Dana Bagi Hasil Migas dan Nestapa Kepulauan Meranti

Peta-Kabupaten-Kepulauan-Meranti.jpg
(Wikipedia)

Oleh Surjadi, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Belum lama berselang, kita dikejutkan oleh kegundahan hati Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, yang kecewa karena pada anggaran 2023, daerahnya hanya mendapat tambahan Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas Bumi (Migas) tidak lebih dari Rp 1 miliar dibandingkan anggaran 2022. Padahal kabupaten kepulauan yang bertetangga dengan Malaysia ini sedang berjuang menurunkan persentase penduduk miskinnya dari sekitar 26% pada 2021 menjadi 23,84% pada 2022. 

Semoga hubungan antara Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Meranti dengan Pemerintah Pusat dapat tetap berjalan harmonis. Namun relasi keuangan pusat-daerah, memang telah memasuki babak baru dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang telah berusia 18 tahun.

Bagian “Menimbang” UU No.1/2022, yang merupakan rujukan terkini bagi transfer dana ke daerah-daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), antara lain menyebutkan perlunya penyesuaian regulasi atas perubahan keadaan yang telah terjadi. Rupanya Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat menentukan dengan lebih teliti kondisi daerah penerima DBH Migas. Jika pada UU No.33/2004, khususnya Pasal 19, pembagian DBH Migas dibagikan kepada “provinsi yang bersangkutan”, “kabupaten/kota penghasil” dan “kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan”, maka dalam Pasal 117 UU No.1/2022 kriteria penerima DBH tersebut ditambah dengan “kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil” dan “kabupaten/kota pengolah”. Selain itu dalam Pasal 117 ini ditetapkan 2 macam wilayah tempat dihasilkannya migas (yang tidak diatur dalam UU No.33/2004) yaitu “wilayah darat dan wilayah laut  sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai” dan “wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai”. Ringkasan perbandingan pembagian DBH migas dalam kedua undang-undang tersebut, terdapat dalam tabel berikut ini.

Berikut Perbandingan Rincian DBH Migas dalam UU 33/2004 dan UU1 1/2022 yang diringkas dari UU 33:

UU 33/2004 (Pasal 19)

DBH minyak bumi = 15% dengan rincian:
a.provinsi bersangkutan = 3%
b.kab/kota penghasil = 6%
c.kab/kota lain dalam provinsi bersangkutan = 6%

DBH Gas bumi = 30% dengan rincian:
a.provinsi bersangkutan = 6%
b.kab/kota penghasil = 12%
c.kab/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan = 12%

 

UU 1/2022 (pasal 117)


DBH minyak bumi:

wilayah darat & laut s.d. 4 mil dari garis pantai= 15,5%, dengan pembagian:
a.provinsi bersangkutan = 2%
b.kab/kota penghasil = 6,5%
c.kab/kota lainnya berbatasan langsung dengan kab/kota penghasil = 3%
d.kab/kota lainnya dalam prov bersangkutan = 3%
e.kab/kota pengolah = 1%

DBH gas bumi:

wilayah darat & laut s.d. 4 mil dari garis pantai = 30,5%, dengan pembagian:
a.prov bersangkutan = 4%
b.kab/kota penghasil = 13,5%
c.kab/kota berbatasan langsung dengan kab/kota penghasil = 6%
d.kab/kota lainnya dalam prov bersangkutan = 6%
e.kab/kota pengolah = 1%

wilayah laut > 4 mil s.d. 12 mil dari garis pantai = 30,5%, dengan pembagian:
a.prov penghasil = 10%
b.kab/kota lainnya dalam prov bersangkutan = 19,5%
c.kab/kota pengolah = 1%


UU 33/2004 (Pasal 19)

DBH minyak bumi = 15% dengan rincian:
a.provinsi bersangkutan = 3%
b.kab/kota penghasil = 6%
c.kab/kota lain dalam provinsi bersangkutan = 6%

Pengaturan baru ini mungkin saja mengandung konsekuensi yang tidak sederhana bagi Kabupaten Kepulauan Meranti. Sebagaimana kita ketahui, nama “Meranti” merupakan singkatan dari 3 pulau terbesar di kabupaten ini yaitu “Merbau”, “Rangsang” dan “Tebing Tinggi”. Kabupaten ini terhubung dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Riau dan juga kabupaten-kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau dengan perairan Selat Malaka. 

