Gara-gara Dahan Pohon Ditebang, Dua Negara Hampir Perang

Perang-Korut-Korsel.jpg
(United Nations Command/American Forces Korea Network (AFKN) video library via Historia.ic)


RIAU ONLINE - Kapten Arthur G. Bonifas dari pasukan UN Command (UNC) tetap menjalankan tugasnya di tengah "daerah panas". Tugas berat tak ada yang menanti, apalagi setelah kedatangan calon penggantinya.

"Penggantinya Kapten Ed Shirron, yang tingginyya enam kaki enam dan lebih dari dua ratus pound bahkan besar menurut standar Merrya Monk telah tiba. Arth menghabiskan hari-hari terakhirnya di Korea untuk mengajak Shirron berkeliling, bersiap untuk pergantian komando pada tanggal dua puluh satu, dan merencanakan satu tugas yang belum selesai di JSA, pemangkasan pohon poplar Normandia," tulis Rick Atkinson dalam The Long Gray Line: The American Journey of West Point's Class of 1996, melansir Historia.id, Kamis, 12 Mei 2022.

Bonifas, pada 18 Agustus 1976, kala itu bersemangat memimpin sekelompok pekerja Korean Service Corps (KSC) beserta para personel perbatasan yang mengawalnya memangkas sebuah pohon poplar setinggi 40 kaki di dekat Jembatan Sach'on (Bridge of No Return) yang menjadi batas antara Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut), tepatnya di sisi barat daya Joint Security Area (JSA), Demilitary ZOne (DMZ) Panmunjom, Korsel.

Memangkas pohon memang bukan pekerjaan berat, tapi tetap berbahaya untuk mereka serta keamanan lebih luas. Terlebih lagi, pohon yang akan dipangkas itu berada di wilayah yang dikelola bersama pasukan penjaga perbatasan kedua negara. Baik penjaga perbatasan Korut maupun Korsel, sama leluasanya bergerak di sana. Tapi, konflik bisa dengan cepat meningkatkan eskalasinya meski hanya karna hal sepele.

Lantaran insiden kekerasan yang kerap terjadi, pada 6 Agustus 1976, para personel UNC dan perbatasan Korsel serta dipimpin Bonifas memeriksa kondisi pohon poplar dekat jembatan. Pohon itu tumbuh rimbun hingga menghalangi pandangan antara Pos Checkpoint UNC No 3, yang menjadi pos perbatasan terluar Korsel dan Pos Observasi No 5. Jika dedaunannya tidak dipangkas, mereka yang berada di Pos Observasi No 5 tidak dapat melihat jembatan dan kondisi rekan-rekannya di Pos No 3. Sehingga, jika terjadi hal berbahaya, rekan-rekan di Pos No 5 tidak akan bisa membantu.

Pada 18 Agustus 1976 pukul 10 pagi lewat, Bonifas yang memimpin ditemani wakilnya Lettu Mark T. Barret dan penerjemah Kapten AD Korsel Kim Moon Hwan, bersama enam pekerja KSC dengan pengawalan 10 personel dari Datasemen UNC mendatangi lokasi pohon itu. Mereka hanya membawa peralatan tangga, kapak, gergaji, linggis, pipa dan tentunya dua pistol di pinggang Bonifas juga Barret.

John K. Singlaub dan Malcolm MacConnel dalam Hazardous Duty: An American Soldier in the Twentieth Century menulis bahwa dua puluh orang Pasukan Reaksi Cepat dipindahkan ke Pos Pemeriksaan PBB No. 2 sebagai tindakan pencegahan. Mereka siap untuk campur tangan bila Korea utara mengganggu penebangan pohon. Selain itu, kelompok pekerja juga menempatkan pegangan pick di belakang truk mereka, namun tetap mengikuti Perjanjian Gencatan Senjata, tidak membawa senjata selain pistol.

Tepat pada pukul 10.30, pemangkasan pohon dimulai. Tapi, baru lima menit pekerjaan berjalan, sebuah truk Korut datang. Mereka yang tengah memangkas dan para penngawalnya didatangi sembilan tamtama diikuti dua perwira Korut.

