Mencari "Pahlawan" untuk Rakyat: Hanya Perlu Bertarung Melawan Godaan Korupsi

Demo-di-KPK.jpg
(ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

RIAU ONLINE - Para pejuang harus bertaruh nyawa demi merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kini, mereka pun disebut sebagai pahlawan.

Kini masyarakat masih mencari pahlawan untuk melanjutkan perjuangan di masa lampau. Tidak perlu muluk-muluk, pejabat masa kini hanya perlu bertarung melawan nafsu keserakahan dengan menjaga diri dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta menunaikan tugas sebagai abdi negara. Hanya itu yang dibutuhkan untuk dinobatkan sebagai pahlawan di hati rakyat.

Masyarakat hanya mencari sosok yang mampu mengabdi pada negeri sepenuh hati tanpa pamrih dan imbalan, tidak mencuri uang rakyat atau negara. Hal ini menjadi standar minimal mental seseorang pelayan masyarakat.

Ramainya pelaku korupsi membuat masyarakat sulit mencari abdi negara dengan standar minimal tersebut. Mereka yang memiliki standar minimal ini menjadi teramat istimewa di tengah kelangkaan stok orang jujur dan tulus.

Anehnya, perilaku koruptif sulit diberantas di tengah negara kita yang beragama dengan tingkat religiusitas tinggi. Memaafkan orang yang mencuri karena kelaparan lumrah dilakukan, tetapi tidak untuk memaklumi pencuri uang rakyat untuk berfoya-foya.


Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pernah mengingatkan bahwa orang jahat bisa saja terbebas dari jerat hukuman dengan beragam cara menyiasatinya, namun tindakannya itu bisa membuatnya terkena karma di dunia.

“Orang yang beragama dan berbudaya pasti memercayai adanya karma, dosa, dan malu karena berbuat pelanggaran. Hal itu tergolong dalam hukuman otonom,” ujarnya.

Perburuan mencari "pahlawan" dari kalangan abdi negara yang tidak melakukan korupsi menjadi tantangan tersendiri di tengah gegap gempita kerja lembaga antirasuah yang nyaris tanpa jeda.

Tren korupsi saat ini bukan atas alasan keterdesakan ekonomi, tapi untuk memuaskan hasrat hidup bermewah-mewah. Gaya hidup, hobi, dan gengsi, adalah tiga serangkai yang membuat gaji tinggi terasa tidak pernah cukup.

Nyatanya, banyak kasus korupsi terjadi justru karena dorongan dan tuntutan gaya hidup anggota keluarga, seperti istri dan anak-anak yang sosialita.

Uang yang dikumpulkan dalam bentuk pajak dari masyarakat yang dipercayakan kepada pemerintah untuk kelola dan dikembalikan kepada warga dalam wujud pembangunan sarana prasarana umum, malah dijadikan untuk berfoya-foya. Inilah alasan yang membuat tindak korupsi begitu menyati hati masyarakat.

Di tengah maraknya korupsi di kalangan pejabat, masyrakat kian mendambakan sosok yang bekerja, berdedikasi, dan bersih dari penyimpangan.

Sayangnya, dibutuhkan tanggung jawab bersama untuk menghadirkan sosok-sosok pahlawan ini. Terlebih lagi, kecenderungan warga mengambil jalan pintas dengan menyuap aparat untuk menebus pelanggaran masih saja ditemukan.(ANTARA)