Sudah Berusia 60 Tahun, Wiji Thukul Tak Tahu Entah di Mana

Widji-Thukul.jpg
(DW.COM/WAHYU SUSILO)

RIAU ONLINE - Tepat pada Sabtu, 26 Agustus 2023, kemarin, Wiji Thukul, genap berusia 60 tahun. Namun hingga kini, keberadaan penyair dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) itu masih menjadi misteri.

Pria bernama asli Widji Widodo itu tidak diketahui hingga kini. Ia diduga diculik oleh militer bersama sejumlah aktivitas lainnya.

Satu dari tokoh perlawanan atas penindasan rezim Orde Baru itu hilang sejak 27 Juli 1998. Peristiwa itu dikenal dengan Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli). Meski begitu, kenangan atas Wiji Thukul terus dipelihara sampai saat ini.

"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!."

Penggalan puisi berjudul "Peringatan" itu menjadi inspirasi perlawanan hingga kini. Karena puisi yang dibuat pada 1986 itulah Wiji Thukul raib hingga sekarang, sebagaimana dilansir dari Liputan6.com, Minggu, 27 Agustus 2023.

Kenangannya terus membekas. Orang-orang masih terus melawan lupa soal Wiji Thukul. Kemarin, sebagian elemen masyarakat menggelar peringatan bertepatan dengan hari lahirnya di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.

Pembacaan puisi karya Wiji Thukul dibacakan dilanjutkan dengan ragam musi transformatif yang menyerukan demokrasi dan reformasi, hingga ditutup dengan nonton bareng film 'Istirahatlah Kata-Kata'.

Ketua Panitia Acara yang digagas Koalisi Melawan Lupa, Wilson menyampaikan, kegiatan hari ini bukanlah perayaan, namun bentuk mengenang tragedi kemanusiaan, kejahatan HAM zaman Orde Baru, yaitu penghilangan aktivis demokrasi oleh militer Orde Baru Soeharto.

Ini demi melawan lupa, melihat banyak aktivis angkatannya yang pura-pura lupa bahwa ada kejahatan HAM di masa lalu, ada pelaku kejahatan itu sendiri, dan mereka tanpa malu-malu malah mendukung penjahat HAM yang terlibat dengan penculikan kawan-kawannya sendiri.

"Ya itu pilihan hak demokratis mereka, saya hargai. Tetapi menyangkut calon presiden yang menyangkut kawan-kawannya sendiri secara moral, secara etis itu bagaimana ya saya sebut, memalukan lah itu. Di mana humanisme dia terhadap keluarga korban ya. Dan itu kan temannya sendiri, memang cuma empat orang yang kenal dia, tapi empat orang itu kan yang membangun gerakan sehingga menciptakan orang terkenal seperti dia," tutur Wilson.


Menurut Wilson, menggunakan acara-acara populer melalui kesenian tampaknya lebih mudah dimengerti dan dinikmati anak-anak muda, khususnya Generasi Z. Seperti hari ini, dia mengaku kaget dengan banyaknya massa anak muda yang hadir.

"Kapasitasnya kan 250 yang datang 400 jadi banyak yang keluar-keluar. Artinya anak muda ini tidak sebodoh dan senaif hasil poling. Mungkin karena dia nggak dapat informasi ya, generasi Z ini nggak dapat informasi yang benar tentang kejahatan HAM masa lalu. Kalau mereka bukan karena lupa tapi karena nggak dapat informasi. Nah yang jadi masalah adalah teman-teman aktivis 98, 90-an yang tahu dia penjahat HAM tapi pura-pura lupa," jelasnya.

Keinginan Koalisi Melawan Lupa, kata Wilson, sejak berdiri 25 tahun lalu sampai dengan hari ini adalah digelarnya Pengadilan HAM untuk pelaku penculikan dan pemerintah membuat tim pencari aktivis yang masih hilang. Sebagaimana rekomendasi DPR tahun 2009 lalu, sekaligus menepis sentimen negatif para pejuang HAM.

"Jadi kalau ada yang bilang pengadilan HAM untuk Prabowo itu adalah kerjaan LSM atau 5 tahun sekali, lho itu rekomendasi DPR RI. Jadi bukan soal LSM, bukan soal tuntutan yang dibuat oleh musuh politik Prabowo, lho itu tuntutan rekomendasi DPR RI dan beberapa partai yang mendukung Prabowo itu yang membuat rekomendsasi itu juga," tukasnya.

Baginya, penyelesaian di masa Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi atas kasus pelanggaran HAM yakni penghilangan paksa orang, tidaklah tuntas dan bahkan masih jauh dari harapan.

"Itu dibuat di masa Pemerintahan SBY. Pemerintahan SBY nggak berani, Pemerintahan Jokowi hanya kasih janji surga ya. 2014 dia bilang saya akan menemukan Wiji Thukul hidup atau mati, tapi setelah janji itu dia lupa ya. Yang paling menyedihkan bagi keluarga korban dan aktivis HAM, tiba-tiba dia merangkul Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Orang yang bertanggung jawab, orang yang menjadi pelaku utama dari kejahatan HAM yg bernama penghilangan paksa, kok dirangkul," jelas Wilson.

“Kalau kita memilih penjahat yang terlibat dalam penghilangan paksa, maka akan bisa berulang di masa depan Indonesia. Jadi kita minta pengadilan HAM bukan karena dendam, tapi agar tidak terulang kembali," sambungnya.

Wiji Thukul mulai menulis puisi sejak duduk di bangku SD. Ia pun mulai tertarik pada dunia teater sejak masih di bangku SMP.

Dalam kelompk teater Jagalan Tengah (Jagat), ia mengekspresikan kecintaannya terhadap teater. Bersama kelompok ini, Wiji Thukul keluar masih kampung, ngaman sambil berpuisi dengan iringan berbagai instrumen musik, mulai dari rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dan alat musik lainnya. Bahkan Wiji sempat menjadi wartawan Masa Kini selama tiga bulan.

Aktivitasnya di Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) dikaitnya dengan raibnya Wiji Thukul. Organisasi ini berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik, yang didirikan kalangan muda kritis yang kerap mengkritik tajam rezim Orba.

Komisi Tindakan Kekerasan (KontraS) menduga bapak dua anak ini telah diculik. Percakapan terakhir antara Thukul dengan istrinya, Dyah Sujirah alias Sipon, terjadi pada 19 Februari 1998 dalam pertemuan sembunyi-sembunyi di Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Meski fisiknya telah raib, nama Wiji Thukul tetap harum, terutama di kalangan aktivis atau pekerja lembaga swadaya masyarakat yang berjuang untuk hak asasi manusia. Tahun silam, bahkan Wiji Thukul dianugerahi Yap Thiam Hien Award 2002, sebuah penghargaan bergengsi untuk pejuang HAM di Tanah Air.

Kala itu, Sipon, sang istri yang masih menunggu kehadiran suaminya menerima penghargaan itu.

Sipon hingga akhir hayatnya masih meyakini bahwa sang suami yang hilang setelah berorasi itu masih bernafas. Entah dalam persembunyian atau disembunyikan. Jika benar, Sipon ingin sekali mengetahui penyebab Thukul tetap bertahan untuk tak kembali ke rumah menemuinya dan dua anaknya.

Orde Baru tumbang diseruduk gerakan mahasiswa yang mengusung agenda reformasi. Politik dan rezim boleh berubah, tetapi sosok Wiji Thukul tetap dinantikan kedua anaknya. Sepanjang hidupnya, inilah yang menjadi pertanyaan di benak Sipon. Entah kapan akan terjawab.