Ahli Penilai Konstruksi Akui Belum Diundang Perihal Perbaikan Payung Elektrik

Payung-elektrik-annur5.jpg
(SOFIAH/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Proyek enam payung elektrik seharga Rp 42 M di Masjid Agung An-Nur terus mengalami sorotan publik. Belum selesai dari masa perpanjangan, payung itu kini rusak terdampak hujan es. Padahal, jika sesuai perpanjangan waktu pelaksanaan masa kerja kedua, tepat Selasa, 28 Maret 2023 adalah hari terakhir.

Satu-satunya jasa ahli penilai konstruksi di Riau, Sugeng, mengaku belum mendapat undangan dari pihak kontraktor proyek tersebut terkait perbaikannya.

"Sejauh ini belum ada undangan yang saya terima dari mereka," jelasnya, Selasa, 28 Maret 2023.

Menurut Sugeng, suatu produk memiliki spesifikasi, sehingga pengguna atau user tidak boleh dikorbankan jika terjadi masalah pada konstruksi. 

"Mestinya harus ada pelindung arus pendek, pelindung yang menyebabkan gangguan fungsi bagian bangunan tersebut. Nah ini pertama, apakah payung itu masih dalam pemeliharaan atau tanggungjawab maintenance atau tahap garansi? Maka wajib memperbaiki," terangnya.

Lanjut dosen UIR itu, pemeliharaan yang sudah kadaluarsa, sesuai UU Jasa Konstruksi, akan ada masa pertanggungjawaban kegagalan bangunan 10 tahun. 

"Dalam hal ini perencana atau pelaksana pekerjaan masih memiliki tanggung jawab jika masih memiliki kegagalan bangunan. Tetapi jika sudah 10 tahun maka sudah bebas," ungkapnya.

Sementara fakta di lapangan, proyek payung elektrik baru seumur jagung. Pastinya, proyek ini masih garansi.

Disinggung, jika tidak mengundang jasa ahli penilai perencanaan, Sugeng menyebut, perlu mengacu pada kontrak antara penyedia jasa dengan pengguna jasa yang menandatangani kontrak. Itu bisa dilihat di dokumen kontrak.

"Kontrak itu merupakan UU tertinggi dari penyedia dan pengguna jasa. Sebenarnya saya bisa mudah saja meminta surat perjanjian kontraknya, bunyinya seperti apa, dan siapa yang bertanggung jawab itu akan nampak betul. Sanksinya seperti apa juga keliatan," terangnya.


Kontrak tersebut menurutnya, apakah sudah disalahi atau masih menunggu komunikasi atau tawar menawar. Jika, tidak jelas, Sugeng pastikan kesalahan dari mereka yang membuat kontrak.

"Itu sering terjadi jika kontrak tidak memakai jasa penilai. Sebetulnya, ada pihak yang tidak paham mengenai kontrak. Itu mengapa perlu meminta bantuan jasa wali kontrak atau wali konstruksi untuk membaca kontrak. Sehingga, jika terjadi sesuatu saling melempar dan tidak tanggungjawab atau lari dari kenyataan. Itu yang kacau," tegasnya. 

Jika nantinya ada temuan, profesor itu menyebut, sanksinya perlu dibaca pada kontrak tersebut. Kemudian, jika tidak ada dibunyikan, itu bisa dilihat apakah kegagalan bangunan. Namun, jika sudah serah terima sanksinya ada pada UU Jasa Konstruksi Tahun 2018.

Namun, jika belum ada serah terima seperti ada perpanjangan sampai Maret ini, artinya masih menggunakan UU kontraknya. Sehingga, pasal-pasal yang ada di dalam perjanjian antara penyedia dan pengguna jasa masih berlaku.

Setelah serah terima pun, lanjut Sugeng, ada peraturannya biasanya enam bulan sampai satu tahun itu menjadi tanggung jawab penyedia jasa, jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan kontrak misalnya, rusak, tumbang, dan lain-lainnya. 

Mengenai bahan terpal yang katanya hanya bisa untuk menahan panas, seharusnya perlu uji lab untuk menampilkan dan meyakinkan produk itu bisa dipakai atau tidak.   

"Bahan terpal harus ada dokumen uji lab untuk meyakinkan bisa dipakai atau tidak. Bahan pun harus berlabel dan bersertifikat SNI. Jika berbeda bisa di komplain, harus dilihat spesifikasi teknis. Harus ada nota penjelasan beban mati, hidup, gempa, angin, dan lainnya. Intinya jangan sampai jangan sampai bertanggung jawab. Agar jangan sampai terulang kembali dan siapa yang bertanggung jawab," ungkapnya. 

Perihal nominal Rp 42 M yang dianggarkan untuk proyek payung elektrik, agar tidak merugikan uang negara. "Jika dipanggil penegak hukum, itu lebih kacau," urainya.

Mengenai pembuatan bahan, sudah ada di dalam penjelasan pada kerangka acuan atau tor ada pada kedua belah pihak. Jika melewati kontrak, harus kena denda, satu hari per satu per mil (perseribu).

"Itu anggaran 2022, setiap perpanjangan waktu, itu ada dendanya. Nah, ini yang tidak diketahui dibayar atau nggak," terangnya.

Sugeng mengingatkan, agar jangan sampai terjadi masalah melangkah sepihak. Artinya, tidak membenarkan satu pihak dan jangan melempar masalah ke alam. 

"Itu nggak bisa menyalahkan alam begitu saja apalagi mengandung uang negara yang cukup besar. Jika karena alam, harus lebih kepada yang lebih mengerti. Harus bisa mengantisipasi," katanya.

Ke depan, kata Sugeng, harus ada keterbukaan atau transparansi dan klarifikasi supaya masyarakat tidak menyangka yang tidak-tidak. 

"Sekarang itu bencana alam, itu harus ada yang berwenang menyatakan secara nasional. Tidak boleh, klaim sepihak," tutupnya.