Gedung Balai Dang Merdu, Saksi Bisu Soeharto Antikritik dan Otoriter

Gedung-Balai-Dang-Merdu.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Berbagai peristiwa sejarah pernah lahir di bumi Lancang Kuning, Provinsi Riau. Namun, sejarah terukir itu, minim diketahui oleh masyarakat sekarang ini.

Termasuk di antaranya digelarnya Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Kamis, 27 Maret 1980, di Gedung Balai Dang Merdu, Jalan Sudirman, dihadiri langsung oleh Presiden Soeharto. Kini jadi kantor Bank Riau Kepri. 

Sebelum ke Pekanbaru, Pak Harto baru saja melakukan kunjungan dan pertemuan konsultasi dengan Perdana Menteri Malaysia di Kuantan. Kamis pagi, Pak Harto dan Pangab Jenderal M Yusuf serta rombongan lainnya telah tiba di Bandara Simpang Tiga, kini Sultan Syarif Kasim II.

Baca Juga: Usai Singkirkan Soekarno, Soeharto Campakkan Tiga Jenderal Loyalisnya

Ternyata, Rapim tersebut kemudian memicu munculnya Surat Keprihatinan ditandatangani 50 tokoh nasional dan kemerdekaan berasal dari kalangan sipil maupun militer. Surat tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Petisi 50.

Apa terjadi ketika itu? Presiden Soeharto di depan ratusan jenderal dan perwira menengah, berpidato tanpa teks mengatakan, tugas dan tantangan nasional dewasa ini adalah menegakkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila.

Ini harus dilaksanakan dengan pembangunan di segala bidang dengan terencana, bertahap dan berkesinambungan. Selanjutnya, Pak Harto menjelaskan ABRI sebagai kekuatan sosial harus menggunakan cara-cara demokratis dan konstitusional seperti yang diwajibkan oleh Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri, tidak dengan kekerasan atau paksaan, apalagi dengan menggunakan senjata. 
(WNR).

Pidato dengan isi serupa tersebut juga disampaikan Pak Harto saat HUT Kopassus beberapa hari kemudian, 16 April 1980, di Cijantung, Jakarta. Pak Harto mengingatkan kepada jajaran ABRI akan adanya kelompok ingin mengganti Pancasila. 

Karena tak menginginkan konflik bersenjata, Presiden mengatakan, (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai.

Pak Harto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada dirinya dan keluarganya. Pidato itu mengundang reaksi keras dari sejumlah tokoh. Dua pidato tanpa teks saat Rapim ABRI di Pekanbaru dan HUT Kopassus, Cijantung, Jakarta, memicu keprihatinan dan protes dari para tokoh nasional sejak Indonesia Merdeka ikut berjuang mendirikan negara ini.

Klik Juga: Jalan Berdarah Soeharto Menuju Istana Negara

Dilansir dari wikipedia, dua pidato ini mendatangkan Ungkapan Keprihatinan di antara pendiri negara ini. Di antaranya, mantan Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Mr Syarifuddin Prawiranegara, mantan Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Burhanuddin Harahap, mantan Menpangab/KSAD Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, hingga tokoh-tokoh lainnya berjumlah 50 orang, 5 Mei 1980.


Mereka kemudian menandatangani Surat Petisi tersebut dan kemudian hari dikenal dengan sebutan Petisi 50. Bagi kelompok ini, filsafat negara Pancasila disalahgunakan oleh Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya. Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta.

Para penandatangan petisi ini menyatakan, Pak Harto telah menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila, dan ia menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila.

Selain itu, Soeharto menggunakan Pancasila "sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya, Soeharto juga menyetujui tindakan-tindakan tidak terhormat oleh militer, sumpah prajurit diletakkan di atas konstitusi, dan prajurit dianjurkan "memilih teman dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto".

Lihat Juga: Soeharto Dua Kali Ingin Mundur Dari TNI AD Sebelum Jadi Presiden 32 Tahun

Petisi ini kemudian diserahkan ke DPR/MPR dan mendapat respon serta tanggapan dari wakil rakyat. Sebanyak 19 anggota DPR dari Fraksi PPP dan PDI menanggapi Petisi 50 itu dengan mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah.

