RIAU ONLINE, PEKANBARU - Kematian pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Tampan, Ahmad Nuradi, warga Desa Muara Dilam, Kecamatan Kunto Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), menyisakan tanda tanya bagi pihak keluarga.
Keluarga almarhum menilai kematian Ahmad Nurhadi di RSJ Tampan Pekanbaru, pada Jumat, 25 April 2025, penuh kejanggalan dan tidak masuk akal. Mereka mendesak pihak kepolisian mengusut tuntas kasus ini.
Sepupu almarhum, Cici mengungkap kejanggalan yang ditemukan keluarga sejak almarhum dirawat hingga dinyatakan meninggal di RSJ Tampan, Pekanbaru.
Cici menyebut Ahmad Nurhadi menjalani perawatan di RSJ Tampan akibat gangguan kejiwaan, sejak Senin, 21 April 2025 untuk mencegah potensi gangguan terhadap tetangga dan masyarakat sekitar.
“Pada Jumat, 25 April 2025 siang sekitar pukul 14.00 WIB, ayah almarhum sempat melakukan video call melalui ponsel sekuriti bernama Ari. Saat itu, almarhum tampak sehat dan sadar, seperti orang normal,” ujar Cici, Senin, 28 April 2025.
Kejanggalan ditemukan saat ibu Ahmad Nurhadi datang membawa makanan, sate untuk anaknya, sekitar pukul 17.30 WIB. Namun, tidak diizinkan untuk menyerahkan langsung makanan itu kepada Ahmad Nurhadi.
Saat itu, sekuriti yang bertugas hanya menerima titipan makanan tanpa memberikan alasan yang jelas.
“Biasanya orang tua bisa langsung ketemu dan kasih makanan. Tapi sore itu tiba-tiba tidak boleh. Alasan dari sekuriti pun tidak masuk akal,” terang Cici.
Kemudian sekitar pukul 19.00 WIB, pihak RSJ Tampan mengabari kakak almarhum, Maisaroh, agar segera datang ke rumah sakit. Saat tiba di RSJ pukul 19.20 WIB, orang tua Ahmad Nurhadi dikejutkan dengan pernyataan rumah sakit yang menyatakan putra mereka meninggal dunia.
“Tentu saja keluarga kami terpukul. Mereka langsung menangis histeris di rumah sakit,” lanjutnya.
Menurut keluarga, ada kejanggalan di balik penyebab kematian Ahmad Nurhadi yang disebut pihak RSJ Tampan karena bunuh diri. Pihak keluarga lantas meminta agar kepolisian dilibatkan.
Setelah berkoordinasi dengan pihak rumah sakit, Polresta Pekanbaru bersama Polsek Tampan kemudian membawa jenazah Ahmad Nurhadi ke RS Bhayangkara untuk diautopsi.
Menurut Cici, terdapat banyak kejanggalan yang membuat keluarga besar almarhum menolak mentah-mentah penjelasan rumah sakit yang menyebut Ahmad Nurhadi meninggal karena bunuh diri.
“Waktu bapak kami datang ke RSJ, melihat jasad adik kami sudah dalam posisi terbaring di tempat tidur, dibungkus kain setengah badan. Pihak rumah sakit bilang dia gantung diri, tapi kami tidak melihat tanda-tanda itu,” terang Cici.
Dalam pengamatan keluarga, tidak ada tanda-tanda gantung diri, seperti lidah menjulur atau keluarnya cairan tubuh, yang ditemukan pada jasa putra mereka.
“Tubuhnya normal saja. Tidak ada reaksi tubuh yang biasa muncul pada korban gantung diri. Ini sangat aneh,” tegasnya.
Selain itu, alat yang disebut digunakan almarhum untuk bunuh diri, yakni sebuah baju lengan panjang, juga menjadi pertanyaan besar bagi keluarga almarhum.
“Itu bukan baju adik kami (almarhum-red). Dan saat terakhir dijenguk, baju panjang itu tidak ada. Dari mana asal baju itu?” tanya Cici.
Tak hanya itu, simpul ikatan pada baju tersebut dinilai tidak kuat. Tinggi kain dengan tinggi tubuh almarhum Ahmad Nurhadi pun hampir sama, sehingga keluarga merasa sangat janggal jika dikatakan almarhum sempat tergantung.
“Kalau memang bunuh diri, pasti ada bekas cekikan atau perubahan pada tubuh. Ini tidak ada. Bahkan, simpul ikatan di jendela sangat lemah, tidak mungkin bisa menopang tubuh manusia,” tambahnya.
Kejanggalan lain yang menambah kecurigaan keluarga adalah dugaan lemahnya pengawasan dari pihak RSJ Tampan. Menurut Cici, ruangan pasien dipantau CCTV 24 jam dan ada patroli rutin dari sekuriti.
“Itu jarak dari ruang perawat ke kamar adik kami cuma sekitar 8 meter. Masa tidak ada satupun yang melihat gerak-gerik aneh?” katanya.
Jika benar almarhum melakukan tindakan bunuh diri, kata Citi, mestinya pihak rumah sakit memiliki dokumentasi berupa rekaman, foto atau CCTV yang jelas. Namun, hingga saat ini, tidak ada satu pun bukti video yang ditunjukkan ke pihak keluarga.
“Aneh, kenapa saat penurunan jasad almarhum tidak ada polisi atau foto dan video? Biasanya itu harus polisi yang nurunkan, ada apa? Kita hidup di zaman digital, masa penanganan darurat seperti ini tidak ada dokumentasi? Ini semakin memperkuat kecurigaan kami,” tegas Cici.
Pihak keluarga menduga bahwa kematian almarhum bukan karena bunuh diri atau gantung diri, melainkan akibat dugaan malapraktik atau over dosis obat-obatan.
“Kami menduga adik kami menjadi korban malapraktik atau overdosis obat. Banyak kejanggalan yang tidak dapat dijelaskan rumah sakit,” tegas Cici.
Atas dasar semua kejanggalan tersebut, keluarga besar almarhum Ahmad Nurhadi meminta aparat penegak hukum (APH) untuk segera bertindak profesional.
“Kami minta kepolisian usut tuntas penyebab kematian adik kami. Kami percaya Polisi tahu apa yang harus dilakukan. Kami hanya ingin keadilan,” tutup Cici.