"Salam Perpisahan untuk Jokowi" di Balik Pidato Keras Megawati di HUT ke-51 PDIP

Jokowi-dan-Megawati3.jpg
(Biro Pers Sekretariat Presiden)

RIAU ONLINE - Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya saat perayaan HUT ke-51 PDIP dinilai menyiratkan salam perpisahan untuk Presiden Jokowi. Dalam pidatonya, Megawati begitu keras mengkritik penguasa saat ini.

Selama 1 jam pidatonya, tak sekali pun Megawati menyebut nama Jokowi yang dulu dianggap sebagai kader terbaik PDIP. Padahal, dalam banyak pidatonya selama satu dekade terakhir, Megawati selalu menyebut nama Jokowi.

Sebaliknya, Megawati justru banyak melontarkan kritik maupun sindiran politik mengenai penguasa yang menyalahgunakan kewenangan.

"Sekarang ini hukum dipermainkan. Kekuasaan dijalankan semaunya saja," kritik Megawati, dikutip dari Suara.com, Kamis 11 Januari 2024.

Megawati menegaskan bahwa pemilu mapun pilpres bukan alat untuk melanggengkan kekuasaan seseorang.

"Pemilu bukan alat elite politik melanggengkan kekuasaan dengan segala cara. Jadi, moral dan etika harus dijunjung tinggi," kata dia.

Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs, Ahmad Khoirul Umam, menilai pidato Megawati menunjukkan titik pisah antara PDIP dan Jokowi dalam dinamika politik menjelang Pilpres 2024.

"Pidato itu mengindikasikan banteng ketaton, banteng yang terluka dan siap mengamuk pihak yang melukainya. Ini menegaskan perpisahan PDIP dan Jokowi," kata Khoirul Umam.


Banyak pihak beranggapan bahwa perpisahan Jokowi dan PDIP mulai terindikasi sejak Megawati menolak wacanan presiden tiga periode maupun perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.

Selain itu, Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo sekaligus kader PDIP, secara mengejutkan menjadi calon wakil presiden bagi Prabowo Subianto.

Padahal, DPP PDIP telah menunjuk Gibran sebagai salah satu juru kampanye bagi capres-cawapres, Ganjar-Mahfud.

Hal yang sama juga diungkap Jamiluddin Ritonga, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul. Ia menilai memang ada perseterun antara Megawati dan Jokowi.

Tapi menurutnya, perselisihan itu bukan disebabkan faktor-faktor yang selama ini menjadi dugaan banyak pihak.

"Bukan karena Megawati pernah mengkritik Jokowi dalam pidatonya atau apa, tapi karena Jokowi ingin mengamankan posisinya, keluarga, kroni, dan pendukungnya, setelah tidak lagi menjadi presiden pada Oktober 2024," kata dia.

Ia menduga Jokowi tampak tidak yakni terhadap kemampuan Ganjar Pranowo dalam mengamankan kepentingannya jika nanti terpilih sebagai presiden.

Sebab itu, Jokowi memutuskan 'banting setir' menyetujui sang putra menjadi cawapres Prabowo Subianto, meski jelas-jelas berseberangan dengan keputusan PDIP.

"Bisa jadi, Jokowi menilai Ganjar akan lebih loyal kepada Megawati bila jadi presiden," kata Jamiluddin.

Dia mengatakan, pertemuan antara Megawati dan Jokowi di Istana Merdeka pada 18 Maret 2023 tampaknya tidak berhasil menyelesaikan perbedaan pendapat ini.

Apalagi, sejak PDIP mendeklarasikan Ganjar sebagai capres, Jokowi justru lebih sering terlihat bersama Prabowo.

"Jadi, perseteruan antara Jokowi dan Megawati bukan berakar dari dendam atau sikap merendahkan, tetapi lebih pada perbedaan strategis dalam pemilihan capres. Ini menggarisbawahi kompleksitas dan dinamika politik internal yang berlangsung di Indonesia menjelang pemilihan presiden mendatang," kata dia.