Kemudian, pada 14 Juni 1980, Ketua DPR Daryatmo meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden. Soeharto tak tinggal diam. Pada 1 Agustus 1980, ia menjawab pertanyaan wakil-wakil rakyat tersebut.

Mensesneg Sudharmono kemudian membacakan jawaban Presiden yang berisi transkripsi pidato presiden di Pekanbaru dan Cijantung. Soeharto juga menuliskan, ia yakin para anggota DPR telah berpengalaman akan memahami makna dari pidato-pidatonya itu.

Akan tetapi apabila mereka masih belum puas, Pak Harto mengusulkan agar para anggota DPR mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada anggota-anggota dari komisi-komisi DPR terkait, sesuai dengan prosedur tata cara DPR.

Pemerintah lalu dengan senang hati akan memberikan penjelasan-penjelasan tambahan, melalui Menteri Pertahanan/para panglima militer, khususnya tentang hal-hal yang diangkat oleh “Petisi 50″.

Mulai saat itu, Soeharto mendapat kontrol dan dikritik oleh Petisi 50. Ini memancing kemarahannya. Para penandatangan Petisi tersebut mulai "dimatikan" kehidupan sosial, politik, hingga ekonominya.

Antara lain, dicekal ke luar negeri, tak bisa berpolitik serta usaha menopang kehidupan ekonomi mereka juga dimatikan Soeharto. Sampai-sampai, Pak Harto di dalam bukunya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menuliskan, "Saya tidak suka apa dilakukan oleh (mereka) yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot."

Baca: Ketika Air Mata Bung Karno Iringi Tanda Tangan Vonis Mati Sang Sahabat

Untungnya, pada Kamis 3 Juni 1993, hubungan Pemerintah, dalam hal ini Presiden Soeharto dengan Petisi 50 memasuki babak baru. Ditandai dengan diundangnya anggota petisi tersebut oleh Menristek BJ Habibie ke PT PAL di Surabaya, Jawa timur.

Tak hanya itu, malahan Pak Harto merestui inisiatif Habibie itu. "Habibie, mereka adalah kawan seperjuangan saya. Mereka adalah Angkatan 45 yang berperan menjadikan kamu seperti sekarang ini," begitu ucapan Pak Harto yang dikutip Habibie. Sejak itulah hubungan antara pemerintah dan penggagas Petisi 50 mulai 'membaik'.

Lalu, siapa saja anggota Petisi 50 tersebut?

Berikut nama-namanya, H.M. Kamal, Letjen Ahmad Yunus Mokoginta, Suyitno Sukirno, Letjen (purn.) M. Jasin, Ali Sadikin, Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo, M. Radjab Ranggasoli, Bachrun Martosukarto SH, Abdul Mu’thi SH (Bandung).

Kemudian, M. Amin Ely, Ir H.M. Sanusi, Mohammad Natsir, Ibrahim Madylao, M. Ch Ibrahim, Bustaman SH, Burhanuddin Harahap, Dra S.K. Trimurti, Chris Siner Key Timu, Maqdir Ismail, Alex Jusuf Malik SH, Julius Hussein, SE, Darsjaf Rahman, Slamet Bratanata, Endy Syafruddin.

Lihat: Hoegeng, Kapolri Jujur Yang Dilupakan Ravolusi

Lalu, Wachdiat Sukardi, Ibu D. Walandouw, Hoegeng Imam Santoso, M. Sriamin, Edi Haryono, Dr. A.H. Nasution, Drs. A.M. Fatwa, Indra K. Budenani, Drs. Sulaiman Hamzah, Haryono, S. Yusuf, Ibrahim G. Zakir, Ezra M.T.H Shah, Djalil Latuconsina (Surabaya), Djoddy Happy (Surabaya), Bakri A.G. Tianlean.

Serta Dr. Yudilherry Justam, Drs. Med. Dody Ch. Suriadiredja, A. Shofandi Zakaria, A. Bachar Mu’id, Mahyudin Nawawi, Syafruddin Prawiranegara, SH, Manai Sophiaan, Mohammad Nazir, Anwar Harjono, Azis Saleh, dan Haji Ali Akbar.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline