Catatan Rektor Unilak ke Jepang: Belajar Menghormati dari Tradisi Ojigi di Jepang

Dr-Junaidi4.jpg
(Dr Junaidi)

Laporan Rektor Universitas Lancang Kuning, Dr Junaidi dari Jepang

RIAU ONLINE, TOKYO-Satu di antara pengalaman yang berkesan ketika saya berkunjung di Jepang adalah kesantunan orang Jepang ketika berkomunikasi.

Tradisi membungkuk atau ojigi (お辞儀) selalu saya alami ketika saya berkomunikasi dengan orang Jepang. Secara naluriah, rasa kesantunan saya sebagai orang Melayu pun bangkit sehingga saya berupaya untuk melakukan ojigi untuk menghormati lawan bicara saya meskipun saya tidak selalu mengerti persis makna bahasa verbal apa yang dikatakan oleh orang Jepang.

Namun, saya bisa memahami bahwa ketika orang Jepang menggunakan bahasa nonverbal dengan cara membungkuk, mereka memberikan penghormatan kepada saya.

Ketika turun dari pesawat dan memasuki ruang untuk pengesahan paspor, petugas imigrasi bandara Heneda Tokyo langsung menyambut rombongan kami dengan ojigi. Kami pun tanpa berpikir panjang, dengan kaku dan malu-malu mencoba membungkukkan badan.

Sebelum keberangkatan ke Jepang, kami memang sudah diberikan informasi bahwa jika orang Jepang melakukan ojiki, kami pun harus membalasnya. Ketika memasuki hotel, karyawan hotel menyambut kami dengan ojigi dan dilengkapi dengan senyum yang sangat ramah.

Suatu ketika di restoran, ketika saya mengemas sisa makanan dan membuangnya sendiri ke tempat pengumpulan sisa makanan, saya bertemu dengan karyawan restoran yang sudah sudah tua. Dia melakukan ojigi berulang-ulang kepada saya untuk menghargai dan berterima kasih terhadap apa yang telah saya lakukan.


Saya pun tersenyum dan melakukan ojigi. Betapa senangnya hati saya merasa dihargai seperti itu. Bahasa komunikasi nonverbal atau body language yang saya lakukan dengan pelayan restoran itu sangat berhasil karena kami sama-sama memberikan penghormatan dan kami sama-sama mengerti dan puas meskipun kami tidak menggunakan bahasa verbal dengan menggunakan kata-kata.

Pada saat kami memasuki gedung utama Tokyo Metropolitan University, karyawannya menyambut kami dengan sangat ramah dengan melakukan ojigi dengan membungkuk sedikit. Ketika kami bertemu dengan Presiden, Wakil Presiden dan para petinggi Tokyo Metropolitan University, mereka juga menunjukkan sikap sangat sopan dengan melakukan posisi membungkukkan badan yang tingkat derajatnya cukup tinggi.

Saya heran dan bertanya-tanya dalam hati menggapa mereka membunggukkan badan sampai seperti itu. Ternyata, itu bentuk penghormatan yang lebih tinggi yang mereka berikan kepada kami sebagai tamu kehormatan mereka.

Ojigi yang digunakan para petinggi Tokyo Metropolitan University kembali berhasil menyentuh rasa kesantunan dalam diri saya. Saya merasa sangat terhormat berhadapan dengan orang Jepang.

Karena ingin tahu lebih lanjut mengapa Presiden dan Wakil Presdien Tokyo Metropolitan University menunjukkan sikap sangat membungkuk pada saat ojigi di depan kami, saya bertanya kepada seorang teman yang paham. Katanya, ada tiga jenis ojigi, pertama eshaku (会釈) membungkuk ringan sekitar 15 derajat saat berpapasan dengan orang lain dan saat menyambut tamu.

Kedua, keirei (敬礼) membungkuk sekitar 30 derajat yang dilakukan untuk menujukkan penghormatan dan kesantunan kepada orang lebih tua, klien atau atasan. Ketiga, saikeirei (最敬礼) sekitar 45 derajat untuk mengungkapkan permohanan maaf, rasa terima kasih yang mendalam kepada orang-orang yang dianggap mulia.

Ingatkan, ketika tim Jepang kalah di Piala Dunia 2022 melakukan ojigi di hadapan pendukung mereka? Mereka melakukan ojigi untuk meminta maaf dan berterima kasih. Sangat mulia bukan?

Penerapan ojigi membuktikan bahwa orang Jepang memegang teguh tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menariknya, meskipun orang Jepang telah mencapai kemajuan teknologi yang sangat tinggi di dunia, mereka masih memegang teguh tradisi mereka.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka raih tidak membuat mereka lupa dengan tradisi mereka. Orang Jepang banyak belajar ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat, tetapi mereka tidak serta merta meniru gaya hidup barat. Orang Jepang memiliki identitas sendiri. Bagi mereka, capaian ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh menghilangkan tradisi luhur yang mereka percayai.

Tradisi ojigi yang masih terus bertahan memberikan pelajaran kepada kita bahwa penghormatan dan kesantunan harus terus dipertahankan karena manusia pada hakekatnya ingin dihargai dengan sikap yang sopan. Nilai yang terkandung dalam ojigi ini sebenarnya juga terdapat dalam prinsip hidup orang Melayu yang mengedepankan budi, budi bahasa, kesantunan, timbang rasa dan penghormatan.

Kita perlu melakunan refleksi apakah prinsip kesantunan dan penghormatan masih terjaga dalam masyarakat kita? Apakah kita akan meninggalkan prinsip kesantunan dan penghormatan kepada orang lain dengan dalih demokrasi, kebebasan berbicara, dan kebebasan berpendapat yang diadopsi dari Barat?