso Nilo

Gajah-Tesso-Nilo2.jpg
(Foto: ANTARA FOTO/FB Anggoro)

Oleh: Afdhal Mahyuddin

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Satu petang pada Juni 2008. Lanskap hutan Tesso Nilo sudah kami lewati, saatnya memasuki satu konsesi hutan tanaman industri (HTI) di Indragiri Hulu, Riau. Tumpukan-tumpukan kayu alam pasca penyidikan oleh kepolisian masih teronggok. Jurnalis Hokkaido Shimbun dari Jepang menanyakan pada penulis siapa yang harus menyelesaikan solusi perambahan maupun deforestasi yang marak di kawasan konservasi dan hutan berkonsesi di Riau.

Penulis menjawab, persoalan taman nasional dan perusakan hutan alam harus ditangani oleh Presiden dengan memerintahkan bawahannya karena banyaknya pihak yang diduga terlibat, dari level lokal, nasional hingga internasional.

17 tahun sudah berlalu, ada angin segar untuk memulihkan hutan yang berubah fungsi, termasuk Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) setelah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah dibentuk dan sejak medio Juni  operasi satgas menyasar TNTN dan kawasan hutan lainnya di Riau.

Kemenhut mengatakan pemerintah akan memulihkan kawasan hutan Tesso Nilo melalui skema rehabilitasi berbasis padat karya, restorasi ekosistem, serta penegakan hukum secara menyeluruh.  

Dalam PP 25 tahun 2025, disimpulkan Penertiban Kawasan Hutan dilakukan terhadap setiap orang yang melakukan penguasaan Kawasan Hutan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penertiban Kawasan Hutan dilakukan dengan: penagihan Denda Administratif; Penguasaan Kembali Kawasan Hutan; dan/atau pemulihan aset di Kawasan Hutan.

Sangat panjang untuk mengisahkan secara rinci apa-apa yang sudah terjadi di lanskap Tesso Nilo termasuk di taman nasionalnya. Saat ini Pemerintah sedang melakukan penegakan hukum dan memberikan jangka waktu tiga bulan kepada warga yang mendiami TNTN sebelum melakukan relokasi. Pemulihan TNTN yang diperkirakan hutan alamnya tersisa sekitar 12.000 -13.000 hektar dari total luas 81.739 hektar menjadi harapan besar publik Riau saat ini.  

Menurut Pemerintah, ada sekitar 40.000 hektar yang menjadi kebun sawit ilegal, meski angka ini masih bisa diperdebatkan. Perambahan signifikan dalam data resmi BBKSDA Riau bermula dengan jumlah 2.700 hektar pada tahun 2005. Dua jalan koridor untuk transportasi kayu yang dibangun salah satu pemegang konsesi HTI dianggap pemerhati lingkungan menjadi awal akses masuk perambah dari luar daerah. Tak heran, bus-bus dari Sumatera Utara pun bisa masuk melewati Koridor Baserah dan Koridor Ukui ini.

Penertiban sawit ilegal, sosialisasi, maupun penegakan hukum di TNTN sudah berjalan sejak 2007, dimana dimulainya sosialisasi oleh tim gabungan para pihak yang dibalas dengan aksi penyerangan massa terhadap tim gabungan. Sosialisasi dibantu aparat keamanan, seperti pada 2016-2018, pernah dilakukan, termasuk mengenalkan konsep Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN).

Dalam pemberitaan yang marak, beberapa kali staf dan pimpinan Balai TNTN mendapat intimidasi, aksi kekerasan dari pelaku yang diduga mendukung perambahan. Yang tak ada dalam pemberitaan seperti anggota tim gabungan yang dikeroyok tahun 2007, bahkan seorang rekan kerja penulis nyaris mengalami kejadian fatal karena dikeroyok ratusan massa, namun dengan kehendak Allah, dia masih selamat.

Isu Hak Asasi Manusia (HAM) mencuat diangkat oleh masyarakat yang menempati lahan TNTN, menuju Jakarta, dari Gedung DPR hingga Komnas HAM awal Juli ini. Apakah memang isu HAM menjadi titik sentral dari penyelesaian penertiban kebun sawit ilegal dan pemulihan TNTN ini? Atau, bagaimanakah?

Keanekaragaman hayati


Kompleks Tesso Nilo yang tercakup dalam empat kabupaten di Riau termasuk segelintir hutan di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan skor 218 spesies tanaman berpembuluh terdapat dalam lahan tunggal 200 meter persegi. Ia merupakan rumah bagi gajah sumatera, harimau sumatera, tapir, siamang dan burung serta mamalia lainnya (Gillison, 2001).

Inisiasi Pemerintah Daerah didukung masyarakat sipil untuk perluasan taman dari bekas sejumlah konsesi HPH yang tidak aktif menjadi satu keniscayaan sejak awal 2000-an. Pengelolaan TNTN dengan dukungan multipihak di tengah ancaman degradasi dan deforestasi merupakan salah satu model yang dianggap sebagai langkah maju dalam manajemen konservasi taman nasional di negeri ini.

Tesso Nilo adalah saksi tren peralihan bisnis sektor kehutanan dari konsesi HPH dan HTI menjadi minyak sawit. Dari konsesi yang masih menyisakan hutan alam menjadi konsesi monokultur yang membabat habis apa saja, tentu selain akasia ataupun sawit.

Ia menampilkan evolusi perusakan hutan yang sempurna, dari penebangan kayu hutan alam, pembakaran hutan dan lahan, hingga perambahan hutan untuk dijadikan kebun sawit.  Ia melibatkan bank-bank di negeri ini hingga lembaga keuangan di Eropa, Australia dan Amerika.  

