Pembacaan Putusan MK di Sengketa Pilpres, Akankah Gibran Gagal jadi Wapres?

Ganjar-di-sidang-sengketa-Pilpres.jpg
(Istimewa)

RIAU ONLINE - Putusan sidang perselisihan hasil Pemilihan Presiden 2024 dibacakan Mahkamah Konstutisi (MK) hari ini, Senin, 22 April 2024.

Putusan sidang tersebut merupakan gugatan dari kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjra Pranowo-Mahfud MD.

Menurut pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia, Bivitri Susanti, putusan sengketa Pilpres 2024 terasa "sangat krusial" untuk perbaikan pemilu ke depan, serta bagi legitimasi MK.

Sebab kata dia, putusan ini akan dibacakan di tengah legitimasi MK yang "jatuh" usai lembaga tersebut terkait batas usia capres-cawapres.

"Ini adalah cara MK untuk membangun kembali penalaran dan pertimbangan hukum yang baik, dan menunjukkan bahwa mereka masih punya kredibilitas," kata Bivitri dikutip dari Suara.com.

Gugatan terhadap hasil pilpres bukan hal baru di Indonesia. Sejak pemilu langsung digelar pada 2004, MK selalu menangani gugatan hasil pilpres.

Namun sidang sengketa pilpres kali ini menjadi yang pertama kalinya menghadirkan empat menteri untuk bersaksi di persidangan terkait isu bantuan sosial. Untuk pertama kalinya pula, majelis hakim memberi ruang bagi pihak-pihak terkait menyerahkan kesimpulan.

Tak hanya itu, masyarakat juga berbondong-bondong mengajukan amicus curae (sahabat pengadilan). Juru bicara MK, Fajar Laksono, menyebut ini adalah pertama kalinya MK meneria amicus curae dalam sejarah menangani sengketa hasil pemilu.

Bivitri menilai hal itu sebagai “sinyal positif” yang menunjukkan bahwa MK mau keluar dari "kerangkeng kebiasaan MK yang hanya melihat hitungan hasil pemilu tanpa mencermati proses pelaksanaannya".

Adapun Tim Hukum Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama meminta agar Peraturan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilu, yang menyatakan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang dibatalkan.

Kubu Anies-Muhaimin (AMIN) beralasan bahwa kemenangan tersebut diraih dengan cara-cara yang melanggar prinsip bebas, jujur, dan adil. Mereka pun menyoroti penyalahgunaan wewenang oleh Presiden Jokowi.

AMIN dalam permohonannya meminta agar Gibran didiskualifikasi sebagai cawapres. Pasalnya, KPU menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres sebelum merivisi peraturan KPU mengenai syarat pencalonan telah menguntungkan kubu Prabowo-Gibran.

AMIN meminta KPU menggelar pemilu ulang dengan mengganti cawapres nomor urut dua.

Mereka turut memperkarakan pembagian bansos yang dituding politis, termasuk bagaimana sejumlah kepala daerah terlibat menggerakkan struktur di bawahnya demi memenangkan Prabowo-Gibran.

"Apakah Pilpres 2024 kemarin telah dijalankan secara bebas, jujur, dan adil? Izinkan kami menyampaikan jawabnya, tidak, yang terjadi adalah sebaliknya," kata Anies saat sidang pendahuluan sengketa hasil pemilu di gedung MK pada Rabu, 27 Maret 2024.


Sementara kubu Ganjar-Mahfud mengatakan telah terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilpres 2024, khususnya dalam bentuk nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Mereka pun memohon agar pemungutan suara ulang digelar tanpa Prabowo-Gibran.

Ganjar-Mahfud menilai Presiden Jokowi telah melakukan nepotisme yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan.

Salah satunya dengan cara menggerakkan adik iparnya, Anwar Usman sebagai Ketua MK pada saat itu, untuk "mengubah aturan main" sehingga Gibran bisa mendaftar sebagai cawapres.

