Keren! Dua Perempuan Sulap Sampah Rumah dan Pondok jadi Cuan

Artikel-Laras.jpg
(LARAS OLIVIA/RIAU ONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Flora Priyanka Carriza dengan lahap menikmati mentimun yang baru ia panen dari kebun di pekarangan rumahnya di Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru. Segarnya mentimun hijau baru dipetik itu ternyata adalah buah dari ketekunan gadis usia 5 tahun yang akrab disapa Riang itu. Ia menanam dan merawat tanaman buah maupun sayurannya bersama sang mama.

Tidak sia-sia Riang selalu bersemangat mengikuti kegiatan mamanya berkebun dan membuat pupuk kompos. Riang selalu ikut menyirami tanaman mentimun dengan pupuk lindi yang diproduksi sendiri hingga bisa memanen buah mentimun yang ukurannya melebihi lengan balita 3 tahun.

"Mentimun adalah buah pertama kali yang dia makan. Dicemilin sama dia. Cukup besar ukuran timunnya dari yang dijual di pasar-pasar," ujar mama Riang, Rahmi Carolina, Minggu 25 Februari 2024.

"Mama, mengapa kita harus membuat kompos? Mengapa kita harus daur ulang sampah?" Pertanyaan-pertanyaan itu dilontarkan oleh Riang saat usianya 3 tahun. Rahmi menyebut, pertanyaan gadis kecil seputar lingkungan semakin kritis saat usianya memasuki 5 tahun. Riang bertanya soal ekoenzim saat melihat sang mama mengolah sampah organik sisa memasak di dapur.

"Hal itu Riang tanyakan ketika kami membuat fermentasi kulit lemon dengan gula. Hasilnya bisa menjadi cairan pembersih lantai dan pakaian," ujar Rahmi.

Artikel Laras2Riang saat ikut mengolah sisa sampah organik dapur menjadi pupuk cair. (Foto: Istimewa)

Sebagai orangtua, Rahmi menilai kepedulian Riang terhadap lingkungan cukup baik, apalagi di usia yang baru genap 5 tahun. Riang selalu bergembira saat melakukan aktivitas mengumpulkan sampah, memilah sampah, mengisi wadah komposter. Ia juga amat bersemangat saat menyiram tanaman di pekarangan rumah dengan air dari kompos.

"Pagi pagi Riang bantuin mama bersih bersih, Riang bantu mengumpulkan sampah dedaunan kering untuk kemudian dimasukkan ke dalam wadah kompos," kata gadis kecil penuh semangat.

Selain itu, ia juga rajin mengumpulkan barang barang bekas yang sudah ditumpuk untuk kemudian ditabung di bank sampah. Ada botol minuman, botol saos, botol kecap dan banyak lagi. Bank sampah akan datang menjemput sampah-sampah anorganik yang sudah dikumpulkan.

Nabung Kompos dari Sampah Dapur Organik

Rahmi Carolina sebetulnya punya kekhawatiran terkait kelestarian lingkungan di Kota Pekanbaru. Apalagi melihat tata kelola sampah saat ini di Kota Pekanbaru yang amburadul. Padahal, sampah yang diangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) beratnya mencapai 900 ton setiap harinya. Sampah itu berasal dari zona I, zona II dan zona III pengangkutan sampah di Kota Pekanbaru yang saat ini dilakukan dengan sistem swastanisasi.

Seperti diungkapkan Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK) Kota Pekanbaru, Ingot Ahmad Hutasuhut. Ia menyebut bahwa total sampah rumah tangga yang diangkut ke TPA Muara Fajar setiap harinya bisa mencapai 900 ton. Ada sekitar 328.500 ton sampah dalam satu tahunnya.

"Kalau jumlah timbunan sampah itu lebih kurang 900 ton. Tapi terkadang yang terangkut ke TPA Muara Fajar memang tidak sampai 900 ton ya, karena itu bervariasi dan memang tergantung situasi," kata Ingot, Senin 26 Februari 2024.

Sampah di Kota Pekanbaru kian menumpuk seiring banyaknya tempat pembuangan sementara (TPS) sampah. Kondisi ini menyebabkan TPA tidak memungkinkan menampung sampah dari TPS. Ingot menyampaikan, ada rencana upaya pengurangan sampah di hulu Kota Pekanbaru pada tahun 2024. "Kita tidak hanya bicara memindahkan sampah dari kota ke TPA, tapi harus bicara pengurangan sampah dari hulu," ujarnya.

