Sawit Wacth: Berani Gak Jokowi-Prabowo Cabut Izin Perusahaan Lahannya Terbakar?

Hutan-Gundul-Ditanami-Sawit.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/SAWIT WATCH)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Calon Presiden nomor urut 01 dan 02, Joko Widodo-Prabowo Subianto, sama sekali tak berani mengambil langkah-langkah konkrit progresif untuk perbaikan tata kelola sawit di Indonesia. 

Sawit Watch, lembaga fokus ke isu-isu kelapa sawit menilai, keduanya jauh dari panggang kala membahas isu tanaman penghasil minyak goreng tersebut. 

“Dalam debat berkembang wacana peningkatan program B20 menjadi B100. Jika program ini benar terealisasi, maka akan berdampak pada peningkatan kebutuhan produksi biodiesel sebagi bahan baku untuk memenuhi program tersebut," kata Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, kepada RIAUONLINE.CO.ID, Selasa, 19 Februari 2019. 

Di satu sisi, tutur Inda, ini merupakan hal baik guna meningkatkan penyerapan CPO dalam negeri, sebagai langkah mengurangi ketergantungan ekspor CPO.

Namun di sisi lain, jelasnya, jangan sampai target pemerintah guna memenuhi program B100 akan berdampak pada ekspansi perkebunan sawit semakin luas.

“Produksi CPO Indonesia saat ini masih sangat rendah. Data Sawit Watch menunjukkan, luas perkebunan sawit Indonesia saat ini telah mencapai 22,2 juta ha. Namun produksi hanya 3-4 ton/ha/thn, padahal skala penelitian bisa mencapai 7-8 ton ha/thn," kata Inda. 


Jika ini tidak diawasi, jelasnya, bisa saja ekspansi perkebunan sawit semakin massif untuk memenuhi kebutuhan biodiesel. Seharusnya, kata Inda, pemerintah harus lebih fokus mengoptimalkan kebun-kebun sudah ada serta memberdayakan petani agar produksinya lebih meningkat. 

Selain itu, kedua pasangan calon juga tidak sama sekali berbicara mengenai perbaikan kondisi buruh perkebunan sawit. "Karena temuan kami sekitar 3 juta buruh bekerja tanpa perikatan kerja jelas serta status tidak permanen,” jelas Inda.

Kepala Desk Kampanye Sawit Watch, Maryo Saputra menjelaskan, kebakaran hutan dan lahan masih terjadi hingga hari ini. Bak ulang tahun, masyarakat selalu dihadapi dengan perayaan kebakaran hutan ini tiap tahun dan jadi istimewa didapat adalah asap dari kebakaran itu sendiri.

Pemerintah sudah mulai sedikit tegas menghadapi para aktor perusahaan pembakar hutan dan lahan. Ini terbukti dengan sanksi uang Rp  18,9 triliun sebagai ganti rugi harus dibayarkan oleh beberapa perusahaan akibat dari membakar hutan dan lahan.

"Namun proses pembayaran ini belum juga dilakukan oleh perusahaan. Jadi perlu kerjasama antara pemerintah dan pengadilan sebagai eksekutor untuk hal ini," kritiknya.

Selain itu, kata Maryo, langkah tegas lain perlu diambil dengan mencabut izin secara keseluruhan bagi perusahaan sudah terbukti secara sah melakukan pembakaran hutan dan lahan.

Maryo mengatakan, dalam debat Minggu malam, 17 Februari 2019, tidak muncul proses penanganan konflik agraria di perkebunan. Sawit Watch sudah mengadukan 8 konflik di perkebunan kelapa sawit kepada Direktorat Penegakan Hukum Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Namun, hingga hari ini, kami tidak mendapatkan perkembangan terakhir apapun dari konflik kami adukan. Hal ini penting, karena ketika tidak ada proses penyelesaian yang jelas dari pemerintah terkait dengan konflik agrarian di perkebunan kelapa sawit," kata Maryo mempertanyakan. 

Ini, tuturnya, sangat dimungkinkan sekali ambisi untuk mencapai B100 akan dipenuhi dengan konflik pertanahan kedepannya. Oleh karena itu, menyelesaikan konflik agraria di perkebunan kelapa sawit, melakukan audit perizinan kepada semua perkebunan kelapa sawit, melakukan intensifikasi merupakan syarat mutlak yang perlu dijalankan oleh pemerintahan baru kedepannya.