Di Balik Rusaknya Tesso Nilo: Klaim Adat, Jejak Izin Perusahaan dan Modus Hibah Lahan

TNTN-Pelalawan3.jpg
(Foto: Instagram/@btn_tessonilo via kumparan)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Problem tenurial di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) bukanlah persoalan baru. Sebelum kawasan ini ditetapkan secara resmi menjadi taman nasional pada 2004, kompleksitas penguasaan lahan, klaim adat, serta tumpang tindih perizinan perusahaan telah menyemai benih konflik yang kini memuncak dalam bentuk kerusakan ekologis masif.

Ahmad Zazali, Pendiri dan mantan Pengawas Yayasan TNTN yang kini juga menjabat Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (Puraka), menyebut TNTN sejak awal telah dibayangi konflik tenurial yang kompleks yang belum kunjung selesai.

“Secara umum, sebelum ditetapkan jadi TNTN pada 2004, dalam kawasan Tesso Nilo telah ada klaim hak ulayat dari Suku Petalangan dan beragam izin perusahaan HPH dan HTI,” ungkapnya, Sabtu, 21 Juni 2025.

Berdasarkan analisis WWF Riau tahun 2007, terdapat tiga Batin dari Suku Petalangan yang mengklaim wilayah hak ulayat dalam kawasan TNTN, yaitu Batin Muncak Rantau, Batin Hitam Sungai Medang, dan Batin Mudo Langkan.

Selain itu, kawasan ini juga telah dikuasai oleh sejumlah perusahaan yang mengantongi izin pengelolaan hutan seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) PT RAPP, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Hutani Sola Lestari, HPH PT Nanjak Makmur, dan berbatasan juga dengan perkebunan sawit PT Citra Riau Sarana.

Ahmad Zazali menjelaskan, sebelum TNTN ditetapkan, kawasan hutan ini sudah memiliki jalan koridor perusahaan yang kemudian digunakan sebagai akses masuknya para pelaku penebangan liar ke dalam hutan.


“Dari dokumen yang ada, maraknya penebangan hutan dimulai sejak 2001, yaitu setelah PT RAPP membangun jalan koridor Baserah dan koridor Ukui-Gondai,” jelasnya.

Analisis peta citra satelit Landsat WWF Riau tahun 2002–2009 yang dirilis pada 2010 memperkuat pernyataan ini. Peta citra satelit ini menunjukkan bahwa pembukaan hutan yang sangat masif terjadi mulai dari area sekitar koridor RAPP Ukui-Gondai dan Baserah.

“Bukaan lahan tersebutlah yang menjadi cikal bakal maraknya pembangunan kebun sawit yang ada hingga saat ini,” ujarnya.

Jika ditinjau dari sisi tenurial hak ulayat, menurutnya masuknya pihak-pihak yang membuka kebun sawit dalam kawasan TNTN juga tidak bisa dilepaskan dari hubungan antara masyarakat adat dan pemilik modal. Seperti pemberian hibah dan kuasa pemanfaatan/menggarap lahan dari Batin Suku Petalangan atas dasar klaim hak ulayat yang mereka miliki.

Terdapat banyak bukti berupa surat yang menunjukkan adanya hibah dan kuasa penggarapan lahan tersebut. Namun, surat hibah atau kuasa ini diduga hanya modus untuk jual beli lahan terselubung.

“Surat hibah atau kuasa ini diduga hanya modus, yang sebenarnya terjadi adalah jual beli lahan,” katanya.

Dari fakta ini, ia menegaskan bahwa masifnya pembukaan lahan di dalam TNTN bukan hanya karena ketamakan pelaku ilegal, tetapi juga karena persoalan tenurial yang tidak kunjung diselesaikan.

“Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap penertiban kawasan TNTN oleh Satgas PKH, hendaknya persoalan tenurial masyarakat hukum adat dan perizinan HPH/HTI juga harus dilihat sebagai penyebab masifnya pembukaan lahan di dalam TNTN,” pungkasnya.