Lebih jauh Ingot menyampaikan, upaya pengurangan sampah di hulu kegiatannya terkait kompos, TPS3R (Reduce, Reuse, Recycle), dan industri pengolahan sampah lainnya. Menurutnya, reduksi ini menjadi target utama pada tahun 2024. "Agar tahun 2025 mendatang, kita sudah hadir dengan tata kelola sampah lebih baik," ulasnya.

Yang dikerjakan Rahmi ada di bagian hulu dalam mereduksi sampah. Tapi ada alasan lainnya. Menurut Rahmi, dirinya akan merasa bersalah jika membuang sisa-sisa konsumsi. Ia lantas mencoba berkebun dengan memanfaatkan sampah organik maupun anorganik. Sampah kemasan plastik ukuran besar ia jadikan pot dan yang ukuran sedang dijadikan wadah persemaian berbagai jenis tanamannya.

"Saat menikah di awal tahun 2018, mulai berkebun di pekarangan karena sampah dapur berbahan plastik menumpuk. Alhamdulillah sampai sekarang masih konsisten, sambil mulai mengurangi pemakaian plastik sekali pakai. Pelan-pelan mulai dari rumah aja," ujarnya.

Sampah anorganik biasa ia kumpulkan untuk kemudian dijual ke Pemol atau Pemulung Online yang merupakan sebuah perusahaan bergerak di bidang pengumpulan sampah, yaitu Tuan Di Banggarna (TDB). Mereka mengumpulkan sampah secara kolektif dan satu-satunya Bank Sampah berbasis digitalisasi di Pekanbaru.

Pemol menjemput sampah langsung dari user (pengguna aplikasi). User bisa mengumpulkan sampah dan disetorkan melalui aplikasi. Sampah yang sudah difoto akan dijemput oleh driver, sesuai permintaan si pengguna aplikasi. Mereka menjemput sampah berbahan kertas, kardus, plastik dan elektronik.

Sampah botol plastik dihargai Rp 2 ribu per kilogram dan kaleng minuman bisa mencapai Rp 8 ribu. Uang dari penukaran sampah bisa langsung diterima user atau nasabah saat di lokasi. Uang juga bisa ditabung di aplikasi dan ditukarkan menjadi saldo untuk kemudian bisa dijadikan pulsa, token listrik, hingga pembayaran BPJS.

Perempuan disapa Mimi ini menilai, perubahan untuk lingkungan yang baik dan masa depan ada di tangan perempuan.

"Mengapa? karena perempuan punya potensi itu. Dalam keseharian, perempuan cenderung lebih banyak mengerjakan pekerjaan domestik yang cukup dekat dengan masalah-masalah pencemaran lingkungan. Misal yang paling sederhana adalah sampah atau limbah rumah tangga," ulasnya.

Foto laras5Riang (5) dengan komposter yang dibuat dari galon bekas (Foto: Istimewa)


Menurutnya, semua sampah atau bahan-bahan organik bisa jadi kompos bila dikelola dengan baik. Seperti sampah dapur sisa konsumsi bisa dikelompokkan menjadi dua jenis. Sampah organik elemen coklat dan elemen hijau.

Elemen coklat cenderung berbahan kering seperti daun kering, rumput kering, kertas, karton, sekam, papan telur. Sedangkan elemen hijau cenderung basah, seperti potongan buah, potongan sayur, kulit buah dan sayur serta tangkainya, rumput basah, daun-daun, hingga kotoran ternak.

"Lalu, untuk alat atau wadahnya (komposter), kita bisa bikin sendiri dari barang-barang yang ada di rumah. Paling sederhana bisa menggunakan ember, galon bekas, kemasan-kemasan, atau wadah sesuatu yang besar, seperti karung," kata Mimi.

Sebelum menggunakan metode karung dan compost bag, Mimi selalu mengubur sampah organik sisa dapur di tanah. Ia menyiapkan lubang sampah yang nantinya diisi dengan sampah sampah potongan sayur, kulit bawang, kulit buah dan sebagainya. Lalu, sampah organik pada lubang itu dibiarkan hingga penuh. Sesekali jika sudah berubah warna jadi hitam dan sudah menyatu dengan tanah, akan diambil untuk kebutuhan tanaman.

