Oleh: Ilham Muhammad Yasir,
Redaktur Eksekutif RIAU ONLINE
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Di bawah bayang-bayang kekuasaan yang seharusnya menjadi perisai rakyat, korupsi tumbuh subur. Korupsi telah menjalar seperti akar pohon tua, menjerat sendi-sendi bangsa. Ia tidak lagi tampak seperti kejahatan yang berdiri sendiri. Namun tetap menjadi bagian dari sistem. Pekerjaan rumah lama yang dulu dijanjikan akan diusir dengan tegas oleh reformasi, tapi malah merasuk lebih dalam, merasuki lingkar kekuasaan sejak 20 tahun terakhir ini.
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, ada janji besar yang diucapkan: memberantas korupsi hingga ke akarnya. Namun, langkah-langkah itu lebih sering terasa sebagai simbol belaka—seperti gedung KPK baru yang megah, tetapi nyaris kehilangan giginya setelah revisi Undang-Undang KPK pada 2019 yang melemahkan lembaga itu. Kini, di bawah bayang Presiden Prabowo jelang akhir 2024 kemarin, ada aroma ragu yang menyelimuti langkah pemberantasan korupsi. Apakah warisan kebijakan Jokowi menjadi penghambat, atau ada dilema kepentingan baru yang membuat langkah ini seperti maju-mundur?
Semangat yang Pupus
Semangat filosofis Undang-Undang (UU) No. 31/1999 sebagaimana sebagian diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, yang menyemangati perjuangan melawan korupsi di Indonesia, kini seolah kehilangan energinya. Korupsi terus menebar di mana-mana, tetapi pemberantasannya semakin melemah. Meski label “Extra Ordinary Crimes” telah disematkan, tindakan luar biasa yang dijanjikan dalam undang-undang ini sering kali hanya berhenti pada teks, bukan pada praktik.
Vonis hukuman mati yang diperkenalkan oleh UU No. 31/1999, misalnya, nyaris tak pernah diterapkan. Dalam realitasnya, pelaku korupsi kerap mendapatkan hukuman ringan. Banyak kasus besar yang mengguncang masyarakat, seperti korupsi Jiwasraya, Asabri, Duta Palma, PT Timah atau kasus bansos di era pandemi, namun proses hukum mereka sering kali menimbulkan kekecewaan. Hal ini menunjukkan bahwa meski undang-undang sudah cukup garang, implementasinya jauh dari harapan.
KPK yang tumpul
Pada era Presiden Jokowi, revisi UU KPK pada 2019 menjadi salah satu titik balik yang suram bagi pemberantasan korupsi. Revisi tersebut melemahkan independensi KPK, memperkenalkan Dewan Pengawas yang harus memberikan izin penyadapan, dan mengurangi efektivitas operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi andalan lembaga ini. Sementara itu, jumlah OTT yang dilakukan KPK mengalami penurunan drastis dibandingkan periode sebelumnya. Banyak pengamat menilai bahwa revisi ini tidak hanya membatasi ruang gerak KPK, tetapi juga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Kasus besar seperti korupsi bansos atau skandal tambang seringkali berakhir dengan hukuman yang tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan.
Harapan atau Kebimbangan?
Sejak dilantik, 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo-Gibran sudah melewati 72 hari kerja. Belum ada tanda-tanda yang dirasakan dari gebrakan di 100 hari program kerjanya. Meskipun ekspektasi yang diberikan publik di awal pemerintahan sangat luar biasa. Itu selaras dengan komitmen pidato Prabowo di dalam berbagai forum. Prabowo ingin mengejar para koruptor hingga sampai ke Antartika. Namun, langkah awal pemerintahannya itu jadi menimbulkan tanda tanya. Komitmen untuk memberantas korupsi terlihat maju-mundur, terutama dengan masih adanya kompromi politik dalam pengangkatan pejabat strategis.
Keraguan ini mungkin dipengaruhi oleh warisan kebijakan era Jokowi, yang meninggalkan sistem birokrasi yang sudah terkooptasi oleh kepentingan politik. Namun, di sisi lain, Prabowo juga dinilai belum memiliki keberanian untuk melakukan reformasi besar-besaran yang diperlukan untuk mengembalikan wibawa lembaga penegak hukum.
Kehilangan Gertak
Pasal-pasal dalam UU No. 31/1999 dan UU No. 20/2001 meski sudah direvisi di 2019. Jika komitmen Prabowo kuat, seharusnya UU ini tetap memberikan dasar yang kuat untuk menghukum pelaku korupsi secara tegas. Misalnya, Pasal 2 ayat (2) UU No. 31/1999 memberikan peluang untuk menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti saat negara dalam krisis ekonomi. Namun, implementasi pasal ini masih jauh dari harapan. Sebaliknya, banyak kasus korupsi yang malah mendapatkan perlakuan lunak. Hukuman bagi pelaku korupsi sering kali lebih ringan dibandingkan hukuman untuk pencuri kecil-kecilan. Vonis kasus Harvey Moeis dan Helena Lim yang merugikan keuangan negara hampir 300 triliun. Harvey Moeis hanya divonis 6,5 tahun, sedangkan Helena Lim hanya 5 tahun. Tuntutan jaksa juga rendah hanya 12 tahun untuk Harvey Moeis. Sementara Helena Lim hanya dituntut 8 tahun. Begitu juga hukuman pengembalian uang negara hanya ratusan miliar saja. Jelas tak sebanding, dan menyakiti hati dan perasaan akal sehat publik.
Langkah Nyata
Jika ingin mengembalikan simpatik publik. Pertama, pemerintah harus mengembalikan independensi KPK. Pemerintah harus mengevaluasi revisi UU KPK dan mengembalikan kewenangan penuh lembaga tersebut. Kedua, reformasi sistemik. Digitalisasi sistem birokrasi dan pengelolaan anggaran harus dilakukan secara menyeluruh untuk meminimalkan celah korupsi. Ketiga, penegakan hukum yang tegas. Penegak hukum harus berani menggunakan pasal-pasal tegas dalam UU No. 31/1999, termasuk hukuman mati jika diperlukan, untuk memberikan efek jera. Keempat, partisipasi masyarakat. Publik harus dilibatkan secara aktif dalam mengawasi kasus korupsi. Transparansi dalam proses hukum menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Kelima, pendidikan antikorupsi. Penting untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak usia dini melalui pendidikan formal dan kampanye publik.
Terakhir, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang membutuhkan langkah luar biasa pula. Dari era Jokowi hingga awal masa Prabowo, pemberantasan korupsi masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa ini. Indonesia membutuhkan keberanian politik dan reformasi mendalam untuk memastikan hukum bukan hanya teks mati, tetapi pedang tajam yang mampu memotong akar korupsi hingga ke dasarnya. Kini, waktunya bagi Prabowo untuk mencatatkan sejarah, atau membiarkan bangsa ini terus terperangkap dalam lingkaran setan korupsi.
Selain aktif di RIAU ONLINE, adalah Mahasiswa Program S3 Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Riau.