Diskriminasi hingga Pelecehan, Perlakuan Buruk yang Diterima Penderita HIV/AIDS

Pandawa.jpg
(Istimewa)


Laporan: Dwi Fatimah

RIAUONLINE, PEKANBARU - Stigma tentang penderita HIV/AIDS masih banyak berkembang di masyarakat kita saat ini. Tidak sedikit pula yang menganggap bahwa HIV/AIDS adalah penyakit ‘kutukan’ dan hanya diidap oleh penjaja seks serta pasangan sesama jenis saja. Padahal, HIV/AIDS bisa menyerang siapa saja.

Sebagian orang percaya bahwa HIV/AIDS bisa menular hanya dengan bersentuhan langsung dengan pengidapnya. Anggapan tersebut salah dan perlu segera dibenarkan untuk mencegah terjadinya diskriminasi pada Orang dengan HIV AIDS (ODHA). Jika tidak, stigma tersebut bisa membatasi hak asasi ODHA untuk mendapat pekerjaan, tempat tinggal, dan kehidupan yang layak.

Sosialisasi mengenai HIV/AIDS saat ini juga terus digaungkan oleh tenaga kesehatan dan relawan untuk mematahkan stigma negatif tentang HIV/AIDS dan penderitanya.

Adalah Pandawa, salah seorang konselor untuk penderita HIV/AIDS yang aktif di sosial media memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai HIV/AIDS sejak 2010 lalu.

Berawal dari rasa simpati dan empatinya, Pandawa ingin memberikan informasi kepada masyarakat dan penderita HIV. Pandawa biasa memberikan edukasi pemahaman tentang HIV/AIDS di Instagram dan twitter pribadinya lewat room edukasi.

Pandawa bersama tim edukasi dan tenaga kesehatan di Yayasan Gerakan Peduli Sesama Indonesia memberikan informasi lebih lanjut mengenai pencegahan, edukasi, layanan VCT, informasi preP, ARV dan pendampingan untuk ODHA dan ODHIV.

“Aku dan teman-teman dokter, apoteker dan pendamping orang dengan HIV/AIDS memberikan informasi lebih lanjut terkait HIV, hidup dengan HIV, program sehat dengan HIV dan informasi mengenai obat- obatan serta informasi pengecekan VL. Selain itu kita juga membantu informasi pendampingan hukum apabila ada diskriminasi terhadap ODHA dan ODHIV. Kita juga ada program hidup sehat dengan hidup dengan HIV, di sini kita mengajak teman-teman untuk hidup sehat, makan makanan seimbang, meditasi dan berbagi kisah agar kesehatan mental juga terjaga,” Jelas Pandawa.


Banyak yang kurang paham dan mengira bahwa HIV/AIDS hanya menular pada pasangan sesama jenis saja. Padahal juga tidak sedikit kasus suami menularkan HIV/AIDS kepada istrinya.

 

 

“Pada dasarnya siapa saja pria atau wanita yang telah melakukan kegiatan atau perilaku seksual berisiko tertular dan menularkan HIV. Karena HIV tidak memandang siapa kamu, apa orientasi seksual kamu, kasta kamu. Selama kamu melakukan perilaku berisiko (seks bebas, penggunaan jarum suntik bersamaan) kamu termasuk dalam golongan berisiko dan harus segera diberikan pemeriksaan lebih lanjut di layanan kesehatan dan pengobatan apabila terkonfirmasi positif HIV,” kata Pandawa lebih lanjut.

HIV sendiri adalah suatu virus yang menyerang sistem imun tubuh manusia. HIV tidak memiliki tanda atau gejala yang khas. Namun ada beberapa tanda yang mirip gejala flu seperti batuk, sakit kepala, demam dan diare. Penyakit tersebut bisa terjadi karena faktor tubuh yang lelah dan perubahan cuaca. Namun gejala ini tidak bisa menjadi patokan seseorang terinfeksi HIV, harus ada pemeriksaan lebih lanjut di layanan kesehatan mengenai gejala yang dialami.

Menjadi seorang yang didiagnosa positif HIV bukanlah suatu yang mudah. Apalagi diskriminasi dari masyarakat. Merasa dilecehkan secara lisan, pemberian kode pada status pasien HIV, tempat pembuangan sampah yang dibedakan, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, penggunaan alat pelindung yang berlebihan serta diisolasi dari keseharian sering dialami orang dengan HIV/AIDS.

Masih banyak informasi yang salah tentang HIV/AIDS di masyarakat. Hal ini menimbulkan stigma yang berdampak pada meningkatnya diskriminasi pada ODHA, seperti mengusir dan mengasingkan ODHA di masyarakat, memecat ODHA yang bekerja, menceraikan pasangan yang berstatus HIV positif, dan perilaku diskriminatif lainnya

Stigma pada ODHA tentu tidak bisa dibiarkan. Kesalahan informasi tentang HIV/AIDS perlu dibenarkan untuk mencegah perilaku diskriminatif pada ODHA agar tidak memperburuk kondisi ODHA. Karena seringkali, penyebab kematian ODHA bukan penyakit yang diidapnya, tetapi perilaku diskriminatif yang membuatnya kehilangan kesempatan untuk mendapat pengobatan dan perawatan yang layak.

Pemberian stigma terhadap ODHA dapat menyebabkan perasaan ditolak dan terasingkan, sehingga ODHA berupaya untuk menutupi status kesehatannya. Akibatnya, ODHA akan menunda mencari pengobatan, memiliki tingkat kepatuhan pengobatan yang rendah, dan meningkatkan perilaku berisiko.

Studi di Indonesia menyebutkan bahwa kurangnya pengetahuan tentang HIV, ketakutan tertular HIV, nilai-nilai pribadi, pemikiran agama, dan norma sosial budaya merupakan faktor pendorong di balik stigma dan diskriminasi terkait HIV/AIDS. Penelitian lain menemukan bahwa stigma HIV yang lebih tinggi dikaitkan dengan jenis kelamin laki-laki, serta tingkat pendapatan dan pengetahuan HIV yang lebih rendah. Interaksi disiplin kesehatan dan provinsi juga signifikan.

Jika ingin berkonsultasi dengan Pandawa mengenai HIV/AIDS bisa menghubungi pandawa di DM Instagram rm_pandawa atau lewat obrolan virtual dengan bergabung di room edukasi setiap minggu pukul 20.00-22.00 di twitter. Selain Pandawa, juga ada dokter serta pendamping ODHA turut hadir.