"Di rumah, kami punya dua komposter berbeda. Satu untuk menghasilkan kompos padat, satunya lagi untuk menghasilkan kompos cair. Sampah yg paling banyak biasanya sampah sisa konsumsi, organik," ungkapnya.

Pada awal 2022, Mimi membuat komposer kedua hasil DIY (swakarya) dari galon air bekas. Menurut Mimi, komposter model ini punya manfaat lebih, karena selain mendapatkan kompos cair (air lindi), ia juga bisa panen kompos padat pada galon bagian atas. Mimi juga membuat pestisida nabati kulit bawang dan tangkai cabai.

Membuat pupuk kompos sendiri tentunya menjadi kepuasan tersendiri bagi Mimi. Apalagi ia memiliki kebun kecil di pekarangan rumah. "Di kebun, kami menanam tanaman pangan, buah dan tanaman hias. Semuanya bisa dinikmati," katanya.

Mimi yang juga pegiat lingkungan dan konservasi ini menyampaikan, aktivitas berkebun dan menanam pangan sendiri sebenarnya mengajarkan untuk mengambil seperlunya saja dari alam. Dengan berkebun dan mencukupi kebutuhan pangan, maka akan berkontribusi dalam upaya mengurangi jejak karbon. Secara sederhana, jejak karbon adalah gas rumah kaca atau karbondioksida dan senyawa karbon lainnya yang dihasilkan dari konsumsi bahan bakar fosil.

"Jejak karbon yang kita hasilkan itu jika ditelusuri, turut berperan dalam perubahan iklim, kekeringan hingga banjir. Hal tersebut karena makanan yang kita konsumsi (terutama di wilayah perkotaan) kebanyakan harus menempuh perjalanan puluhan hingga ratusan kilometer. Tentu saja juga membutuhkan bahan bakar yang tidak sedikit dan gas buangannya yang banyak," ucapnya.

Kelola Sampah Plastik dan Raup Cuan dari Sampah Organik

Upaya mengelola sampah di lingkungan juga dilakukan Rinwiningsih, Ketua Yayasan Ulil Albab Al Ja'afariyah yang menaungi MI Ibnu Al-Mubarok, di Kota Pekanbaru, Riau.

Setiap Jumat, Rinwiningsih mengumpulkan para santri yang ada di pondok pesantren. Para santri dengan tertib akan menyetor sampah-sampah plastik yang mereka kumpulkan selama sepekan. Sampah yang disimpan di dalam totebag kemudian akan ditimbang dan mereka bisa punya tabungan yang diperoleh dari bank sampah.

"Jadi, setelah ditimbang, akan diberikan ganti sampah berupa uang. Ada yang langsung meminta uang tersebut untuk beli buku atau lainnya," ujar Rinwiningsih yang menjadi penggerak Bank Sampah Agrowisata (BSA) Ibnu Al Mubarok, saat diwawancarai di kantornya, di Jalan Sri Palas, Rumbai Bukit, 16 Februari 2024.

Perempuan yang biasa disapa Rini ini menyampaikan, kegiatan tersebut sudah berlangsung selama dua tahun. Ia bahkan tidak menyediakan satupun tempat sampah yang biasanya berada di lorong kelas atau di sudut ruangan. Rini ingin menanamkan kepada para santri visi dan misi yang telah ia buat, yakni menjadikan seorang generasi qurani yang handal di bidang iptek dan imtaq.

Foto larasBank Sampah Agrowisata (BSA) Ibnu Al-Mubarok memanfaatkan sampah plastik untuk geleri bank sampah. (Foto: Laras Olivia/RIAU ONLINE)

"Pedoman kami adalah dari kebiasaan yang sederhana. Tentu saja dengan disiplin membuang sampah," sebutnya.

Botol-botol berisi plastik tersebut juga dimanfaatkan Rini sebagai ecobrick. Dari banyaknya botol plastik yang terkumpul, akhirnya dibuat untuk blok bangunan galeri Bank Sampah Ibnu Al-Mubarok. Plastik bekas dimasukkan ke dalam botol dan disematkan pada dinding-dinding, ada juga yang dibuat serupa kursi dan meja.