Sang komandan pasukan Korut, Lettu Pak Chol, lantas menanyakan apa yang sedang dilakukan para penjaga perbatasan Korsel itu. Mereka bilang sedang memangkas. "Bagus," demikian Lettu Pak meresponnya yang segera diikuti kalimat para prajurit yang berupaya mengajarkan cara memangkas pohon dengan benar.

Dua puluh menit kemudian, Pak yang menghampiri Bonifas memerintahkan perwira asal Westa Point, AS itu agar menghentikan pekerjaannya. Bonifas yang menolak mengatakan bahwa anak buahnya akan menyelesaikan pekerjaan dan lalu pergi. Jawaban itu membuat Pak meradang. Menurutnya, pemangkasan jika dilanjutkan akan menyebabkan masalah serius.

"Ketika pasukan pekerja pergi untuk memangkas pohon, mereka diberitahu Korea Utara bahwa Anda tidak dapat memotong pohon ini karena Kim Il Sung sendiri yang menanam dan memeliharanya dan tumbuh di bawah pengawasan ini," kata Pak, dikutip James Cunningham dalam "Officer Recalls Ax Murder Incident" yang dimuat Indianhead, 15 September 2006.

Pak yang marah setelah diacuhkan lantas mengirim seorang prajurit melintasi perbatasan untuk meminta bantuan. Tak lama kemudian, 10 prajurit Korut turun daru sebuah truk bersama enam prajurit lainnya yang datang berlari dari pos penjagaan terdekat. 13 personelUNC dan 6 pekerja KSC dikelilingi oleh hampir 30 personel Korut. Situasi panas itu diabadikan kamera oleh beberapa personel pasukan Reaksi Cepat UNC yang tengah memantau situasi melalui radio pos mereka.


"Chookyo! (Bunuh!)," perintah Lettu Pak saat Kapten Bonifas diperingkatn seorang personel NCO Amerika.

Pasukan Bonifas langsung diserang para personel Korut. Sementara Letnan Pak menendang selangkangan Bonifas yang langsung jatuh. Tiga personel Korut yang menggerubungi langsung menyerangnya. Beberapa personel lain segera mnyerang penjaga UNC, setelah merebut kapak, linggis, pipa logam, dan tongkat berat peralatan kerja KSC, tapi konstrasi tetap kepada perwira Amerika dan NCO.

Menurut tulisan Chuch Downs dalam Over the Line: North Korea's Negotiating Strategy, beberapa penjaga Korea Utara mengambil kapam yang sudah digunakan pekerja Korea Selatan dan menggunakannya dalam penyerangan.

"Seperti dalam serangan Korea Utara sebelumnya, perseonel UNC secara individual diisolasi dari partai utama mera dan diserang pasukan Korea Utara yang jumlahnya lebih banyak," tulisnya.

Para personel UNC dikejar pasukan Korea Utara yang telah dibagi ke dalam tim penyerang yang efisien dan segera menyebar. Tongkat dan pipa baja pun diayunkan untuk melumpuhkan para personel UNC. Seorang personel komunis langsung menjepit lengan seorang Amerika agar tidak bisa menggunakan senjatanya.

Sementara Kapten Bonifas yang tergelatk di tanah sambil terus menangkis tendangan dan pukulan, akhirnya tewas dipukuli seorang tentara Komunis. Sedangkan Lettu Barret, dikejar enam personel Korut yang bersenjatakan tongkat, kapak, dan pipa baja di sekitar truk serta melewati tembok rendah. Akhirnya, dia tidak berdaya juga.

Singlaub dan MacConnell menulis bahwa para prajurit PBB bergantung par perwira mereka untuk memerintahkan penggunaan senjata, tetapi para perwira itu tewas di detik-detik pertama serangan itu.

"Untungnya, seorang tentara Amerika membebaskan diri dan mampu mengemukan truk UNC melewati huru-hara, memaksa mundur Komunis, sementara para pekerja KSC naik ke atas. Pengalihan itu memungkinkan penjaga UNC lain membantu rekan-rekan mereka yang babak belur," tulisnya.

