Kontroversi di Balik UU MD3 yang Tak Ditandatangani Jokowi

UU-MD3.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE - Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mulai diberlakukan hari ini, Kamis, 15 Maret 2018, meski Presiden Joko Widodo tak menandatanganinya.

Hal itu mengacu pada peraturan perundang-undangan yang menyatakan sebuah undang-undang berlaku dengan sendirinya selam 30 hari sejak disahkan meski tak ditandatangani Presiden.

Presiden Jokowi memastikan dirinnya tidak akan membubuhkan tanda tangannya pada lembar pengesahan UU MD3 itu.

"Hari ini kan sudah terakhir dan saya sampaikan saya tidak menandatangani UU tersebut," kata Jokowi melansir KOMPAS.com, Kamis, 15 Maret 2018.

Jokowi mengaku tidak menandatanganinya karena menangkap keresahan masyarakat terkait adanya sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3.

Jokowi mengaku tidak mendapatkan penjelasan tentang sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3 dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly.

Berikut beberapa pasal yang dianggap kontrovoersial karena membuat DPR semakin superbody:

Pasal 73

Klausul revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dalam pasal ini ditambahkan frase 'wajib' bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang enggan datang untuk diperiksa DPR.

Ketua Badan Legisllasi DPR sekaligus Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas mengatakan, penambahan frase "wajib" dalam hal pemanggilan paksa salah satunya terinspirasi saat Komisi III memanggil gubernur.

Ketika itu, gubernur yang dipanggil tak kunjung hadir memenuhi undangan rapat dengar pendapat.

DPR juga melihat polemik Panitia Khusus (Pansus) Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak bisa menghadirkan lembaga antirrasuah itu.

Menurut Supratman, penambahan frase "wajib" merupakan respons atas kegamangan Kapolri saat dimintai Pansus Angket untuk memanggil paksa KPK.

Bahkan dalam ayat 6 pasal tersebut, polisi berhak menyandera pihak yang menolak hadir diperiksa DPR paling lama 30 hari. Nantinya ketentuan penyanderaan akan dibakukan dalam Peraturan Kapolri.


Pasal 22 huruf k

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Demikian bunyi Pasal 22 huruf k.

Menurut anggota Badan Legislasi (Baleg) dari fraksi PKB Lukman Edy, pasal tersebut berfungsi untuk menjamin kehormatan DPR dan anggotanya.

Di era demokrasi, kata Lukman, kelembagaan DPR justru harus dijaga sehingga MKD perlu diberikan kewenangan untuk memanggil dan memeriksa pihak yang diduga merendahkan kehormatan dewan dan anggotanya.

Jika ternyata setelah diperiksa terbukti menghina DPR atau anggotanya, maka akan ditempuh langkah selanjutnya. Dan jika yang menghina sebuah lembaga negara maka akan ditindaklanjuti dengan hak yang melekat pada DPR seperti memunculkan hak interpelasi, angket dan lainnya.

Bahkan, kata Lukman, sebuah lembaga negara yang tak hadir dalam undangan rapat dengar pendapat yang diselenggarakan DPR juga merupakan bentuk penghinaan. Saat ditanya bila nantinya yang menghina perorangan, Lukman mengatakan MKD nantinya akan memeriksa orang tersebut. Jika ditemukan ada unsur penghinaan, MKD bisa mengambil langkah hukum dengan melaporkannya ke polisi.

Pasal 245

Pada pasal ini disebutkan bahwa DPR dan pemerintah sepakat bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin bagi aparat penegak hukum.

Klausul itu menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait Pasal 245.

Padahal, klausul itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atas izin MKD, sehingga izin diberikan oleh presiden. Sekarang, DPR mengganti izin MKD dengan frase "pertimbangan".

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas menjamin pasal tersebut tak akan menghambat proses pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum.

Pasalnya, MKD hanya memberi pertimbangan dan tak wajib digunakan presiden dalam memberi izin.

Dikatakannya, pertimbangan MKD dan izin presiden tidak berlaku bagi anggota DPR yang tertangkap tangan saat melakukan tindak pidana, terlibat tindak pidana khusus, dan pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.

MK Diragukan

Jokowi mempersilakan masyarakat untuk melakukan uji materi UU MD 3 ke MK. Ia mengaku tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan sejumlah pasal kontroversial di UU MD3. Wacana itu sempat dipertimbangkan Jokowi.

Pada Kamis, 8 Maret lalu, MK juga telah menggelar sidang perdana uji materi UU MD3, setelah menerima permohonan perkara yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan dua perserorangan warga negara Indonesia.

Pada sidang perdana itu, majelis hakim yang terdiri dari Suhartoyo, I Gede Palguna dan Saldi Isra mempersoalkan objek gugatan, yakni UU MD3 yang belum diberikan nomor.

Majelis hakim, kata hakim MK Suhartoyo, memberikan waktu 14 hari kedepan hingga 21 Maret 2018 untuk para pemohon memperbaiki gugatannya dan mencantumkan nomor UU MD3.

Sidang berlangsung di tengah pesimisme kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyeruak. Sebab, Ketua MK Arief Hidayat banyak dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik. Salah satu dugaan pelanggaran etik itu terkait pertemuan dengan sejumlah anggota DPR yang dinilai sebagai lobi politik. Selain itu koalisi masyarakat sipil menilai ada indikasi kedekatan Ketua MK Arief Hidayat dengan DPR. Dugaan adanya lobi saat Arief menjalani uji kelayakan sebagai hakim konstitusi di DPR, hingga putusan MK terkait keabsahan hak angket DPR terhadap KPK, menjadi dasar kekhawatiran itu.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id