Asfinawati Soal MA Amini Vonis Bebas Syafri Harto: Suatu kemunduran

Defri-Harto6.jpg
(DEFRI CANDRA /Riau Online)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual menyampaikan kekecewaannya atas putusan Mahkamah Agung (MA) atas penolakan kasasi kasus kekerasan seksual di Universitas Riau (Unri).

 

Salah satu eksaminator kasus kekerasan seksual Unri, Asfinawati menyayangkan sikap Majelis Hakim Agung yang tidak mempertimbangkan hasil kajian terhadap putusan PN Pekanbaru dalam Eksaminasi dan Amicus Curiae yang telah dikirimkan beberapa akademisi serta kelompok sipil lainnya.

 

Dia menerangkan, bahwa secara tidak langsung Hakim Agung menganggap hanya kejahatan yang dibuktikan dengan saksi mata langsung yang dapat dipidana.

 

“Putusan ini membuat kelam nasib korban, tapi yang tidak disadari memberi pesan bahwa hanya kejahatan yang ada saksi mata langsung yang dapat dipidana. Suatu kemunduran,” sesal Asfinawati, Sabtu, 13 Agustus 2022.

 

Mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu menekankan putusan MA tersebut sebagai akibat dari belum baiknya pemahaman hakim-hakim di Indonesia terhadap kasus kekerasan seksual. Lanjutnya, putusan ini akan berakibat buruk bagi penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual.

 

"Penting bagi pemegang otoritas untuk mempertimbangkan ulang dan melakukan re-edukasi terhadap hakim-hakim yang tidak memiliki pemahaman terhadap kondisi korban kekerasan seksual. Putusan bebas bagi pelaku kekerasan seksual adalah bom waktu bagi masyarakat,” tuturnya. 

 

Sementara Pengacara Publik LBH Pekanbaru yang mendampingi penyintas, Noval Setiawan, menegaskan putusan MA ini, akan menjadi preseden buruk di kemudian hari bagi penuntasan kasus kekerasan seksual lainnya. Putusan ini menurut Noval, akan menjadi noda hitam yang selamanya dikenang publik, bahwa MA gagal memberikan rasa keadilan dan memastikan penanganan kekerasan seksual berpihak pada korban. 


 

"Apalagi, paska UU TPKS disahkan, telah banyak korban-korban kekerasan seksual yang berani bersuara dan melaporkan tindakan kekerasan seksual yang mereka alami. Kita khawatir korban-korban tersebut semakin ketakutan untuk bersuara," kesalnya.

 

“Putusan Majelis Hakim Agung ini, akan membuat banyak korban kekerasan seksual di luar sana menjadi ketakutan bila ingin melaporkan perbuatan kekerasan seksual yang mereka alami,” imbuh Noval.

 

Tak berhenti di situ, Anggota Tim Advokasi Komahi Unri, Khelvin Hardiansyah, menyampaikan kini satu-satunya yang dapat diharapkan untuk memastikan keadilan berpihak kepada korban adalah keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim. Khelvin mengingatkan, dalam berbagai pernyataan publik Nadiem menyatakan akan berada di pihak korban dan sanksi etik yang dikeluarkan olehnya dipastikan memberikan rasa keadilan bagi korban.

 

 

“Kita menunggu hasil keputusan Kementerian (Dikbudristek). Kemarin pernyataan Nadiem sangat jelas untuk terus berada di sisi korban,” ujar Khelvin.

 

Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, dan pengacara yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, menyatakan sikap guna merepon putusan MA Nomor: 786 K/Pid/2022.

 

Adapun sikapnya yaitu putusan tersebut tidak memberikan rasa keadilan dan pelindungan terhadap korban; putusan itu menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus kekerasan seksual lainnya; dan terakhir mendesak Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi agar segera mengeluarkan putusan etik dan administratif atas Syafri Harto.