Ade Hartati Minta Pungutan Penjualan CPO Bersifat Adil bagi Riau

ade-harta.jpg
(Bagus Pribadi/ RIAUONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Anggota Komisi V DPRD Riau, Ade Hartati Rahmat, menyoroti hasil pungutan penjualan CPO di Riau yang menurutnya rendah. Ia menuntut agar pengembalian hasil pungutan penjualan CPO dilakukan secara proposional bagi daerah penghasil.

 

Ade menjelaskan luas lahan perkebunan kelapa sawit yang berizin di Riau seluas 1,34 juta hektar. Ditambah lagi, katanya, berdasarkan hasil analisis Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan tahun 2015, terdapat 225 pabrik pengelolaan kelapa sawit yg beroperasi dengan CPO 9.283.200 ton pertahun.

 

"Dilihat dari besaran pungutan penjualan CPO sebesar 50$ per matrik ton (BPD PKS 2016/2017) maka ada potensi pungutan sebesar lebih kurang 450.000.000 dolar. Atau kalau menggunakan kurs rupiah di angka Rp 14000 per dolar, maka terdapat potensi pungutan yang disetor ke pusat sebesar Rp 6,3 triliun per tahun," jelas Ade, Rabu, 23 Februari 2022.

 

Sayangnya, menurut Ade, potensi pungutan dari penjualan CPO yang dikembalikan ke daerah hanya sekitar Rp 300 miliar. Lanjutnya, jumlah itu salah satunya diperuntukkan untuk replanting senilai Rp 25 juta per hektar.

 

"Artinya, hanya ada 1200 hektar lahan perkebunan yang bisa melakukan replanting dengan anggaran Rp 300 miliar tersebut. Anggaran itu sifatnya hibah yang diberikan kepada masyarakat untuk kebutuhan replanting," jelasnya.

 

Anggota DPRD Riau Fraksi PAN itu menganggap hal itu tak adil mengingat total lahan di Riau sekitar 4 juta hektar hanya mendapatkan dana Rp 300 miliar. Lanjutnya, belum lagi soal kerugian para petani sawit di Riau dengan sistem plasma.

 

"Sistem ini mewajibkan menanggung cicilan hutang dari program replanting, yang sesungguhnya dana replanting tersebut berasal dari hibah BPD PKS sebesar 40% dari kebutuhan replanting per hektarnya," jelas Ade.

 


 

Ia berandai semisal potensi pungutan lebih besar dari Rp 300 miliar per tahunnya, maka bisa saja Riau mengalokasikan anggaran tersebut bagi pengembangan sumber daya manusia. Seperti misalnya digunakan untuk membiayai anak-anak Riau hingga ke jenjang perguruan tinggi.  

 

"Hal itu juga belum termasuk potensi dana bagi hasil yang seharusnya bisa lebih besar didapatkan oleh Riau dari hasil pungutan penjualan CPO. Makanya pilihannya jelas di sini, diam tertindas atau berjuang menuntut keadilan," pungkas Ade.