Pendiri Museum Peranakan Tionghoa, Azmi Abubakar: Mendobrak Stigma dengan Fakta

PSMTI-Riau-seminar3.jpg
(LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Ratusan pasang mata tertuju pada sosok pendiri Museum Peranakan Tionghoa, Azmi Abubakar. Pemaparannya terkait peran perjuangan orang Tionghoa dalam kemerdekaan Indonesia, menyita semua perhatian.

Pria asal Aceh ini menyebut, orang Tionghoa adalah bagian dari jati diri bangsa. Sama dengan Aceh, Melayu, Makassar dan seterusnya. 

"Tidak mengenali Tionghoa adalah tidak mengenali diri kita sendiri. Ini yang mau saya garis bawahi," paparnya.

Ia memberikan materi soal sejarah kepatriotan orang Tionghoa. Aktivis Hak Azazai Manusia (HAM) dan sekaligus pendiri pusaka peranakan Tionghoa menjelaskan sejarah kepatriotan orang Tionghoa di Nusantara.

"Kepatriotan orang Tionghoa juga tak kalah luar bisa," katanya.

Sebagai orang Aceh Azmi menggambarkan perlawanan orang Aceh dan Tionghoa melawan Belanda ratusan tahun sebelumnya. Sebab orang Aceh melawan Belanda sejak tahun 1873 sampai Indonesia berdiri. Tetapi orang Tionghoa sudah melawan sebelumnya tahun 1740-1743.

Ia menjelaskan, satu peristiwa besar yang terjadi di Nusantara, yakni Geger Pecinan. Ini adalah perang luar biasa yang pernah terjadi di suatu masa yang lampau. Ada sejumlah nama-nama panglima Tionghoa yang pada suatu masa itu bersatu dan berkolaborasi melawan penjajah Belanda.

Perang itu dimulai dari Batavia (Jakarta saat ini) menyisir sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, sampai ke Banyuwangi. Dalam perang itu hanya dikenal nama-nama besar Mangkubumi yang kemudian menjadi Hamengkubuwono I, Pakubuwono II hingga Amangkurat V.

"Namun ada dikenal nama Souw (Oey) Phan Chiang, dan lainnya. Namanya tidak Indonesia, namun dialah orang yang bersekutu dengan tentara Mataram Jawa di bawah pimpinan Pakubuwono II dan Mangkubumi  saat itu dan berhasil merebut benteng Kertosuro," jelasnya.

Lanjutnya, kisah besar ini menjadi bahan ajar bagi anak SD pada tahun 1950-1960. Kisah ini menghilang hingga puluhan tahun dan kini mulai dikuak kembali dan bisa dilihat di Museum Tionghoa.

"Perang yang amat dahsyat, kolaborasi pasukan perang antara tentara Jawa Mataram dengan Tionghoa. Pada masa itu kisah ini juga disajikan dalam bentuk komik, hingga semua kalangan bisa memahami," paparnya.

Pada masa penjajahan Belanda, akses pendidikan sangat dibatasi. Azmi menilai peran masyarakat Tionghoa dalam segi pendidikan sangat berpengaruh.


"Seperti Undip yang diprakarsai oleh orang-orang Tionghoa saat itu. Bekerjasama dengan orang-orang Jawa. Dulu, orang Semarang Jateng kalau mau kuliah tidak ada tempat. Maka orang Tionghoa mengambil peran untuk menyediakan pendidikan tinggi," ulasnya.

"Orang-orang yang mengajar di awal berdirinya Undip kala itu menolak dibayar sebagai dosen. Mereka kemudian mengabdi dan mendidik mahasiswa secara gratis. Apa yang melatarbelakangi itu kalau bukan rasa cinta tanah air," lanjutnya.

Meskipun tidak punya darah keturunan Tionghoa, Azmi telah mendirikan Museum Peranakan Tionghoa sebagai bentuk rasa kepedulian. Bertahun-tahun ia mengumpulkan segala bahan sejarah, mulai dari naskah-naskah dan majalah.

Kini Museum Pustaka Peranakan Tionghoa telah menyimpan koleksi literatur, komik, surat kabar dan barang- barang lainnya terkait sejarah Tionghoa di Indonesia. Museum berlokasi di Ruko Golden Road BSD, Tangerang Banten. Pada tahun 2011 dan telah memiliki lebih dari 30.000 koleksi kepustakaan Tionghoa Indonesia.

Pendiri Bursa Buku Blok M Jakarta ini juga mengatakan, salah satu yang mendasarinya mendirikan Museum Peranakan Tionghoa yakni kesamaan dari sisi sejarah Tionghoa yang melekat ketika tsunami Aceh pada 2004 silam.

"Bencana tsunami Aceh menelan hampir 200 ribu jiwa. Seluruh saudara orang-orang Aceh itu berdatangan, yang berlainan golongan maupun etnis. Saya menjadi saksi bagaimana orang-orang Tionghoa hadir di sana. Ini salah satu yang menyentuh saya," jelasnya.

Bencana tsunami Aceh menelan hampir 200 ribu jiwa. Seluruh saudara orang-orang Aceh itu berdatangan, yang berlainan golongan maupun etnis. "Saya menjadi saksi bagaimana orang-orang Tionghoa hadir di sana, yang kini kita kenal sebagai PSMTI. Tokoh-tokohnya hadir, mereka tidak cuma menyalurkan sumbangan lalu diantar oleh kurir. Pimpinan PSMTI pusat langsung hadir ke Aceh," kenangnya.

Tak hanya sumbangan, kata Azmi, orang-orang Tionghoa juga melakukan kegiatan sosial di sana. Mereka datang paling awal dan pulang belakangan. "Banyak jejak-jejaknya di Aceh. Saya waktu itu merenung, apa yang terjadi terhadap Aceh, sama yang terjadi kepada orang-orang Tionghoa," ucapnya.

Menurutnya, Aceh mengalami tsunami, pun demikian orang-orang Tionghoa mengalami tsunami kala Orde Baru. Azmi menilai kekejaman orde baru menghilangkan segala identitas orang Tionghoa. Tidak hanya identitas dan sejarah, juga korban jiwa yang jumlahnya tidak sedikit.

"Saya anggap itu tsunami. Selama mereka menghadapi itu, adalah saudaranya yang datang? Tidak. Orang Tionghoa menyelesaikan permasalahannya dalam kesendirian dan kesunyian," kata Azmi.

"Maka saya putuskan setelah beberapa waktu berlalu tsunami Aceh, saya kembali ke Jakarta dan ingin mendirikan satu hal yang barangkali sedikit berguna. Inilah yang kemudian bisa membongkar cara pandang orang. Karena untuk membongkar cara pandang ini perlu fakta. Membongkar stigma negatif yang selama ini berkembang itu harus dengan fakta sejarah," tuturnya.

Azmi tak menampik bahwa dirinya juga menemui sejumlah kesulitan kalan mengumpulkan bahan sejarah. "Yang menyulitkan saya mengumpulkan bahan-bahan terkait sejarah Tionghoa dahulunya yakni adanya pelarangan sebaran buku-buku terkait sejarah budaya Tionghoa," ungkapnya.

"Jadi tidak mudah memang, mendapatkan sesuatu yang mulanya sudah dilarang. Untuk mengumpulkan itu sudah semenjak tahun 2000. Jadi pasca reformasi, itu saya sudah tertarik mengumpulkan bahan-bahan sejarah perjuangan Tionghoa. 2004 semakin mendorong saya ketika di darah asal saya terjadi tsunami," ujar anak seorang ulama di Aceh ini. 

Ia berharap dengan adanya museum ini bisa membongkar cara pandang dan stigma yang tersebar di masyarakat. Adanya fakta sejarah bisa mengeleminir apa yang sudah berkembang di masyarakat.

"Orang Tionghoa tidak harus menghadapi persoalannya sendiri," katanya.

Ke depannya, Azmi berazam akan mengembangkan museum menjadi pesantren. Ia ingin pengetahuan sejarah tentang Tionghoa dipelajari setiap anak bangsa.

"Kebetulan saya anak seorang ulama dari Aceh yang memiliki pesantren. Saya ingin segala sejarah kebudayaan Tionghoa bisa dipelajari juga di pesantren. Barangkali saya akan memulai dari pesantren saya nanti. Mohon doa restunya," ucapnya penuh semangat.

Kegiatan dialog akbar ditaja Persatuan Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Riau ini menjadi satu ajang diskusi hangat bagi seluruh kalangan. Antusias peserta terlihat dari banyaknya pertanyaan yang dilontarkan.

Ketua PSMTI Riau, Stephen Sanjaya mengapresiasi apa yang sudah dilakukan Azmi Abubakar. Ia mengharapkan generasi muda bisa meniru dan turut membangun kesatuan NKRI.

"Semoga kehadiran dan pencerahan dari bang Azmi bisa memperkokoh kebangsaan kita dalam menyongsong hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2023 ini," ucapnya.