Saktinya RUU Perampasan Aset dan Pembatasan Uang Kartal

Ilustrasi-tahanan.jpg
(Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)

RIAU ONLINE - Ahli hukum pidana UGM, Fathillah Akbar, menilai bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sangat sakti. Sehingga, menurutnya RUU ini harus segera disahkan.

Pengesahan RUU tersebut hingga kini belum dilakukan, bisa dikatakan 'tersendat'. Padahal, Menko Polhukam Mahfud MD hingga pejabat terkait sudah menandatangani drafnya sejak April 2023 lalu.

Bahkan, Presiden Jokowi sempat menyinggung soal pentingnya RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk segera disahkan. Namun hingga kini, kedua RUU itu masih dalam pembahasan DPR RI.

"RUU Perampasan Aset sangat urgen dengan banyak alasan," kata Fatahillah kepada wartawan, Kamis, 18 April 2024, dikutip dari kumparan.

Alasan pertama, UU Korupsi dan Pencucian Uang masih harus membuktikan bersalahnya seseorang. Sedangkan Perampasan Aset fokus pada harta, bukan pemidanaan.

Kedua, banyak kasus-kasus tidak jalan karena tidak ada orangnya, padahal ada target asetnya yang harus disita.

Ketiga, konsep harta yang tidak dapat dijelaskan (unexplained wealth) dikenalkan dalam RUU tersebut.

"Kalau disahkan semua pejabat akan hati-hati dengan asetnya dan melaporkan secara sah asetnya. Bisa mengurangi Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) dan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)," kata Fatahillah.

Menurutnya, Aparat Penegak Hukum (APH) bisa menggunakan Perampasan Aset ini untuk menyita aset tertentu tanpa harus melalui proses pidana.


"Bisaa jadi alat bukti di kemudian hari untuk perkara pidana," ungkapnya.

Tak hanya itu, kata dia, semua aset koruptor akan dirampas jika tidak bisa dijelaskan asal usulnya. RUU ini juga dapat melacak lebih detail.

Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, juga bicara pentingnya RUU Perampasan Aset dalam segi penindakan.

"Itu (RUU Perampasan Aset) kan lebih ke aspek penindakan ya. Jadi kan merampas sesuatu yang non-yudisial pun bisa. Merampas. Itu lebih penindakan," kata Pahala.

Namun, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal juga tak kalah pentingnya. Pahala menyebut RUU bisa melengkapi dari segi pencegahan.

"Kalau sudah penindakan sih, ya penindakan lah gitu kan. Walaupun pun itu masih macet di DPR segala macam tapi maksudnya seharusnya dia dimajukan bareng-bareng (RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal)," kata dia.

Contohnya, kata Pahala, dalam pembatasan transaksi uang kartal tersebut, bisa menjadi alat pencegahan korupsi yang efektif. Sebab, penarikan uang tunai dibatasi.

"Pembatasan transaksi kartal yang Rp 100 juta, jadi lu enggak boleh ambil duit dari Bank lebih dari Rp 100 juta sehari. Itu dari sisi pencegahan sangat efektif. Karena 15 negara Eropa membatasi itu, pembatasan kartal itu, penarikan uang tunai itu dibatasi di 15 negara Eropa," kata dia.

"Jadi kalau mau beli rumah, bayar semiliar itu enggak bisa tunai. Harus transfer. kalau sekarang kan masih bisa orang tunai ke mana-mana karena narik duit dari banknya juga enggak dibatasin. Berapa pun bisa," sambungnya.

Sejatinya, Pahala ingin dua RUU tersebut dimajukan dan segera disahkan. Lantas, apa dampak paling terasa jika dua RUU tersebut disahkan?

"Kalau pembatasan itu lebih ke pencegahan. Kalau dibatasin transaksi tunai terpaksa semuanya masuk ke sistem perbankan, terpaksa, dia masuk ke sistem perbankan maka pajak yang mengambil keuntungan yang pertama karena enggak bisa lagi nyembunyiin penghasilan," kata Pahala.

"Yang kedua, TPPU pencucian uang, sudah makin susah karena enggak bisa lagi saya ngasih duit tunai ke katakanlah pembantu saya suruh beli rumah atas nama dia dulu, enggak bisa lagi. Semua harus masuk perbankan. Nah jadi saya bilang, kalau perampasan lebih penindakan tapi kalo pembatasan yang Rp 100 juta itu ke pencegahan, yang untung satu pencegahan korupsi, dua menaikkan tax ratio, yang ketiga membuat sulit untuk pidana pencucian uang. Jadi lebih sulit karena enggak bisa tunai," sambungnya.

Dia menilai, dua RUU ini sangat bisa memberantas korupsi jika segera disahkan.

"Bisa (berantas korupsi), meningkatkan pendapatan pajak bisa. Sudah gitu, mencegah pidana pencucian uang. Itu bisa banget. Makanya saya bilang kenapa hanya satu yang dimajuin. Yang pembatasan Rp 100 juta kartal sudah 10 tahun yang lalu, naskah akademiknya sudah jadi di PPATK. Sudah jadi. Enggak ngerti kenapa enggak dimaju-majuin," pungkasnya.