Mereka juga menuding program bansos dimanfaatkan untuk memenangkan Prabowo-Gibran.

Menanggapi gugatan dari dua paslon tersebut, pengacara yang mewakili Prabowo-Gibran, Otto Hasibuan, membantah tuduhan kecurangan Pilpres 2024, terutama mengenai politisasi bansos.

"Narasi-narasi yang dikembangkan dan yang dibangun seakan-akan rakyat memilih Prabowo-Gibran adalah karena kecurangan dan karena adanya bansos. Terus terang hal ini sangat menyakitkan dan melukai hati masyarakat Indonesia," jelas Otto di Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 28 Maret 2024.

Menurut Otto, asumsi yang dibangun itu "menyepelekan" hak rakyat Indonesia dalam menjatuhkan pilihan di Pilpres 2024 secara bebas dan tanpa paksaan.

Dia juga menilai permohonan kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud ke MK "salah kamar".

Otto mengatakan perkara ini semestinya tidak diajukan ke MK, melainkan ke Bawaslu.

Dia justru menuding isi permohonan yang diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud "tidak sesuai" dengan ketentuan soal perselisihan hasil pemilu di dalam UU Pemilu.

"Begitu juga petitum pemohon, tidak sesuai dengan hukum acara yang berlaku di MK. Karena kita lihat petitum pemohon telah menyasar kemana-mana. Sehingga terkesan petitum tersebut seperti petitum sapu jagat,” tutur Otto.

Sementara terkait Amicus curae, Bivitru Susanti mengatakan pendapat hukum yang disampaikan sahabat pengadilan dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara.

Itu berdasar pada pasal 5 Undang-Undang tentang Kekuasaan Hakim bahwa hakim konstitusi "wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".

Hingga Kamis 18 April 2024, Fajar menyebut sebanyak 33 amicus curae telah diterima MK yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat.

Tetapi hanya 14 amicus curiae yang diterima hingga Selasa (16/04) pukul 16.00 WIB yang diserahkan kepada hakim untuk dibaca dan dicermati.

"Dipertimbangkan atau tidak itu nanti, tapi yang penting itu 14 amicus curiae sudah diserahkan kepada hakim untuk dibaca dan dicermati," kata Fajar.

Pada akhir dokumen amicus curiae itu, Megawati menyertakan tulisan tangannya yang salah satunya berkata, "Semoga ketuk palu Mahkamah KONSTITUSI bukan merupakan PALU GODAM melainkan PALU EMAS".

Munculnya fenomena amicus curiae itu, menurut Bivitri, melambangkan kepedulian masyarakat atas ketidakadilan yang mereka rasakan.

"Ini menggambarkan bahwa banyak yang concern dengan ketidakadilan yang terjadi, dan mereka mengambil semua langkah yang mungkin dilakukan," kata Bivitri.

Menurutnya, ini adalah fenomena yang sehat dalam proses peradilan.

"Bagi saya ini adalah salah satu cara hakim untuk menggali suara masyarakat di luar pembuktian para pihak di dalam sidang," ujar Bivitri.

Di sisi lain, kubu Prabowo-Gibran juga mengeklaim bahwa pendukungnya akan mengirim 10.000 amicus curiae ke MK pada Jumat, 19 April 2024.

Namun apakah permohonan para penggugat akan dikabulkan, Bivitri mengatakan itu juga bergantung pada "aspek politik" dan "keberanian para hakim".

"Saya yakin MK akan memberi penaralan hukum yang bagus melihat gelagat ini semua, hanya tinggal di ujung amar putusannya nanti. Tinggal bagaimana aspek politiknya, soal berani atau tidak," kata dia.

"Bagi saya satu-satunya hambatan yang bisa membuat MK tidak mengabulkan memang soal keberanian mereka. Ini adalah pembuktian mereka punya keberanian atau tidak."

Apa pun putusan MK nanti, Bivitri berharap putusan itu setidaknya menghasilkan evaluasi untuk perbaikan proses pemilu ke depannya.