Rini mengatakan, penanganan limbah dari sisa konsumsi makanan santri yang terbuang juga diolah menjadi pupuk cair. Kemudian untuk pupuk padatnya, ia olah menjadi pupuk kompos. Inisiatif tersebut awalnya dari sampah plastik dan sisa makanan menumpuk karena tidak ada upaya pengelolaan yang tepat. Ia menyebut bahwa jumlah sisa makanan santri lumayan banyak. Apalagi jumlah santri yang mondok di ponpes tersebut lebih dari 100 santri.

"Itu sejak tahun 2019 sampai 2020. Saya baru tahun kelima di sini. Pada awal itu, kita diminta oleh DLHK uang sampah Rp 300 ribu per bulan. Saya jujur gak mampu. Ya, dari keprihatinan itu lah saya buat beberapa inovasi yang salah satunya sampel pupuk tadi," ujarnya.

Dirinya terus belajar dan terus mencoba bagaimana bisa mengolah sisa sampah organik. Akhirnya, sayuran dan segala macam jenis sisa organik Rini masukkan ke ember bekas. Ember-ember kemudian ditutup untuk menanti proses fermentasi. Setiap seminggu sekali, ia masukkan gula ke dalam ember tanpa memerlukan bahan kimia lainnya.

Rini dengan semangat memperlihatkan ember-ember yang sudah ia sulap menjadi wadah untuk pupuk cair yang ia beri nama pupuk limbah industri dapur ibu (lindi). Dari alat sederhana itu, Rini sudah menjual hampir 500 ember pupuk lindi.

"Jadi, kami juga sudah uji coba ini dan baru tiga bulan. Kita juga dibina oleh perusahaan swasta. Saya hanya berbekal ember pupuk cair lindi ini, akhirnya ini dianalisa dan kita sudah buktikan bahwa komposter adalah solusi yang terbaik untuk saat ini skala rumah tangga," katanya.

Perempuan yang pernah mengajar di sekolah negeri ini menyampaikan, program bank sampah melibatkan santri, dan saat ini terus berkembang. Tidak hanya dalam lingkungan ponpes, semangat mengelola sampah juga Rini tebarkan kepada masyarakat sekitar pondok pesantren. Masyarakat diberi pemahaman tentang pengelolaan sampah serta menjadikan bank sampah sebagai solusi persoalan sampah di lingkungan sekitar.

"Saya sampaikan ini sangat murah, mudah dan bisa dijangkau, karena hanya membutuhkan ember bekas," ulasnya.

Lebih jauh Rini menyampaikan bahwa pihaknya mengolah sampah anorganik selama sebulan sebanyak 5 ton. Ia bersama para guru lainnya juga mengumpulkan sampah anorganik seperti kardus, botol minuman dari perusahaan swasta. Setiap bulannya, botol-botol bekas juga mereka olah menjadi wadah sabun cair isi ulang, untuk cuci tangan, piring, dan baju.

"Ini tentu memanfaatkan botol limbah menjadi punya nilai guna untuk refil sabun. Misi kami adalah bagaimana mengajak masyarakat bisa membeli sabun dengan membawa botol. Saat ini sudah ada sekitar 200 orangtua murid kita yang menjadi customer untuk limbah botol," ucap Rini.

Kembangkan Ekonomi Sirkular di Ponpes dan Sekitarnya

Bank Sampah Agrowisata (BSA) Ibnu Al-Mubarok yang berdiri sejak tahun 2021 terus berkembang pesat dan kini sudah memiliki beberapa unit usaha yang menghasilkan produk ramah lingkungan untuk mendukung kelestarian lingkungan. Bank sampah yang berada di Jalan Sri Amanah RT 01/RW 03, Kelurahan Agrowisata, Kecamatan Rumbai Barat, Pekanbaru, Riau ini menjadikan entrepreneur dan lifeskill sebagai salah satu program yayasan.

Unit usaha yang dikelola oleh Bank Sampah Ibnu Al-Mubarok antara lain, diklat kewirausahaan, budidaya maggot, ternak ayam kampung, pupuk kompos, kasgot, pupuk cair lindi, lele bioflok. Unit usaha terbaru pengembangan dari unit usaha BSA adalah produksi briket arang, produksi sabun ramah lingkungan di bawah binaan perusahaan swasta dan kampus swasta di Riau. Fesyen dan craft menjadi salah satu produk UMKM yang saat ini mulai berkembang. Produk unit usaha BSA diberi merek "Barakh" yang artinya anugerah.

