Catatan Rektor Unilak ke Jepang: Sampahku, Tanggung Jawabku (2-Tamat)

Dr-Junaidi3.jpg
(Dr Junaidi)

Laporan Rektor Universitas Lancang Kuning, Dr Junaidi dari Jepang

RIAU ONLINE, TOKYO-Pada tulisan bagian pertama saya menceritakan pengalaman menggunakan smart toilet di Jepang. Pada bagian kedua ini saya menyampaikan refleksi subjektif saya tentang kesadaran orang Jepang dalam pengelolaan sampah.

Ketika sampai di Tokyo saya heran mengapa tidak banyak terdapat public trash cans atau tong sampah di area publik di Tokyo. Sulit menemukan tong sampah di sini.

Tetapi anehnya, kota Tokyo sangat bersih dan hampir tidak terlihat sampah berserakan. Ketiadaan tong sampah, bagi saya ini bisa menjadi masalah ketika saya ingin membuang sampah.

Apa yang saya lakukan? Saya terpaksa harus menyimpan sampah ke dalam tas saya. Kata seorang teman, nanti setelah sampai di hotel baru sampahnya dibuang di tong sampah yang tersedia di hotel.

Ini beda dengan di tempat kita. Tong sampah sangat banyak dan bahkan dalam beberapa meter terdapat tong sampah di tempat kita, tetapi anehnya sampah tetap banyak berserakan.

Tong sampah terlihat hanya seperti aksesioris dan pelengkap aturan formal saja. Tingkat kesadaran kita masih jauh dalam mengelola sampah padahal kita sering menyatakan bahwa kebersihan sebagian dari iman.

Karena tong sampah tidak disediakan di ruang publik, dimanakah orang Jepang membuang sampah? Ternyata mereka mengumbulkan sampah di tempat mereka sendiri seperti di rumah, kantor, sekolah, toko atau pusat perbelanjaan.

Orang Jepang menyadari bahwa setiap sampah yang mereka hasilkan merupakan tanggung jawab pribadi mereka sehingga mereka wajib mengelolanya sendiri.

Biasanya sampah yang mereka hasilkan dibawa pulang dan dipilah menurut kelompoknya. Menariknya pemilahan sampah tersebut dilakukan setiap orang dengan kesadaran sendiri.

Suatu ketika, ketika saya makan di restoran hotel, saya melihat setiap tamu setelah selesai makan melakuan pemilihan sisa makanan sendiri dan saya pun tidak mau ketinggalan untuk melakukan aksi memilah sampah sendiri.


Bukan pelayan restoran yang melakukan pemilahan sampah, tetapi kita sendiri sebagai pelanggan yang melakukan itu. Wadah makanan seperti piring dengan bahan styrofoam dipisahkan dengan sisa makanan ke dalam dua kantong sampah yang berbeda.

Tampaknya sederhana ya, setelah makan, kita dengan kesadaran sendiri membersihkan sisa makanan kita dan menempatkan pada suatu tempat dengan melakukan pemilihan kategori sampahnya. Namun, menurut saya itu bukanlah hal yang sederhana.

Diperlukan kesedaran tingkat tinggi untuk bisa membersihkan dan memilah sendiri sampah yang kita hasilkan sendiri. Slogan sampahmu, tanggung jawabmu telah masuk ke dalam alam bawah sadar orang Jepang.

Di Indonesia slogan itu sebenarnya sudah ada dan bahkan diajarkan dari tingkat sekolah dasar tetapi slogan tinggal slogan dan kita tak memiliki kesadaran dalam pengelolaan sampah sendiri dalam dalam diri kita.

Di Jepang ada peraturan yang mengatur secara ketat memilah sampah. Misalnya ada kategori sampah yang dapat dibakar, sampah yang tidak dapat dibakar, sampah daur ulang, dan sampah besar.

Masyarakat sangat patuh dengan kategori ini. Bahkan pemerintah daerah di Jepang menetapkan hari-hari tertentu untuk membuang sampah. Misalnya, sampah yang dapat dibakar dikumpulkan pada hari Selasa, sampah yang tidak dapat dibakar pada hari Sabtu, dan sampah daur ulang hari minggu.

Di balik peran pemerintah dan peraturan pengelolaan sampah, sesungguhnya ada public awareness atau kesadaran masyarakat dan public participation atau partisipasi publik merupakan faktor utama dalam pengelolaan sampah.

Belajar dari orang Jepang, mereka benar-benar telah memiliki tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi sehingga mereka sendiri melakukan proses pemilahan dan pengumpulan sampah secara mandiri. Mereka tidak mengandalkan petugas sampah yang disediakan pemerintah.


Mari kita lakukan refleksi bagaimana kita memilah dan mengumpulkan sampah di rumah atau di tempat kerja kita. Sudahkah kita melakukannya dengan penuh kesadaran dan apakah kita telah berpartisipasi dalam pengelolaan sampah yang baik? Coba perhatikan sampah yang menumpuk di pinggir jalan sekitar kita.

Coba perhatikan betapa sulitnya petugas sampah mengumpulkan sampah yang dibuang masyarakat di tempat pengumpulan sampah karena sampah tidak dikemas dengan baik.

Dan kita tidak terbiasa dan punya pengetahuan yang cukup untuk memilah sampah ke dalam kategori tertentu. Coba perhatikan sampah yang menggunung dan telah menghasilkan bau busuk di sekitar perumahan kita. Kita sepertinya mengandalkan petugas sampah dan pemerintah untuk mengelola sampah yang kita hasil sendiri di rumah kita.


Peran pemerintah dan keberadaan peraturan memang sangat diperlukan dalam manajemen sampah. Pemerintah harus membangun sistem pengelolaan sampah terpadu yang benar-benar melibatkan partisipasi publik.

Program edukasi dan sosialiasi secara berterusan dengan melibatkan publik harus dilakukan untuk membangkitkan kesadaran dan partisipasi publik dalam pengelolaan sampah.

 

Perilaku dan sikap masyarakat terhadap sampah harus diubah. Masyarakat mesti bertanggung jawab terhadap sampah yang mereka hasilkan sehingga nanti kita tidak lagi menemukan tulisan kasar di pinggir jalan yang berbunyi “yang buah sampah di sini adalah anjing” atau ‘Ya Allah! Kutuklah orang yang membuang sampah di sini”.

Orang Jepang tampaknya tidak memiliki slogan untuk mengajak peduli sampah, tapi mereka lakukan. Kita mesti belajar dari mereka. Mari kita bangun kesadaran dan partisipasi dalam pengelolaan sampah. Slogan sampahmu, tanggung jawabmu harus kita jalankan. Selamat Hari Peduli Sampah Nasional!, tanggal 21 Februari 2023.