Palsukan Surat Tanah, Mantan Kepala Desa Seberida Divonis Satu Tahun Penjara

Palsukan-Surat-Tanah-Mantan-Kepala-Desa-Seberida-Divonis-Satu-Tahun-Penjara.jpg
(Defri Candra/Riau Online)

RIAU ONLINE, INHU - Pengadilan Negeri (PN) Rengat menjatuhkan vonis penjara satu tahun kepada mantan Kepala Desa Seberida, Ria Saprina. Ria terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan surat tanah dan jatuhkan vonis satu tahun oleh Hakim Ketua Sidang, Lia Herawati di PN Rengat, Kamis, 15 Mei 2025.

Menurut hakim, Ria Saprina terbukti secara sah dan meyakinkan memalsukan dokumen yang merugikan pihak lain, dalam hal ini PT Nikmat Halona Reksa (PT NHR).

"Ria Saprina dinyatakan bersalah telah menggandakan surat tanah atau membuat surat palsu yang kemudian diterbitkan dan digunakan untuk kepentingan pribadi," ujar Majelis Hakim.

Sebagai akibat dari perbuatannya, PT NHR yang merupakan pihak yang dirugikan harus menanggung kerugian besar, terutama terkait dengan penguasaan tanah yang seharusnya menjadi aset perusahaan.

Pengadilan Tinggi (PT) yang dipimpin oleh Syahlan, menguatkan keputusan PN Rengat Nomor 307/Pid.B/2024/PN Rgt tanggal 20 Maret 2025 dan memerintahkan agar terdakwa segera ditahan untuk menjalani masa hukumannya selama satu tahun. 

"Dalam sidang tersebut, pihak pengadilan memutuskan agar terdakwa, yang sebelumnya masih bebas, segera dibawa ke penjara," terangnya.

Syahlan mengungkapkan bahwa proses hukum yang diambil sudah melalui pemeriksaan mendalam atas keterangan beberapa saksi, termasuk Direktur Utama PT NHR, Johan, serta Direktur Keuangan dan HRD & Legal PT NHR. 

Saksi-saksi tersebut menjelaskan bahwa PT NHR tidak pernah kehilangan surat tanah yang kini menjadi bahan permasalahan. Surat asli tersebut telah disimpan dengan rapi di arsip perusahaan yang berada di Medan. 


Namun, secara tiba-tiba muncul surat tanah yang diterbitkan oleh Ria Saprina, yang diduga diajukan oleh Hendri Wijaya, mantan Direktur PT NHR.

Johan, Direktur Utama PT NHR, menjelaskan dalam persidangan bahwa perusahaan mereka tidak pernah kehilangan surat tanah tersebut. 

"Surat asli ada sama kami dan sudah menjadi barang bukti. Kami bahkan memiliki catatan mengenai pembelian tanah jalan masuk PT NHR yang menggunakan uang perusahaan, sebagaimana tercatat dalam alur pengeluaran uang perusahaan pada tahun 2006," ujar Johan.

Lebih lanjut, Direktur Keuangan PT NHR juga memberikan keterangan yang menjelaskan bahwa pengeluaran dana untuk pembelian lahan tersebut tercatat dengan jelas dalam berita acara serah terima di kantor Pekanbaru, dengan bukti pembayaran ganti rugi tanah untuk jalan masuk PT NHR. 

Berdasarkan penuturan ini, terungkap bahwa tindakan pemalsuan yang dilakukan oleh Ria Saprina berawal dari penerbitan surat ganti rugi atau SKGR yang seharusnya tidak ada perubahan, karena dokumen tersebut sesungguhnya tidak pernah hilang.

Sementara itu, Hendri Wijaya, mantan Direktur PT NHR, yang disebut-sebut terlibat dalam kasus ini, diketahui telah memanfaatkan surat tanah yang diterbitkan oleh Kades Ria Saprina untuk menguasai tanah yang seharusnya menjadi milik PT NHR. Tanah tersebut digunakan sebagai jalan akses masuk dan keluar perusahaan.

Akibat dari penerbitan surat tanah yang tidak sah ini, PT NHR mengalami kerugian yang tidak sedikit. Proses hukum ini berujung pada munculnya konflik internal yang sempat menyebabkan penutupan jalan operasional perusahaan. 

Dampaknya, PT NHR terpaksa menanggung kerugian hingga miliaran rupiah, dan operasi perusahaan terganggu.

Pihak PT NHR sebelumnya telah melaporkan dugaan pemalsuan surat tanah ini kepada pihak berwajib, dengan harapan agar para pelaku yang terlibat dalam pemalsuan dokumen ini dapat diberikan sanksi yang sesuai. 

Kasus ini mendapat perhatian serius dari publik karena melibatkan pejabat desa yang seharusnya bertanggung jawab atas administrasi tanah dan aset masyarakat.

Tindak pidana pemalsuan surat tanah atau dokumen penting seperti yang dilakukan oleh Ria Saprina telah mengundang sorotan hukum yang cukup tajam. 

Berdasarkan keputusan pengadilan, Ria Saprina dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, yang mengatur tentang pemalsuan surat yang dapat merugikan pihak lain. 

Selain vonis penjara satu tahun, pengadilan juga memerintahkan agar terdakwa ditahan, sebagaimana tertuang dalam putusan yang telah dibacakan.