Pemerintah Pusat sepatutnya dapat memberi penjelasan tentang implikasi perubahan regulasi ini kepada Kabupaten Kepulauan Meranti dan juga kabupaten/kota lainnya yang memiliki wilayah laut serta memiliki kegiatan eksploitasi Migas, seperti Kabupaten Rokan Hilir, Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hilir.  Mengingat UU No.1/2022 baru pertama kali diterapkan dalam APBN, sangat boleh jadi sumber daya birokrasi di Kepulauan Meranti (ataupun di kabupaten/kota lainnya) belum memahami teknis perhitungan DBH Migas yang baru ini. 

Pemerintah Pusat harus melakukan bimbingan teknis dan pendampingan secara terus-menerus kepada Kepulauan Meranti (dan juga kabupaten/kota lainnya yang mendapatkan DBH Migas) agar risiko kesalahpahaman akan dapat diminimumkan. Apalagi Pasal 122 dalam UU No.1/2022 menyatakan bahwa persentase DBH dapat diubah Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR, yang menunjukkan bahwa setiap saat dapat terjadi perubahan formula perhitungan DBH Migas.

Sementara itu, data Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa jumlah DBH Migas yang diterima oleh Kabupaten Kepulauan Meranti di tahun 2022 dan 2023 adalah (berturut-turut) Rp 114 miliar dan Rp 115 miliar, tidak terlalu jauh berbeda dari tetangganya, Kabupaten Pelalawan, yang pada 2022 menerima Rp 125 miliar dan kemudian meningkat menjadi Rp 153 miliar untuk tahun 2023. Bagi Kepulauan Meranti, DBH Migas pada 2022 dan 2023 merupakan 61% dan 55% dari keseluruhan DBH yang diterima, sedangkan bagi Pelalawan, persentasenya adalah 45% dan 44%. Dengan demikian Kepulauan Meranti memiliki tingkat ketergantungan terhadap DBH Migas yang lebih besar dibandingkan Pelalawan.  Jika kita mengacu ke keseluruhan Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada 2022 dan 2023 maka kondisi Pelalawan pun lebih baik karena mendapatkan dana (berturut-turut) Rp 1,2 triliun dan Rp 1 triliun sedangkan Kepulauan Meranti memperoleh Rp 861 miliar dan Rp 726 miliar.

Statistik “Kabupaten Kepulauan Meranti dalam Angka 2022” melaporkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dihasilkan oleh kabupaten dengan jumlah penduduk sekitar 200 ribu jiwa ini pada 2020 dan 2021 masih berada jauh di bawah 10% dari total Pendapatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menunjukkan bahwa kabupaten ini sangat tergantung pada transfer dana dari Pemerintah Pusat. Kabupaten Pelalawan yang berpenduduk sekitar 400 ribu jiwa memiliki kondisi yang lebih baik, sebagaimana dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik setempat, yaitu memiliki PAD sekitar 11% dari total Pendapatan dalam APBD pada 2020 dan 2021. Sementara itu Pelalawan memiliki persentase penduduk miskin yang jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar 9% pada tahun 2021-2022 yang berarti kurang dari separuh persentase penduduk miskin di Kepulauan Meranti.

Mengacu pada kondisi dua kabupaten yang bertetangga, yaitu Kepulauan Meranti dan Pelalawan, terlihat adanya kesenjangan yang tidak kecil. Kesenjangan akan jauh lebih besar jika Kepulauan Meranti dibandingkan dengan kota/kabupaten penghasil migas di Provinsi Riau yang memperoleh DBH Migas lebih tinggi seperti Bengkalis ataupun Rokan Hilir dengan persentase penduduk miskin yang berada di sekitar angka tingkat provinsi yaitu 7%. 

Adalah tugas kita bersama agar angka kemiskinan dan kesenjangan dapat terus diperkecil. Namun menurut hemat penulis, kondisi Kepulauan Meranti dengan tingkat kemiskinan di atas 20% memerlukan perhatian yang lebih serius dari Pemerintah Pusat, bukan hanya dalam isu fiskal seperti perolehan DBH ataupun penyerapan anggaran, namun juga dalam hal menjaga keharmonisan hubungan Pusat dan Daerah. Secara khusus isu DBH Migas di Kepulauan Meranti ini dapat menjadi momentum bagi Pusat untuk membuktikan bahwa pembuatan undang-undang ataupun peraturan baru, benar-benar membawa perbaikan bagi kehidupan masyarakat, dan tidak akan mengabaikan satu pun daerah di wilayah Republik Indonesia.