RIAU ONLINE, PEKANBARU - Indonesia secara tegas menetapkan bahwa anak berusia di bawah 12 tahun tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana.
Pakar Hukum Pidana Anak dari Universitas Indonesia, ujar Siti Rahmawati mengatakan, hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 yang menandai tonggak penting dalam perlindungan hukum bagi anak-anak.
“Anak yang belum berusia 12 tahun tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara hukum,” terang Rahmawati, Rabu, 4 Juni 2025.
“Jika mereka melakukan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, maka pendekatan yang diambil adalah tindakan, bukan penghukuman,” imbuhnya.
Rahmawati menjelaskan, anak di bawah usia 12 tahun yang melakukan tindak pidana tidak akan diseret ke pengadilan pidana.
Sebaliknya, mereka akan ditangani dengan pendekatan rehabilitatif dan preventif, seperti dikembalikan kepada orang tua, diserahkan kepada lembaga kesejahteraan sosial, atau dirawat di institusi yang berwenang.
Direktur Eksekutif Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Budi Santoso mengatakan, hal ini bertujuan agar anak yang terlibat masalah hukum tetap bisa mendapat kesempatan kedua.
“Kita ingin anak-anak ini mendapat kesempatan kedua, bukan cap kriminal. Sistem peradilan pidana anak (SPPA) dirancang untuk menyelamatkan masa depan mereka, bukan menghancurkannya,” jelas Budi.
Berbeda dengan anak di bawah 12 tahun, anak berusia antara 12 hingga 18 tahun yang melakukan tindak pidana akan dikenai sanksi berdasarkan hukum pidana anak.
Mereka dapat diproses secara hukum, namun tetap dengan pendekatan yang berbeda dari orang dewasa. Penanganannya lebih menekankan pada pembinaan dan reintegrasi sosial, bukan semata-mata hukuman.
Selain itu, dalam banyak kasus, anak-anak yang berkonflik dengan hukum dapat menjalani diversi, yaitu penyelesaian perkara di luar jalur pengadilan. Diversi dapat berbentuk perdamaian antara pelaku dan korban, rehabilitasi, atau mediasi oleh pihak netral.
“Diversi adalah bentuk keadilan restoratif yang sangat penting. Ini membantu anak bertanggung jawab atas perbuatannya, namun tetap diberi ruang untuk memperbaiki diri,” jelasnya.
Ketentuan hukum juga mengatur bahwa anak baru dapat ditahan jika sudah berusia 14 tahun atau lebih, dan diduga melakukan tindak pidana berat dengan ancaman pidana 7 tahun penjara atau lebih.
Ini bertujuan untuk mencegah anak-anak terpapar lingkungan penahanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan perkembangan psikologis mereka.
Jika anak terbukti bersalah dan berusia 14 tahun ke atas, maka bentuk hukumannya pun berbeda dari orang dewasa. Anak bisa dijatuhi pidana pokok seperti peringatan, pembinaan di lembaga khusus, pelatihan kerja, atau pidana bersyarat.
Selain itu, pidana tambahan dapat dijatuhkan, seperti perampasan keuntungan dari tindak pidana atau kewajiban untuk memenuhi tanggung jawab adat.
"Setiap anak punya hak untuk diperbaiki, bukan dikriminalisasi. Negara wajib hadir untuk melindungi, bukan menghukum secara membabi buta,” tutup Siti Rahmawati.