Kisah Fotografer Terkenal yang Kini Hidup Menggelandang

RIAU ONLINE - Masyarakat banyak yang beranggapan bahwa fotografer fesyen identik dengan kehidupan yang glamor, selalu dikeliling model cantik dan desainer kenamaan. Hidup mereka mewah bergelimang harta. 


Tapi tidak demikian keadaannya dengan Mark Reay. Selama 6 tahun berprofesi sebagai salah satu fotografer mode di New York, Reay mengaku masih hidup menggelandang. Dia tidak punya rumah untuk pulang.


Padahal, menilik penampilannya, Reay terbilang menarik. Di usia paruh baya, Reay masih punya tubuh yang tegap dan wajah yang sedap dipandang. Dia juga berpendidikan dan punya pekerjaan bergengsi. (BACA JUGA: Kata Saksi Ahli, Rusli Zainal tak Terima Suap, tapi Memeras Perusahaan)

Lalu apa yang menjadikan Reay seorang tunawisma?

Melansir laman Oddity Central, saat Reay lulus dari Universitas Charleston, dia memang memutuskan untuk memanggul ranselnya dan melakukan perjalanan keliling Eropa. Untuk menyambung hidup, Reay bekerja sebagai model serabutan di Brussels, Belgia selama 4 tahun. Dia juga mengandalkan profesi modeling saat dia berkeliling Benua Biru.

Pada pertengahan 90an, Reay pulang ke New York untuk mengurus ayahnya yang sakit-sakitan. Demi mengisi dapur, Reay kembali menerima pekerjaan sebagai model. Umumnya, Reay dibayar sebesar US$200 per proyek pemotretan. 

Namun, saat ayahnya tutup usia di tahun 2000, Reay harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan. Usia yang tak lagi muda membuat Reay semakin sulit mendapatkan pekerjaan. Di situlah Reay mencoba dunia fotografi. 

“Saya akrab dengan dunia fesyen, jadi saya sering pergi ke acara fashion show, lalu mengambil beberapa foto belakang panggung,” katanya kepada Guardian. “Banyak yang mengenal saya sebagai model dan saya juga mengambil beberapa foto bagus. Saya pikir pekerjaan ini akan mendatangkan banyak uang.”

Sayangnya, dunia tak seindah bayangan Reay. Dia lebih sering bekerja pro bono, tanpa dibayar, sehingga dia harus membongkar tabungannya. Dia juga harus mencari pekerjaan sampingan. Reay pernah bekerja sebagai pelayan restoran untuk membayar sewa dan tagihan. Beberapa kali, dia berhasil menjual foto ke situs berita. Tapi, itu tidak cukup.

Akhirnya, Reay harus kehilangan rumah dan menjalani hidup sebagai gelandangan.(Klik Juga: Rusli Zainal Hadirkan Petinggi Kemendagri di Sidang PK



Berawal di Perancis

“Ironisnya, pertama kali saya menjadi gelandangan adalah di Perancis,” kata Reay.

Dia bertutur selama melakukan proyek pemotretan di St. Tropez, Perancis, dia tidur di bukit, beratapkan bintang. “Tidak terlalu buruk sebenarnya dan saya bisa menghemat,” kata dia.

Soal kamar mandi, Reay mengakalinya dengan menumpang di toilet umum di taman-taman ataupun stasiun kereta.  “Tidak ada yang menyangka saya sebenarnya gelandangan,” tambahnya.

Ketika kembali ke New York, Reay mengatakan dia benar-benar bangkrut namun tidak ingin merepotkan teman ataupun keluarganya. Dia pernah menginap di hotel murah, namun banyak kutu kasur yang membuatnya gatal semalaman. Saat itulah dia ingat, seorang teman punya ruangan di atap apartemen yang tidak lagi digunakan. Dia pun menyelinap ke sana, dan menjadikan atap itu tempat tinggalnya selama 6 tahun terakhir. 

“Saya punya beberapa stel busana dan selimut. Selain itu, atap itu cukup nyaman, serta tersembunyi. Tidak ada yang tahu saya tinggal disitu,” tutur Reay. 

Ketika keadaan mulai membaik dan Reay bisa mengumpulkan sedikit tabungan, dia bukannya menyewa apartemen, melainkan memperbarui keanggotaannya di gymnasium setempat. “Disitu saya bisa mandi dan sekalian berolahraga. Disana juga ada mesin cuci, sehingga saya bisa cuci baju,” cerita Reay. 

Sehari-hari, Reay akan bangun bagi, masuk ke gym untuk berolahraga, mandi kemudian pergi memotret ke pekan mode atau mengerjakan proyek sampingan. Usai bekerja, dia akan kembali menyelinap ke atap gedung dan beristirahat. 

Bukan Hal Mudah

Reay membuat hidup menggelandang terdengar mudah, padahal tidak sama sekali. Dia mengaku harus sangat berhati-hati menyelinap masuk ke gedung apartemen, tanpa menimbulkan suara. Dia juga harus memanjat sisi gedung tanpa pengaman yang bisa saja membuatnya jatuh dan terbunuh. Tidur di atap juga berarti harus berhadapan langsung dengan cuaca. Dia seringkali kedinginan, terutama saat musim dingin berlangsung. 

“Salju sudah biasa, yang saya takutkan adalah badai besar,” akunya. 

Soal pekerjaan, Reay mengatakan banyak yang memberi dia pekerjaan, tapi hidup di New York tidaklah murah. Selain itu, tidak semua pekerjaan bernilai besar. Tapi, kesabaran Reay berbuah manis. Musim panas lalu, akhirnya dia bisa melepaskan ‘rumah’nya selama 6 tahun dan tinggal di sebuah apartemen layak huni. 

Kendati begitu, Reay tidak lantas jumawa. Dia menyimpan masa-masa sulitnya sebagai pengingat. 

“Hidup saya memang susah, tapi saya bahagia dan punya banyak pengalaman. Pengalaman saya mengajarkan bahwa uang bukanlah segalanya,” tutur Reay. 

Kini, kisah Reay dituturkan dalam sebuah dokumenter berjudul 'Homme Less', yang disutradarai oleh teman baiknya, Thomas Wirthensohn.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline