Lahan Kering Rentan Terbakar Terdeteksi dari Sipalaga Badan Restorasi Gambut

Sipalaga-BRG-dan-BPPT.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/ISTIMEWA)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Badan Restorasi Gambut (BRG) sejak akhir Januari 2019 meluncurkan Sistem Pemantau Air Lahan Gambut (Sipalaga) guna mencegah potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akibat kekeringan di lahan gambut. 

Seperti alat pendeteksi dini tsunami, dari Sipalaga juga bisa diketahui apakah satu kawasan gambut kering dan rentan terhadap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Caranya dengan pengukuran tinggi muka air di gambut tersebut. 

"Dari Karhutla sekarang ini, semua alat memperlihatkan tinggi muka air jauh di bawah 40 cm. Di Rokan Hilir, Bengkalis, Pelalawan, termasuk Siak. Bahkan di kawasan gambut yang terbakar, sangat kering dan rentan terbakar dengan tinggi muka air di bawah satu meter," ungkap Deputi III BRG, Myrna Safitri, Selasa, 30 Juli 2019.  

Myrna menjelaskan, untuk alat terpasang di Riau berjumlah 47 unit tersebar di kawasan gambut selama ini kerap terbakar. Sedangkan keseluruhan, alat Sipalaga sudah dipasang di 7 provinsi berjumlah 120 unit. 

 

Sipalaga dipersiapkan mencegah potensi karhutla akibat kekeringan di lahan gambut. Selama puluhan tahun, lahan gambut terbakar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. 


Terbakarnya gambut tersebut akibat lahan mengalami kekeringan, tak basah lagi. Jika sudah kering, maka potensi kebakaran sangat tinggi. 

"Peringatan BMKG musim kemarau 2019 ini sangat terasa kemarau dan keringnya panjang," kata Myrna. 

Sipalaga merupakan hasil kolaborasi antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan BRG guna mencegah karhutla pada kawasan gambut di seluruh Indonesia. Myrna menjelaskan, satu alat Sipalaga lebih murah dibandingkan alat serupa buatan Jepang. 

Dilansir dari laman BPPT, Sipalaga diperkenalkan BRG sebagai upaya preventif dan menjaga lahan gambut tetap basah. Cara terbaik dengan membangun sensor mampu membaca lahan secara real time. 

Sensor tersebut akan dipasang di setiap lahan gambut. Sistem Sipalaga ini bisa mendeteksi tinggi muka air dan kebasahan lahan gambut, di ekosistem gambut secara langsung.

"Jadi kami ingin menjaga lahan gambut agar tetap basah dan cara terbaik adalah membangun sensor ketika air dibawah 0,4 meter," ucap Nazir, saat peluncuran Sipalaga, Selasa, 29 Januari 2019, di Gedung Wanabhakti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Agar lahan gambut tetap basah, kata Nazir, BRG akan memantau secara real time setiap 60 menit sekali. Kemudian setelah itu, data tersebut dikirim ke server BRG dan KLHK untuk dilakukan pengecekan.

"Kalau airnya menurun terus, dan ramalan cuaca dari BMKG tidak akan hujan selama 20 hingga 30 hari kedepan, berarti itu (Gambut) rawan," jelasnya. 

Jika hal tidak diinginkan tersebut terjadi, Kepala BRG itu segera menginformasjkan ke Satuan Petugas (Satgas) agar meningkatkan patroli.

"Kemudian Pemerintah daerah akan menjaga, dan fasilitator desa BRG supaya bisa masuk bersama Kepala Desa dan masyarakat agar membantu," tutupnya.

Sistem ini dapat diakses di laman sipalaga di http://sipalaga.brg.go.id/