Tesso Nilo adalah taman permainan pembalak liar, perambah dari provinsi tetangga, cukong kayu, cukong sawit, korporasi nasional (HTI dan sawit) berskala global, hingga pabrik produk rumah tangga dan barang konsumsi berbasis di Eropa dan Amerika Serikat. Penelusuran rantai pasok sawit ilegal ke pasar internasional terdokumentasi dengan jelas dalam sejumlah publikasi masyarakat sipil.

Akankah kali ini di era Presiden Prabowo Subianto, pemerintah berhasil menghentikan perambahan, lalu menggantikan kebun sawit ilegal menjadi hutan kembali, serta merelokasi warga secara damai?  

Nama-nama pemilik lahan besar ilegal sudah dikenal luas, bahkan mereka menjadi anggota dewan, pengusaha, maupun politisi. Pembiaran dan pembenaran sepanjang dua dekade dalam persimpangan jalan. Empat periode kepemimpinan nasional sudah dilalui. Empat gubernur Riau sudah berganti.

Konsistensi Satgas PKH hingga tugas tuntas akan membedakannya dengan tim-tim sebelumnya yang pernah dibentuk. Dukungan dari lembaga adat dan masyarakat di Riau cukup tinggi untuk pengembalian fungsi hutan Tesso Nilo.

Keserakahan

Cukup sudah keserakahan para pebisnis –mulai dari titik kumpul sawit hingga industri pengolahan minyak sawit—menikmati keuntungan dengan tidak mengeluarkan banyak modal dan pajak. Biarkanlah jejak-jejak kaki harimau mewarnai pagi hari di pinggiran sungai-sungai kawasan Tesso Nilo.  Biarkan kepakan Burung Rangkong kembali terdengar, hinggap dari satu pohon besar ke pohon lainnya. Biarkan kumpulan pohon sialang menghiasi Tesso Nilo lagi, hingga madu sialang meramaikan ekosistem. Hutan adalah aset bagi bangsa di tengah-tengah ancaman perubahan iklim, serta menipisnya tutupan hutan di negeri ini.

Pemerintah harus kukuh dalam menegakkan ketertiban dan pemulihan di TNTN karena lebih banyak pihak yang akan mendapatkan manfaat menjaga fungsi hutan. Perluasan kebun sawit ilegal maupun ekspansi konsesi HTI hanya menguntungkan segelintir pihak seperti para mafia tanah, cukong sawit, korporasi internasional di lansekap, maupun korporasi global penampung rantai pasok sawit ilegal.

Hindou Ibrahim, perempuan Chad yang merupakan perwakilan masyarakat adat dan aktivis. Ia menjelaskan di situs un.org, “sebagai masyarakat adat, kami nyatakan, kami tidaklah berbeda dengan spesies lainnya. Kami hanyalah spesies alam, jadi kami tidak boleh menyakiti yang lainnya.”  

Tentu masyarakat adat yang baik tidak akan menjual hutan tanah ulayat yang merupakan praktik terlarang di kalangannya. Masyarakat yang baik bukanlah yang membeli lahan dan pindah dari kampungnya karena diimingi cukong atau mafia pembeli lahan kawasan hutan. Mereka seharusnya tidak mau juga diprovokasi para mafia untuk melakukan kegiatan terlarang.

Apa yang terjadi di Tesso Nilo dan banyak lokasi keanekaragaman hayati lainnya menjadi contoh keprihatinan betapa peran negara-negara kaya dinilai berandil dalam kehancuran habitat satwa liar di negara-negara yang memiliki hutan tropis.

Satu kajian dari Princeton University, AS, menyebutkan negara-negara berpendapatan tinggi bertanggung jawab terhadap 13 persen hilangnya habitat satwa liar di luar negara mereka. Ini diakibatkan oleh permintaan tinggi negara-negara kaya terhadap produk seperti minyak sawit, kayu, daging dan kacang kedelai, yang menghancurkan lokasi keanekaragaman hayati di mana-mana (Nature, volume 639, 2025).

Korporasi global yang melanggar peraturan kehutanan dan berandil bagi penghancuran TNTN, seharusnya bertanggung jawab dengan dampak operasi yang mereka lakukan. Komitmen keberlanjutan sektor swasta untuk pemulihan lanskap Tesso Nilo bisa dilakukan dengan berbagai upaya termasuk kompensasi terhadap ekosistem, selain menaati penegakan hukum.

Tesso Nilo menyimpan luka-luka yang mungkin tak dirasakan para penikmatnya. Tapi tidak bagi spesies yang terancam punah, maupun masyarakat adat yang mendambakan kembalinya hutan dan ekosistem Tesso Nilo.

Terkadang, bangsa ini, termasuk masyarakat Riau, ingin pula memiliki kisah membanggakan di dunia kehutanan, keanekaragaman hayati,  dan lingkungan hidup. Bukan hanya kisah-kisah amoral dan korup, bahkan penggembosan  nama baik masyarakat adat, apakah itu Melayu, Sakai, Talang Mamak atau Suku Anak Dalam. Bukan hanya soal berita pembalakan liar dan perambahan hutan.

Dua puluh tahun Tesso Nilo jatuh dan berusaha bangkit, namun jatuh lagi. Kini momentum yang jadi titik tiada balik sedang tiba. Saatnya peluang terakhir untuk mengembalikan hutan TNTN, atau kesempatan itu takkan ada lagi.  Pemulihan hutan TNTN diharapkan berjalan di jalur yang elok. Saatnya Pemerintah didukung semua pihak dalam memperbaiki kerusakan hutan di seluruh negeri.  Ini bisa dimulai dari Tesso Nilo.

Afdhal Mahyuddin, pemerhati lingkungan, pernah bekerja sebagai jurnalis di beberapa media nasional dan internasional di Jakarta (1995-2004) dan lembaga konservasi  (2006-2023) di Pekanbaru.