Kemudian, dalam sekejap pasukan Reaksi Cepat UNC tiba di bagian DMZ Korut. Sekitar enam puluh menit kemudian akhirnya insiden itu berakhir. Lantas, mereka mencari Lettu Barret yang tak ditemukan. Nahas, Lettu Barret ditemukan dalam keadaan tak bernyawa dengan tengkorak hancur di selokan tak jauh dari jalan.

UNC tak terima. Usulan pertemuan dengan pihak Korut untuk memprotes pembunuhan itu segera dilayangkan. Tapi, Korut menolak dengan dalih sudah meminta pertemuan petugas keamanan untuk membahas insiden itu.

Sementara di Washington D.C, berbagai opsi yang akan diambil langsung dibahas Kelompok Penasihan Khusus Dewan Keamanan Nasional. Lalu diputuskan, Pemerintah AS mengabil tindakan militer dan diplomatik. Skuadron pembom F-111 lantas dipersiapkan dan kapal induk USS Midway di Jepang diperintahkan ke perairan dekat Korea. Tentunya, setelah mengabari delegasi PBB dan Dewan Keamanan PBB tentang serangan Korut itu.

Rencana untuk memasuki JSA dengan unjuk kekuata militer dan menebang pohon poplar (Operasi Paul Bunyan) segera dibuat militer AS-Korsel di pasukan UNC. Di dalamnya termasuk rencana kontingensi untuk mengatasi kemungkinan eskalasi situasi selama operasi penebangan pohon. Rencana darurat termasuk opsi bagi pasukan AS-ROK menyerang dan menduduki Kaesong, kota Korut yang berada di utara DMZ, jika Korut menolah operasi penebangan pohon. Penggunaan artileri juga disiapkan, namun batal karena Presiden Korsel Park Chung-hee tidak menginginkan aksi militer.

Menlu AS, Henry Kissinger meminta kepala staf gabungan (JSC) memeriksa keinginan mengarahkan tembakan artileri terhadap barak pasukan keamanan Komisi Gencatan Senjata Militer (Military Armistice COmmission/MAC) Korut bersamaan dengan operasi penebangan pohon. Tapi, JSC lebih memilih opsi lain, seperti penggunaan amunisi udara berpemandu presisi, rudal permukaan ke permukaan, dan peperangan non konvensional tim Sea, Air, Land (SEAL) untuk menghancurkan instalasi militer atau infrastruktur penting Korut, serta kemungkinan menghancurkan Bridge of No Return.

Esoknya, 19 Agustus, status siaga AS-ROK dinaikkan menjadi Defence Condition (DEFCON) 3. Status pengintaian juga dinaikkan menjadi Watch Condition (WATCHCON) 3.

Di hari yang sama, Panglima Tertinggi Korean Peoples Army (KPA) Kim Il Sung di Pyongyang, memerintahkan seluruh unit KPA dan seluruh anggota Pengawal Merah Buruh-Tani dan milis Pengawal Merah Muda mengambil pos masing-masing dalam kesiapan tempur.

Tepat pada 19 Agustus, JCS memerintahkan pengiriman 20 F-111 daridaratan AS ke Korsel di samping pengiriman Gugus Tugas angkatan laut yang berisi kapal induk Midway, satu kapal perusak dan empat fregat dari Yokosuka ke perairan Korea, pesawat pengebom B-52 dari Guam ke Korsel dan 1.800 personel Divis Marinir Ketiga AS dari Okinawa ke Korsel.

Sehari kemudian, 20 Agustus, rencana operasi penebangan pohon yang direncanakan (Operasi Paul Bunyan) disetujui Presiden As Geral Ford. Akhirnya, Operasi Paul Bunyan dilaksanakan pada 21 Agustus dengan menyelesaikan pemangkasan pohon yang belum selesai dilakukan tiga hari sebelumnya. Pasukan Korut yang berada di JSA tak memberi respon terhadap show of force singkat pasukat UNC tersebut.

Di hari itu pula, penyesalan atas insiden itu disampaikan oleh Pemimpin Korut Kim Il Sung. Sehingga, perang besar yang sudah di depan mata berhasil dihindari.