AAI Pengda Riau: 20 Tahun Minyak Dieksploitasi, Riau Tak Dapat Manfaat

Asosiasi-Antropologi-Indonesia-AAI-Pengurus-Daerah-Pengda-Riau.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/FATMA KUMALA)


LAPORAN: FATMA KUMALA

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) Pengurus Daerah (Pengda) Riau melirik dua isu terpopuler yang menjadi santapan menarik di wilayah Riau saat ini. Peralihan Blok Rokan dari tangan Chevron ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN), misalnya. Isu ini dianggap telah menimbulkan polemik di tengah khalayak. Blok Rokan yang dikelola asing ini mulai beroperasi di Riau sejak tahun 1942. Hanya saja, pembangunan pendidikan di Riau baru berlangsung pada tahun 1962.

Menurut Ketua Umum AAI Pengda Riau, M Rawa El Amady, AAI Riau bertindak dalam hak transisi Chevron ke Pertamina, seperti mengawal masa transisi kelola Blok Rokan agar Pertamina selaku BUMN tidak mengulang cacat kelola CPI. Kemudian, pasca 2021, Pengda Riau akan usulkan CPI tidak bergaya habis manis sepah dibuang. Walau CPI hengkang Pengda usulkan Chevron beri sumbangan pendirian post oil and mining closure.

“Ada semacam dana perwalian atau dana amanah (oil trust fund) untuk pendidikan dan pengembangan usaha tempatan. Ini bisa diteruskan dengan Yayasan Pertamina,” katanya, Senin 6 Agustus 2018.

CPI dan Pertamina juga memastikan pemulihan jasa lingkungan pasca tambang migas terlaksana baik termasuk social due diligence. Diikuti dengan pemastian hak-hak dasar orang Sakai sebagai masyarakat Adat di dalam dan sekitar wilayah kerja minyak.

“Selama 20 tahun tersebut minyak dieksploitasi di Riau, tetapi Riau tidak mendapat manfaat sedikitpun. Seharusnya dari tahun 1942 pendidikan di Riau sudah dibangunan, bukan harus sekolah ke Sumbar dan ke Medan. Oleh sebab itu, AAI merasa penting mendiskusikan kembali tentang hak-hak lokal/daerah pada tahun 1942-1962. Riau sudah dieksploitasi, namun lingkungan serta kesejahteraan masyarakatnya terabaikan,” jelasnya.


Rawa baru terpilih menjadi Ketua AAI Riau pada 4 Agustus 2018 lalu. Rawa bersama beberapa antropolog di Riau bersepakat membentuk Pengda AAI Pengda Riau dan sekaligus pembentukan pengurus. Selain terpilihnya ketua AAI, pembentukan tersebut juga menetapkan Zuli Laili Isnaini sebagai Seketaris Umum, Hambali Sebagai Bendahara, Kepala Devisi Pemberdayaan Derichad H. Purta, Kepala Devisi Peningkatan Profesi Achmad Hidir, dan Kepala Devisi Advokasi Marhalim Zaini.

Isu penting lain, yang menjadi perhatian AAI Pengda Riau adalah Riau terjadinya kasus konflik sumber daya alam tertinggi di Indonesia. Jika diakumulasikan dari tahun 2008, jumlah konflik di Riau mencapai 450 kasus. Sementara konflik yang baru bisa diselesaikan jumlahnya kurang dari 10 persen.

Oleh sebab itu, AAI mengharapkan pemerintah, pengusaha dan masyarakat untuk serius melihat permasalahan tersebut. AAI berharap pemerintah dan perusahaan menyelesaikan konflik dengan berpedoman pada kearifan lokal. Untuk meminimalisir konflik tersebut, AAI berharap ke depan pemerintah hendaknya menjadikan manusia sebagai tujuan dari pembangunan.

AAI Riau yang resmi terbentuk Sabtu lalu, juga hadir karena konflik di Riau merupakan yang tertinggi se-Indonesia. Namun, tingginya konflik tersebut belum diimbangi dengan upaya yang sinergis antar pemerintah untuk menyelesaikannya.

“Kecuali ada tekanan pasar. Tanpa tekanan pasar konflik itu tidak ada yang dibahas pemerintah. Di sinilah AAI berfungsi untuk melihat, mengurai dan memecahkan permasalahan. Penyelesaian konflik di AAI berbasis kepentingan masyarakat lokal dan budaya lokal,” pungkasnya.

AAI di Riau sendiri dibentuk karena beberapa alasan, yakni pertama berdasarkan kepentingan organisasi agar AAI berkembang di seluruh Indonesia. Diikuti dengan dasar perkembangan aset di Indonesia saat ini begitu penting sehingga perlu juga dilaksanakan di daerah. Terakhir, karena jumlah antropolog di Riau cukup banyak dan produktif di berbagai bidang, seperti seni dan budaya, lembaga swadaya, ekonomi dan lainnya.

“Ternyata semuanya produktif di bidang masing-masing. Mereka terus berkarya besar-besaran, namun tidak kunjung dilirik oleh pemerintah. Poinnya, pembangunan itu untuk siapa? Untuk manusia, kan? Jadi pembangunan itu bukan untuk pembangunan, tapi pembangunan itu untuk manusia. Dan kajian antropolog itu, ya, tentang manusia,” jelas Rawa.

Adapun hal yang menjadi konsentrasi AAI Riau antara lain melakukan riset dan publikasi hal-hal yang berhubungan dengan perubahan budaya materi dan teknik di Riau, semisal pergeseran budaya ekonomi (pendekatan ekonomi, sosial). Kemudian berkaitan dengan riset dan publikasi pandangan filosofi Melayu Riau, permasalahan gambut serta kebakaran, Warisan Budaya Tak Benda, riset situs artefak terutama Candi Muara Takus, riset dan Publikasi 8 Suku Asli di Provinsi Riau, pengembangan dan kajian folklore, kajian dan pengembangan sistem kepercayaan serta pengobatan tradisional melayu.

“Kami juga secara periodik akan menjadwalkan diskusi-diskusi informal dan bedah buku dari para antropolog serta dapat juga membuat bazar/pameran buku,” tutupnya.