Risnandar, Indra Pomi, dan Novin Karmila Didakwa Terima Uang Rp8,9 M Sebelum OTT KPK

Sidang-korupsi-risnandar.jpg
(DEFRI CANDRA/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Tiga mantan pejabat Pemerintah Kota Pekanbaru, Pj Wali Kota  Risnandar Mahiwa, Sekdako Indra Pomi, dan Plt Kepala Kabag TU Sekdako Novin Karmila, menjalani sidang perdana dugaan korupsi lewat praktik pemotongan atau penerimaan pembayaran tidak sah dari aparatur sipil negara (ASN) yang dikaitkan dengan utang fiktif, di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Selasa, 29 April 2025.

Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terungkap bahwa tiga terdakwa menerima aliran dana secara tunai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah sebelum ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

Uang tersebut diserahkan langsung oleh Novin Karmila dengan mendatangi rumah Dinas Wali Kota dan di Kantor Sekdako pada periode Juni-November 2024.

"Tiga terdakwa, Risnandar Mahiwa, Indra Pomi dan Novin Karmila, meminta, menerima atau memotong, dari pegawai negeri sipil dan memotong anggaran APBD-P dari Pemko Pekanbaru," ujar JPU dalam dakwaannya.

JPU KPK, Meyer Volmar Simanjuntak saat membacakan dakwaan menjelaskan, Risnandar Mahiwa melakukan perbuatan korupsi dengan melakukan pemotongan dan menerima uang secara tidak sah dari pencairan Ganti Uang Persediaan (GU) dan Tambahan Uang Persediaan (TU) yang bersumber dari APBD/APBD Perubahan (APBD-P) Kota Pekanbaru Tahun Anggaran 2024.

“Total uang yang diduga dipotong dan diterima mencapai Rp8.959.095.000,” ungkap Meyer.

Lanjut dia, dari Rp8,9 miliar lebih itu, Risnandar Mahiwa menerima uang Rp2,9 miliar lebih. Sementara terdakwa Indra Pomi Nasution menerima uang Rp2,4 miliar lebih. Lalu Novin Karmila, menerima uang sejumlah Rp2 miliar lebih.

Selain itu, Nugroho Dwi Putranto alias Untung yang merupakan ajudan Risnandar, ternyata juga menerima aliran rasuah senilai Rp1,6 miliar.

“Korupsi terjadi rentang waktu Mei hingga Desember 2024, saat Bagian Umum Sekretariat Daerah Kota Pekanbaru mencairkan GU sebesar Rp26.548.731.080,00 dan TU sebesar Rp11.244.940.854,00, dengan total keseluruhan mencapai Rp37.793.671.934,00,” jelas JPU KPK.

Setiap kali akan dilakukan pencairan GU maupun TU, Novin Karmila melaporkannya kepada Risnandar Mahiwa. Selanjutnya, Risnandar meminta Indra Pomi Nasution untuk menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).

Bahkan, Risnandar Mahiwa dan Indra Pomi Nasution disebut meminta Harianto selaku Kepala Bidang Perbendaharaan BPKAD Kota Pekanbaru untuk memprioritaskan pencairan dana Sekretariat Daerah. Hal ini dilakukan karena mereka telah mengetahui bahwa sebagian dana yang cair akan mereka terima.


Setelah pencairan dana, Novin Karmila mengarahkan Darmanto selaku bendahara pengeluaran pembantu untuk melakukan pemotongan dan menyerahkan uang tersebut kepadanya. Kemudian, Novin Karmila mendistribusikan uang hasil pemotongan tersebut kepada Risnandar Mahiwa, Indra Pomi Nasution, Nugroho Adi Triputranto serta sebagian untuk dirinya sendiri.

Uang yang dikorupsi para tersangka, dilakukan dalam beberapa waktu dan tempat. Uang diterima oleh masing-masing terdakwa dalam beberapa kali transaksi, baik secara tunai maupun transfer.

Satu di antaranya, Risnandar Mahiwa menerima uang tunai di Rumah Dinas Wali Kota Pekanbaru dalam beberapa kesempatan, serta menerima transfer dana untuk pembayaran jahit baju istrinya sebesar Rp158.495.000,00 yang juga bersumber dari dana GU dan TU.

Dalam dakwaan yang dibacakan JPU KPK, terungkap pula rincian penerimaan uang haram oleh para terdakwa.

Terdakwa Risnandar Mahiwa selaku Pj Wali Kota Pekanbaru tercatat menerima total Rp2,9 miliar lebih, sejak Mei hingga November 2024.

Penerimaan tersebut meliputi beberapa kali penyerahan tunai di Rumah Dinas Wali Kota Pekanbaru dari Novin Karmila, antara lain sebesar Rp53.900.000,00 pada Juni 2024, Rp500.000.000 pada Juli 2024, Rp250.000.000 pada Agustus 2024, dan total Rp650.000.000 dalam dua kali penyerahan pada September 2024. 

Pada Oktober 2024, Risnandar Mahiwa kembali menerima Rp300.000.000 dan pada November 2024 menerima total Rp1.000.000.000 dalam dua kali transaksi terkait pencairan TU.

Selain penerimaan tunai, Risnandar Mahiwa juga menerima transfer sebesar Rp158.495.000 untuk pembayaran jahit baju istrinya yang bersumber dari dana GU dan TU.

Sementara itu, Indra Pomi Nasution selaku Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru diduga menerima total Rp2,4 miliar lebih, dalam periode yang sama.

Penerimaan tunai dari Novin Karmila di kantor Sekretariat Daerah terjadi beberapa kali, dengan rincian Rp590.000.000 dalam lima kali transaksi pada Juni 2024, Rp400.000.000 pada Juli 2024, Rp20.000.000 pada Agustus 2024, dan total Rp250.000.000 dalam dua kali transaksi pada September 2024.

Pada Oktober 2024, ia menerima Rp150.000.000 dan pada November 2024 menerima Rp1.000.000.000 di Rumah Dinas Wali Kota. Selanjutnya, Novin Karmila sendiri tercatat menerima total Rp2 miliar lebih.

Di antaranya, penerimaan tunai di kantor Sekretariat Daerah meliputi Rp200.000.000 pada Juni 2024, Rp50.000.000 pada Juli 2024, total Rp104.000.000,00 dalam dua kali transaksi pada Agustus 2024, total Rp232.700.000,00 dalam tiga kali transaksi pada September 2024, Rp200.000.000 pada Oktober 2024, dan total Rp1.250.000.000 dalam tiga kali transaksi pada November 2024 yang bersumber dari TU.

Sedangkan Nugroho Adi Triputranto Alias Untung selaku Ajudan Risnandar Mahiwa diduga menerima total Rp1,6 miliar lebih.

Antara lain, penerimaan tunai dari Novin Karmila terjadi di Rumah Dinas Wali Kota Pekanbaru, dengan rincian Rp50.000.000 pada Juli 2024, total Rp200.000.000 dalam dua kali transaksi pada September 2024, Rp200.000.000,00 pada Oktober 2024, dan total Rp1.150.000.000 dalam tiga kali transaksi pada 29 November 2024 yang berasal dari dana TU.

JPU KPK menyimpulkan bahwa perbuatan para terdakwa telah melanggar hukum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara lain atau kas umum memiliki utang kepada mereka, padahal hal tersebut tidak benar.

Atas perbuatannya, Risnandar Mahiwa dan dua lainnya didakwa melanggar Pasal 12 huruf f juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Kunjungi juga: https://www.marcmaiffret.com/