MI Ibnu Mubarok ini dinilai berhasil mengatasi persoalan sampah di lingkungan masyarakat, bahkan sampah tersebut dikelola dengan baik sehingga menghasilkan pundi-pundi rupiah.

foto laras3Kerajinan tangan memanfaatkan barang bekas di Ponpes Al-Mubarok. (Foto: Laras Olivia/RIAU ONLINE)

"Itu yang saya sebut sirkular, adanya perputaran ini dari sampah yang awalnya tidak berguna menjadi punya nilai ekonomis. Saya mengajak masyarakat, Ketua RW dan masyarakat sekitar dengan pendampingan dari guru-guru saya," ujar perempuan dengan senyum ramah.

Ember lindi buatan BSA Ibnu Al-Mubarok laris manis dipesan banyak instansi pendidikan maupun pemerintahan. Sementara untuk pupuk lindi, meski banyak permintaan dari luar, Rini saat ini belum mampu menjual ke pihak lain. Pupuk lindi yang mereka produksi hanya memenuhi kebutuhan kebun mereka seluas 5 hektar. Apalagi saat ini ada 100 jenis tanaman sayur maupun buah di sana.

Sementara itu, untuk budidaya ayam, Rini menuturkan, awalnya ia punya ternak ayam yang jumlah sekitar 30 ekor. Ayam-ayam tersebut kemudian rajin ia beri pakan maggot. Kini, jumlah ayam kian bertambah hingga mencapai 800 ekor.

Foto laras4Ternak ayam di lingkungan Ponpes/Bank Sampah Agrowisata (BSA) Ibnu Al-Mubarok. (Foto: Laras Olivia/RIAU ONLINE)

"Dari ayam-ayam ini, setiap hari kita juga produksi frozen food. Untuk maggot, dulu kami sampai kehabisan pakan karena sampah organik kami sudah menjadi pupuk lindi, kemudian kami akhirnya kerjasama dengan pabrik produksi dan kami dapat pakan gratis dari barang kedaluwarsa seperti roti susu dan sebagainya," ulasnya.

Menurutnya, masyarakat belum banyak tahu tentang manfaat budidaya Belatung Pengurai Sampah, Black Soldier Fly (BSF). Padahal, lalat BSF yang dikembangkan nantinya akan menghasilkan telur dan kemudian bisa menjadi pakan ternak, ikan dan juga pupuk.

"Ternak maggot tidak sulit. Dalam waktu satu bulan akan menetas ratusan bayi maggot. Protein maggot sangat bagus untuk menjadi pakan ternak," ucapnya.

Di bidang fesyen and craft, Rini membuka rumah jahit yang kini merangkul masyarakat di sekitar ponpes. Mayoritas masyarakat yang ikut berkarya adalah para ibu rumah tangga. Selain itu juga ada 20 orang pengrajin dari komunitas disabilitas. Mereka kemudian memanfaatkan kain-kain perca, mengubah jins bekas menjadi tas maupun produk lainnya yang memiliki nilai pakai dan nilai jual.

"Saya ingin membuat sesuatu yang berbeda, unik, dan tentunya punya nilai jual tinggi. Mengupah para kaum ibu. Ini tentunya sangat membantu perekonomian masyarakat yang terlibat. Saya tidak memaksakan harus menjadi karyawan, karena kerjanya fleksibel," sebutnya.

Rini berharap 5 sampai 10 tahun ke depan, tetap ada sinergitas dengan sejumlah pihak dalam mengedukasi masyarakat. Menurutnya, bukanlah sesuatu hal yang sulit untuk mengajak masyarakat bisa mengolah sampah dari rumah sendiri.

"Ini sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang sulit. Soal sampah, memang harus berangkat dari edukasi dan kebiasaan. Ujung tombaknya adalah kebijakan pemerintah. Jangan menyepelekan yang kecil, karena dari hal kecil bisa menjadi besar. Kalau sampah sudah menjadi hazard, maka tidak bisa lagi diolah, malah bisa merusak tanah," katanya mengingatkan.

Artikel ini adalah bagian dari fellowship program For the People