Dekati Rp 14.000 per Dolar AS, Ada Fakta Unik di Balik Anjloknya Rupiah

Ilustrasi-kurs-mata-uang.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE - Saat ini nilai tukar Rupiah sudah mendekati Rp 14.000 per USD. Tentu angka ini jauh dari target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, yang ditargetkan sebesar Rp 13.400 per USD.

Namun pada Rabu, 25 April 2018 kemarin, Rupiah dibuka di level Rp 13.880 per USD. Artinya, Rupiah menguat tipis dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya di level Rp 13.889 per USD. Sayangnya, Rupiah kembali melemah dan ditutup di level Rp 13.921 per USD.

Ternyata, tekanan terhadap mata uang Garuda ini berdampak pada pembengkakan nilai outstanding utang pemerintah yang mencapai Rp 10,9 triliun. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, total outstanding utang pemerintah sampai Maret 2018 sebesar Rp 4.136,39 triliun. Dari jumlah itu, utang pemerintah dalam valuta asing (valas) sebesar USD 109 miliar.

Padahal di periode Maret, pemerintah menghitung total outstanding utang dengan kurs rupiah 13.750 per dolar AS. Artinya, ada kenaikan signifikan yang berimbas pada jumlah utang pemerintah. Jika ditelisik lebih jauh, patokan kurs rupiah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 13.400 per dolar AS.

Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Erwin Ginting, menjelaskan, pelaporan posisi utang pemerintah RI di akhir periode tertentu menggunakan nilai tukar pada saat itu.

"Jadi untuk outstanding per akhir Maret 2018 yang sebesar Rp 4.136 triliun dengan komponen utang valas USD 109 miliar, sudah menggunakan kurs sekitar Rp 13.750 per dolar AS," ujarnya, Rabu, 25 April 2018.

Kendati demikian, ada beberapa fakta unik di balik melemahnya nilai tukar Rupiah ini, seperti dilansir dari merdeka.com, Kamis, 26 April 2018.

Melemah akibat cuitan Trump

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menerangkan, sebenarnya nilai tukar sudah mulai relatif tenang pada Kamis yang lalu. Namun, situasi dunia memang masih belum tenang, ditambah lagi cuitan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Twitter.


"Tapi kemudian, Presiden Trump biasalah pakai Twitter mulai bilang, itu Jepang manipulasi nilai tukar, itu Korea juga begitu dulu, China juga begitu. Biasalah kalau Presiden Trump mulai bicara orang mulai grogi. Karena biasanya kalau di Twitter bisa juga dilaksanakan, walaupun mungkin belum tentu juga," ucapnya.

Menurut Darmin, hal itu bukan sesuatu yang baru dan cukup kuat untuk membuat nilai tukar Rupiah terus melemah.

Bikin pengusaha galau

Nilai tukar Rupiah yang tidak menentu, menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani, telah membuat para pengusaha kesulitan. Pasalnya, pengusaha sulit membuat perencanaan di tengah ketidaksiapan.

"Kalau saya ngobrol dengan teman-teman pengusaha dan asosiasi sih, sebenarnya mereka berharap mata uang kita bisa lebih stabil. Kalau fluktuasi kan kita dari segi planning jadi susah," ungkapnya.

Namun, pelemahan Rupiah juga membuat sejumlah pengusaha bahagia. Seperti pengusaha batubara. Sebab, biaya produksi mereka menggunakan Rupiah dan hasil penjualan berbentuk Dolar.

Hal sebaliknya terjadi untuk sektor industri lainnya semisal farmasi serta makanan dan minuman. Di mana, Rosan mengatakan bahwa para pelakunya akan menjerit bila Rupiah masih terus tinggi.

Ada sisi positif

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menjelaskan nilai tukar (kurs) mata uang selalu memiliki efek positif dan negatif. Dari sisi negatif akan berdampak pada barang impor dan positifnya kata JK akan berdampak ke ekspor.

"Jadi juga itu positif untuk turis masuk. Negatif untuk siapa yang ingin belanja keluar negeri. Jadi efeknya seperti itu. Jadi balance saja," lanjut JK.

Menurutnya, pelemahan rupiah tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan ekspor yang nantinya dapat menambah cadangan devisa. Dia juga menjelaskan pemerintah sudah berusaha untuk mendompleng ekspor dengan cara memperluas perdagangan dengan pasar-pasar potensial salah satunya Afrika.

Untuk itu, pemerintah tengah berunding terkait perjanjian perdagangan bebas dengan Australia dan Uni Eropa, guna menambah cadangan devisa. "Kita mempercepat membuka pasar lebih bagus dengan cara hubungan bilateral maupun multilateral dengan negara-negara lain," tutur JK.

Kendati demikian, hingga kini pemerintah belum bisa memprediksi sampai kapan pelemahan Rupiah ini akan berlangsung. Mengingat, kondisi global masih bergejolak, seperti kritikan yang menyerang Presiden AS Donald Trump, perekonomian AS justru semakin berkembang.