Cuti Melahirkan 6 Bulan dalam RUU KIA Tuai Pro dan Kontra

Ibu-Hamil.jpg
(fertilityandpregnancymatters.com via Popmama.com)


Laporan: Dwi Fatimah

RIAUONLINE, PEKANBARU - DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang mengusulkan cuti melahirkan menjadi enam bulan. Aturan ini akan dibahas lebih lanjut menjadi Undang-Undang.

Adapun dikutip dari salinan RUU KIA yang diusulkan, cuti hamil berubah menjadi enam bulan dan masa waktu istirahat 1,5 bulan untuk ibu bekerja yang mengalami keguguran.

Bunyi RUU KIA bab II pasal 4 ayat (2) a dan b: Setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 bulan, mendapatkan waktu istirahat 1,5 bulan atau sesuai surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran.

RUU KIA turut mengatur penetapan upah untuk ibu yang cuti melahirkan, yakni 3 bulan pertama masa cuti mendapat gaji penuh (100 persen) dan mulai bulan ke-4 upah dibayarkan 75 persen.

Sebelumnya, masa cuti melahirkan diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Tenaga Kerja dengan durasi 3 bulan saja.

Berdasarkan hasil kesepakatan dalam Rapat Badan Legislasi DPR pada Kamis 9 Juni 2022 lalu, DPR telah menyepakati untuk membahas lebih lanjut RUU KIA untuk menjadi Undang-Undang. Nantinya, keputusan tersebut akan dibawa dalam sidang Paripurna DPR selanjutnya.

"RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 kita harapkan bisa segera rampung. RUU ini penting untuk menyongsong generasi emas Indonesia," ujar Ketua DPR RI Puan Maharani dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip dari detikNews.

Sementara itu guna menjamin pemenuhan hak ibu melahirkan, RUU KAI juga memberikan cuti bagi suami sebagai pendamping. Bagi cuti melahirkan diizinkan paling lama 40 hari dan jika istri keguguran dibolehkan cuti paling lama 7 hari.

Banyak orang menilai, rencana pemberian hak cuti melahirkan selama enam bulan adalah kebijakan yang positif, apalagi jika bertujuan memperbaiki tumbuh kembang generasi masa depan.


Namun kalangan pengusaha meminta rencana itu dipertimbangkan lagi karena berpotensi membebani perusahaan secara finansial dan nonfinansial.

Dilansir dari BBC.com Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani, menyebut wacana kebijakan baru itu memberatkan pengusaha, meski sebenarnya pihaknya ingin mendukung kebijakan tersebut.

"Sejujurnya ini dilema bagi pelaku usaha. Namun tidak bisa kami pungkiri juga bahwa perluasan hak cuti melahirkan bagi ibu maupun ayah memiliki dampak signifikan terhadap perusahaan," kata Shinta.

Di tengah sambutan baik terhadap wacana cuti melahirkan enam bulan, muncul sejumlah ketakutan bahwa nantinya peraturan tersebut membuat perusahaan lebih memilih mempekerjakan laki-laki ketimbang perempuan.

Shinta Widjaja mengatakan rencana pemberian hak cuti enam bulan bagi ibu dan cuti maksimal 40 hari bagi suami memiliki dampak yang signifikan terhadap perusahaan, baik dari sisi finansial, maupun non-finansial.

"Ini bukan hanya masalah peningkatan beban finansial (biaya tenaga kerja), tapi juga beban non-finansial lain, seperti rekrutmen dan pelatihan tenaga pengganti, beban manajemen untuk mengatur subtitusi pekerja, peralihan tugas dari pegawai yang cuti kepada rekan kerja yang memiliki fungsi tugas yang kurang lebih sama di perusahaan," kata Shinta.

Oleh sebab itu, Shinta meminta pertimbangan yang matang dan objektif terkait manfaat dan beban dari rencana kebijakan tersebut. Tidak hanya dari sisi kesejahteraan sosial, kata dia, tapi juga dari sisi produktivitas dan daya saing industri dan ekonomi nasional.

DPR, sebagai pencetus RUU, mengatakan akan mencari solusi agar tidak ada pihak yang dirugikan.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Ibnu Multazam, mengatakan lembaganya akan menerima saran dan kritik dari pihak manapun dalam pembahasan RUU yang akan diajukan sebagai RUU Inisiatif DPR itu.

"Nanti kan kami tinggal bahas, kami sinkronkan keberatan-keberatan dari teman-teman pengusaha," ujar Ibnu.

Ibnu Multazam mengatakan sudah menerima masukan terkait potensi-potensi diskriminasi maupun penolakan perusahaan terhadap RUU KIA. Namun sebagai fraksi pencetus RUU, partainya mempunyai beberapa solusi alternatif agar rencana cuti melahirkan 6 bulan bisa tetap terealisasikan.

"Dari fraksi PKB kami mengusulkan, misalnya dibayar oleh CSR (Corporate Social Responsibilities). Misalnya yang tiga bulan dibayar perusahaan seperti sekarang ini, penuh, tiga bulan kemudian diambilkan dari CSR," ujar Ibnu.

"Solusi kedua, bisa nggak diambilkan dari BPJS Kesehatan? Kalau enggak CSR, ya BPJS," ujarnya.

Itu salah satu rekomendasi solusi yang ditawarkan DPR untuk perusahaan-perusahaan besar. Namun, untuk pelaku usaha yang lebih kecil, hal itu perlu pembahasan lebih jauh lagi.

"Macam-macam lah nanti dicarikan solusi," kata Ibnu.