Kisah Pilu dari Kampung yang Hanya Dihuni Wanita dan Anak-anak

Wanita-di-La-Puria.jpg
(SUARA.COM)

RIAU ONLINE - La Puria, sebuah desa yang terletak di pegunungan barat laut Kolombia, tidak perjalanan dari kota terdekat. La Puria menjadi rumah bagi masyarakat adat Embero Katio.

Embera dalam bahasa mereka berarti manusia, penduduk asli, atau laki-laki. Anehnya, tidak ada laki-laki dewasa di sana.

Perang saudara di Kolombia yang berlangsung selama beberapa dasawarsa telah menghancurkan La Puria secara perlahan. Beberapa pria di sana direkrut oleh Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC) atau National Liberation Army (ELN), dua kelompok gerilya kiri yang terbesar di negara tersebut.

Sisanya menjadi korban konflik, mengingat kedua kelompok, yakni gerilyawan dan pasukan keamanan menggunakan taktik kekerasan, termasuk penculikan, memasang ranjau darat dan perdagangan obat bius.

Ivan Valencia, jurnalis foto Kolombia yang telah menghabiskan waktu berbulan-bulan di La Puria untuk mendokumentasikan kehidupan di sana, mengatakan hanya ada para wanita, anak-anak dan ibu-ibu remaja yang masih tersisa di La Puria.

Para perempuan muda menjadi pemimpin kelompok dalam mencari dan mengumpulkan makanan di hutan, memegang parang sambil menggendong bayi mereka di punggung. Bahkan, ketua adatnya juga seorang perempuan berusia 26 tahun, seorang ibu dari empat anak.

Dilansir dari Suara.com, Rabu, 4 April 2018, suara bermain anak-anak terdengar di setiap rumah yang dibangun ibu meraka. Kebanyakan, anak-anak itu lahir dari rahim remaja yang diperkosa oleh para tentara dari kelompok gerilya lokal.

Di usianya yang masih sangat muda, anak-anak di La Puria sudah terpapar situasi perang. Tahun lalu, selama kegiatan terapi seni di sekolah desa, hampir semua anak-anak menggunakan pensil warnanya untuk menggambar dan mewarnai orang-orang yang membawa senjata api.


Dan untuk pertama kalinya sejak 1960, konflik akhirnya selesai. Meskipun pada 2016, referendum sipil menolak perjanjian damai antara FARC dan pemerintah Kolombia, namun perjanjian ini direvisi dan diratifikasi kembali beberapa bulan kemudian.

Memang jalan menuju perdamaian belum pasti, tapi setidaknya gencatan senjata masih dilakukan. Sayangnya, setelah perang terhenti, masyarakat La Puria tetap ditinggalkan oleh negara. Tanpa bantuan pemerintah di
bidang kesehatan dan pelayanan umum, gizi buruk serta sanitasi yang layak, menambah tantangan yang harus mereka hadapi pascakonflik Kolombia.

“Saya merasa konsekuensi perang masih berlanjut,” ujar Ivan.

Kendati demikian, menurut Ivan desa itu telah diterangi sedikit cahanya. Ada semangat hidup yang ditunjukkan orang-orang La Puria.

“Setelah berjalan jauh dari hutan, saya ingat mencapai tempat di mana terdapat banyak warna – banyak penduduk La Puria yang mengenakan pakaian berwarna terang. Sangat indah melihat warna itu di tengah-tengah tempat kelabu dan penuh kesedihan,” kenang Ivan.

Bagi Ivan yang tidak memahami bahasa Embera, begitu pun penduduk yang tidak mengerti bahasa Spanyol, bahasa visual menjadi satu-satunya penghubung mereka.

“Kami berkomunikasi melalui kamera,” pungkasnya.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id