Polemik DBH Migas Riau Belum Usai, CSO EITI Indonesia: Perlu Adanya Transparansi

CSO-EITI-Indonesia.jpg
(Istimewa)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Polemik terkait Dana Bagi Hasil (DBH) migas Riau masih terus berlanjut. Setelah sebelumnya Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, mengamuk kepada Kementerian Keuangan, hari ini Gubernur Riau, Syamsuar, yang merasa tak adil terkait DBH dari pusat. 

Hal ini menuai respon dari berbagai pihak. Salah satunya dari wakil masyarakat sipil EITI Indonesia periode 2022 - 2025. 

Civil Society Organization (CSO) Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia Rocky Ramadani menyampaikan bahwa perlu adanya transparansi ataupun keterbukaan informasi data produksi migas (lifting) oleh masing-masing stakeholder yaitu Kementerian ESDM, SKK Migas, KKKS, Kemenkeu.

Menurutnya, selama ini bottleneck persoalan DBH disebabkan komunikasi dan informasi dari Kementerian ESDM, SKK Migas, KKKS, Kemenkeu kepada Daerah Penghasil Migas sangat sulit didapatkan.

"Data Kementerian ESDM yang dipakai oleh Kemenkeu untuk dasar pembagian DBH SDA-nya justru yang sering jadi pertanyaan. Itulah yang kemudian dijadikan argumen bupati terkait data lifting misalnya, pakai data SKK, Dirjen Migas atau data yang mana. Ini yang patut diperjelas kepada daerah,” ujarnya.

Meskipun demikian, kata Rocky, Pemerintah Daerah juga harus proaktif dalam mendapatkan maupun mensinkronkan informasi dari data tersebut.


"Jangan hanya menunggu saja, Pemda Riau dan kabupaten/kota daerah khususnya daerah penghasil mesti jemput bola untuk mendapatkan data yang akurat dan informasi terkait implikasi undang-undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah,” ujar Rocky.

Dikatakan Rocky, sejauh mana daerah memahami implikasi UU HKPD nomor 1 Tahun 2022 yang menyangkut perubahan formula DBH sumber daya alam. Ditambah lagi PP-nya belum selesai. 

"Tentu ini juga akan menambah ruwetnya dana bagi hasil migas. Kemenkeu mesti menjelaskan kepada daerah, formula mana yang mesti digunakan dalam penghitungan DBH Migas. Apakah formula baru ataukah formula lama. Karena PP-nya belum selesai", tegas Rocky yang juga merupakan pengurus FKPMR ini.

Apalagi, kata Rocky dalam UU HKPD tersebut disampaikan bahwa DBH SDA tidak hanya untuk daerah penghasil tapi juga Daerah yang berbatasan dengan Daerah penghasil.

Selama ini menurut Rocky yang terjadi pada Forum Rekonsiliasi DBH SDA, seringkali pemerintah kabupaten tidak dilibatkan. Mereka hanya melibatkan Bapenda Provinsi. Kalaupun Pemkab dilibatkan, itu hanya sebagai ajang sosialisasi Pusat ke Daerah. 

"Ke depan tentu hal ini mesti jadi prioritas pemerintah pusat agar pada forum rekonsiliasi harus melibatkan pemerintah daerah terutama, daerah penghasil, sehingga tidak ada lagi pemda yang merasa pembagiannya tidak adil,” tandasnya.